Oleh: Yongky Yulius
Pengantar:
Esai ini merupakan salah satu karya peserta Lomba Esai “Anak Muda dan Politik” yang diselenggarakan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bekerja sama dengan Qureta pada 2016.
Tulisan ini saya buat di tengah-tengah fenomena unik yang terjadi di masyarakat, terutama di kalangan anak muda. Anak muda yang katanya akan mengambil alih estafet kepemimpinan bangsa, justru malah terlena dalam dampak kurang baik (baca: negatif) arus informasi cepat dan masif melalui internet.
Ya, selamat datang di generasi internet, dimana netizen adalah sebuah kelompok baru dengan karakteristik unik yang berbeda dari generasi sebelumnya yang pernah ada, dan anak muda telah menjadi bagian dari netizen dimana panutan mereka hanya berada dalam sebuah arus informasi dalam internet.
Terciptalah fenomena unik, dimana anak muda menjadi generasi yang mengikuti setiap tren yang dibawa oleh informasi yang berada dalam jejaring internet, tanpa mengetahui kebenaran informasinya, dan tanpa berpikir kritis untuk menyaring mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah.
Kita sebut saja sebagai generasi internet yang ikut-ikutan.
Ketika beberapa waktu lalu demam pokemon go telah melanda dunia karena diberitakan oleh media massa secara cepat dan masif melalui berbagai macam saluran seperti internet, saat itu juga banyak mahasiswa yang meninggalkan janjinya untuk melakukan bimbingan skripsi dengan dosen pembimbing, atau melupakan kewajiban lainnya sebagai akademisi, demi menangkap pokemon tipe legend yang muncul di tengah-tengah kampus.
Ketika “serangan” budaya dari Korea Selatan melalui berbagai macam produknya seperti drama Korea datang ke Indonesia, yang juga diperkuat melalui arus informasi internet. Saat itu juga banyak muda mudi yang sedikit terpengaruh menirukan gaya berpacaran seperti dalam drama Korea tersebut, yang terlalu melodramatic atau terlalu “mendewakan” aspek afektif (emosi dan perasaan) tanpa melibatkan pertimbangan logis.
Akhirnya, banyak gaya berpacaran muda mudi di Indonesia yang cenderung mengarah pada tindakan abusive seperti kekerasan fisik, kekerasan verbal (berkata kasar) dan kekerasan mental (mengancam atau mengekang pasangannya) yang secara leluasa dapat dilakukan akibat adanya sikap permisif dari salah satu pihak dengan alasan cinta.
Atau ketika informasi mengenai kenaikan harga rokok menjadi 50 ribu rupiah beredar di berbagai macam media di internet, saat itu pula banyak netizen yang ikut-ikutan berkomentar atau beropini di internet (terutama di media sosial) tanpa mengetahui kejelasan informasinya.
Akibatnya, informasi mengenai kenaikan harga rokok menjadi terdistorsi seolah-olah telah menjadi rancangan kebijakan resmi pemerintahan Jokowi. Padahal saat itu, kenyataannya wacana kenaikan harga rokok tersebut baru sebatas hasil penelitian dari salah satu akademisi universitas di Indonesia.
Ketiga fakta tersebut baru sedikit saja dari banyaknya fenomena ikut-ikutan yang dilakukan oleh anak muda di Indonesia. Lantas, dampak buruk lain apa yang ditimbulkan jika hal seperti ini terus menerus berlanjut?
Dalam sistem politik Indonesia yang (katanya) demokratis, partisipasi politik dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk meminimalisasi tindakan penyelewengan kewenangan oleh pejabat publik yang berkuasa di lembaga legislatif maupun eksekutif. Pemikiran yang kritis mutlak dibutuhkan untuk mengamati dan mengkritisi setiap perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik.
Jadi sangatlah jelas, apabila anak muda tidak memiliki kemampuan berpikir kritis karena sudah sangat terbiasa ikut-ikutan dan terkesan mematuhi berbagai macam tren yang dibawa oleh arus informasi cepat dan masif melalui internet, maka bukan tidak mungkin jika kekuasaan yang dijalankan oleh negara akan banyak mengarah pada tindakan yang korup karena minim keterlibatan publik, seperti pengawasan dan kritik.
Kemungkinan paling buruk, masyarakat (anak muda) dan politik akan menjadi sangat “jauh”. Politik yang dipahami anak muda hanya akan berada pada tingkat prosedural saja (contoh: pemilu), bukan pada keterlibatan mengawasi, mengkritisi, dan mengikuti proses pelaksanaan wewenang atau kekuasaan. Inilah yang mengakibatkan politik seolah hanya milik elit yang berkuasa dalam jabatan struktural negara saja.
Padahal kenyataannya, politik selalu berkaitan dengan kejadian keseharian yang terjadi di masyarakat.
Bagaimana harga cabai dan daging di pasar bisa naik-turun, bagaimana makanan yang kurang sehat bisa dihidangkan di meja makan kita, bagaimana sulitnya mengakses pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat kelas menengah bawah, atau bagaimana udara yang tercemar asap industri bisa kita hirup. Semuanya adalah permasalahan politik, semuanya sangat mungkin bisa dipengaruhi oleh masyarakat!
Selain berdampak pada aspek politik. Sikap dan tindakan ikut-ikutan yang dilakukan oleh anak muda hari ini juga berpengaruh pada kualitas hidup dirinya sendiri. Mereka yang terbiasa mematuhi segala macam tren dan kurang memiliki pemikiran kritis, akan sangat sulit menempatkan diri dalam realitas sosial yang ada.
Bayangkan, akan jadi apa jika kita kesulitan menyaring informasi mana yang baik dan benar. Kemungkinan terburuknya, kita akan mengikuti tren dan informasi yang menghambat potensi diri untuk berkembang.
Bahkan, kita akan terjebak dalam lingkaran gaya hidup konsumtif dan hedonis ketika mengikuti informasi yang berbau marketing produk tertentu yang secara sengaja memang dibuat untuk mempengaruhi alam bawah sadar.
Setelah melihat dampak buruk yang mungkin ditimbulkan dari fenomena ikut-ikutan ini, lantas usaha apa yang harus dilakukan agar kemungkinan terburuknya tidak terjadi?
Tentunya dengan melatih diri agar memiliki kemampuan berpikir kritis. Salah satu cara yang paling mudah dan murah adalah membekali diri dengan berbagai macam pengetahuan yang ilmiah (bersumber dari buku, esai, makalah, diskusi publik, dll). Jadi, ketika kita memiliki bekal pengetahuan yang mumpuni, kita akan bisa melakukan prediksi logis, memilah informasi dan tren mana yang akan berakibat baik dan benar jika kita ikuti.
Akhir kata, menolak dan menutup diri dari berbagai macam informasi dan tren yang ada di internet akan menjadikan kita tertinggal dan bodoh, namun mengikuti dan mematuhi segala macam informasi dan tren yang ada di internet justru akan menjadikan kita bahagia dalam kebodohan.
Selamat menjadi generasi internet yang cerdas, bijak, dan kritis!
Yongky Yulius
Mahasiswa
Lomba Esai Politik PSI-Qureta Juara Harapan 2
Lomba Esai Politik PSI ini bekerja sama dengan Qureta, diselenggarakan 20 Agustus-05 Oktober 2016. Dewan juri memutuskan tiga orang juara, yakni juara 1, 2, dan 3, serta tujuh juara harapan