Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mempelajari secara saksama draft Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang sedang dibahas di DPR. Berangkat dari sana, sejumlah usul dan saran diajukan. LBH PSI, Direktorat Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak DPP PSI, serta Komite Solidaritas Pelindung Perempuan dan Anak (KSPPA) DPP PSI terlibat dalam proses ini.
“PSI terus mengamati dinamika dalam pembahasan pasal per pasal RUU TPKS yang mungkin saja malah mengurangi tujuan utama RUU TPKS ini, yakni perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang rentan dalam sistem hukum yang ada saat ini dan penegakan hukum dengan perspektif mengutamakan kepentingan terbaik korban,” kata Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie, dalam keterangan tertulis, Jumat 1 April 2022.
PSI mengusulkan berikut agar RUU TPKS menjadi undang-undang yang mampu menghadirkan rasa aman dan keadilan serta kepastian hukum; pencegahan kekerasan seksual; dan perlindungan, penanganan, dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual.
Pertama, terkait jenis tindak pidana kekerasan seksual. PSI mengusulkan agar RUU TPKS mengatur tindak pidana: (i) perkosaan; (ii) eksploitasi seksual; (iii) pemaksaan perkawinan, termasuk pemaksaan perkawinan terhadap korban dengan alasan menutup aib yang makin memperburuk kondisi psikis korban; (iv) pemaksaan aborsi; dan (v) kekerasan seksual berbasis gender secara online, seperti revenge porn.
“Kami mendorong agar pidana perkosaan tetap masuk, meskipun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga menyertakan hal ini. Agar jangan sampai hak-hak korban jadi terhambat tarik menarik politik dalam RKUHP yang akan terjadi. Catatan Komnas Perempuan menyebur, sepanjang 2016 ke 2019, hanya 30% kasus perkosaan yang bisa naik ke tahapan hukum. Secara rata-rata, per hari ada 5 kasus perkosaan, itu pun hanya yang dilaporkan. Pasti angka riil yang terjadi jauh di atas itu,” kata Grace.
Kedua, pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan. PSI mengusulkan agar biaya visum et repertum, visum et repertum psychiatricum, serta pemeriksaan dan perawatan pemulihan korban kekerasan seksual dan/atau layanan kesehatan lainnya yang diperlukan korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual menjadi tanggung jawab pemerintah dan dapat diakses melalui BPJS Kesehatan.
Selanjutnya, lanjut Grace, juga harus ditetapkan standar minimum layanan pemulihan korban dan sejauh mana korban berhak mendapatkan layanan pemulihan jika pelaku telah dihukum namun korban masih mengalami trauma yang mendalam, dan layanan pemulihan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara.
Kemudian, mewajibkan setiap pemerintah kabupaten/kota menyediakan rumah aman yang: (i) dapat diakses oleh korban dan saksi walaupun korban belum berani untuk memulai proses hukumnya; (ii) memadai dari segi jumlah maupun fasilitasnya; dan (iii) benar-benar aman dan dirahasiakan untuk melindungi keamanan dan keselamatan korban maupun saksi.
Direktur Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DPP PSI, Imelda Berwanty Purba, menambahkan, “Berikutnya, agar korban tidak menjadi gentar melaporkan pelaku, hanya karena takut dilaporkan kembali atas dugaan tindak pidana kesusilaan atau pornografi, perlu ada ketentuan tersurat dalam RUU TPKS guna mengecualikan korban kekerasan seksual dari pasal-pasal yang berpotensi mempidanakan korban seperti dugaan tindak pidana kesusilaan maupun pornografi khususnya yang tercantum di UU Informasi dan Transaksi Elektronik UU Pornografi.”
Lalu, soal penghapusan jejak digital atau hak untuk dilupakan (the right to be forgotten). Korban revenge porn mengalami penderitaan mental yang berkepanjangan dan berat akibat pencemaran nama baik dan stigma negatif. Meski Pasal 26 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur mekanisme untuk itu, namun PSI mendorong RUU TPKS mengatur lebih spesifik untuk memastikan perlindungan terhadap korban secara lebih cepat dan optimal.
“Negara juga harus hadir untuk memberdayakan ekonomi korban, sebagai imbas dari perlawanan balik korban. Solusi ini harus ada dalam RUU TPKS untuk memutus ikatan relasi kuasa yang sering dimanfaatkan pelaku untuk melakukan kekerasan seksual. Pendanaannya dapat dikelola dari victim trust fund. Agar korban berani bersuara dan melaporkan perbuatan pelaku, tanpa ketakutan akan masa depan ekonomi yang suram,” kata Imelda.
Selanjutnya, restitusi sebagai pidana wajib dan negara memberikan ganti kerugian yang adil, layak, dan komprehensif dalam hal pelaku dan pihak ketiga tidak mampu membayar restitusi. Restitusi seharusnya wajib dibayarkan dan bukan hanya sebagai pidana tambahan.
“Pidana penjara pengganti 1 (satu) tahun dalam hal pelaku tidak mampu membayar restitusi dalam Pasal 23 ayat (11) RUU TPKS belum memberikan rasa keadilan karena tidak dapat menggantikan kehilangan hak-hak korban khususnya korban anak untuk mendapatkan biaya pendidikan maupun penghidupannya agar terpenuhi kebutuhan fisik, mental, spiritual, maupun sosialnya. Karena itu, RUU TPKS agar mengatur kompensasi atau ganti kerugian dari negara yang layak dalam hal pelaku tindak pidana kekerasan seksual dan pihak ketiga tidak mampu membayar restitusi kepada korban atau keluarga korban, yang pendanaannya dapat dikelola dari victim trust fund,” tambah Imelda.
Ketiga, terkait sanksi pidana. PSI memgusulkan, pidana denda atas pelecehan seksual berbasis elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) RUU TPKS agar diperberat menjadi maksimal Rp 750 juta. Sanksi pidana denda dalam RUU TPKS minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 75 juta sedangkan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam UU ITE diancam dengan sanksi pidana denda maksimal Rp 750 juta padahal pelecehan seksual dapat menimbulkan trauma lebih di atas penghinaan.
PSI juga menyarankan pidana tambahan dalam Pasal 11 ayat (1) RUU TPKS. Yaitu, ditambahkan dengan kastrasi/kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Faktor pemberat sanksi pidana dalam Pasal 10 RUU TPKS agar ditambahkan terhadap: (i) dilakukan oleh keluarga; (ii) dilakukan oleh orang yang memiliki relasi kuasa terhadap korban; (iii) mengakibatkan korban cacat berat fungsi reproduksinya; (iv) mengakibatkan korban meninggal dunia; (v) pemaksaan pelacuran; (vi) pemaksaan aborsi oleh pelaku perkosaan; (vii) upaya menghalang-halangi proses hukum penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan,” ujar Imelda.
Terakhir, terkait akses hukum. Agar adil dan memastikan perlindungan terhadap korban serta membuka akses terhadap hukum seluas-luasnya, maka pengecualian terhadap kewajiban penyidik, penuntut umum, dan hakim memiliki pengetahuan, keterampilan, dan keahlian tentang penanganan korban yang berperspektif korban dan hak asasi manusia maupun telah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam Pasal 16 RUU TPKS — harusnya berlaku juga pengecualiannya bagi pendamping hukum yaitu advokat dan paralegal, yang diwajibkan dalam Pasal 20 ayat (3) huruf (f) dan ayat (4) RUU TPKS.
“Dengan demikian dimungkinkan bagi advokat maupun paralegal yang berpengalaman menangani Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk memberikan pendampingan terhadap korban,” pungkas Imelda.