Oleh: Jeffrie Geovanie
Democracy is the best form of government. Ini sudah menjadi keyakinan umum karena sejauh ini belum ada sistem lain yang dianggap lebih baik. Oleh karena itulah, menjaga kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi menjadi narasi yang terus-menerus digaungkan di ruang publik.
Mengapa demokrasi? Karena ada jaminan kebebasan semua warga negara tanpa kecuali. Demokrasi mewakili pandangan dan gagasan semua warga negara, baik mayoritas maupun minoritas.
Demokrasi membantu kita untuk menyelesaikan konflik dan pertengkaran dengan cara yang adil dan elegan. Menghormati hak asasi semua warga negara, dan semua orang sama di hadapan hukum (equality before the law).
Demokrasi juga memungkinkan bagi setiap orang untuk memilih atau dipilih dan atau untuk memerintah negara melalui perwakilan. Dalam bentuk pemerintahan demokrasi setiap orang dapat menyuarakan pendapatnya tanpa ada ketakutan atau ancaman hukuman sepanjang didasarkan pada asas saling menghormati satu sama lain.
Masih banyak kelebihan lain demokrasi yang karena keterbatasan ruang tidak bisa disebutkan semuanya di sini. Yang perlu kita sadari, di samping memiliki kelebihan, demokrasi juga mengandung kelemahan yang menjadi sisi lain dari kelebihan-kelebihannya. Kebebasan, misalnya, seperti pisau bermata dua, bisa diekspresikan secara positif bisa juga negatif. Berkembangnya aspirasi politik sektarian yang mengacu pada agama dan ras tertentu, misalnya, diberi ruang oleh demokrasi meskipun berpotensi memecah belah persatuan.
Faktor inilah yang dihadapi Indonesia saat ini. Demokrasi kita dalam ujian, di samping karena proses pelembagaan yang belum mapan, juga karena ada sejumlah kalangan yang mencoba memunculkan kembali aspirasi politik yang sejatinya sudah dianggap selesai pada saat Indonesia telah memutuskan Pancasila sebagai dasar negara.
Aspirasi politik yang dimaksud, dari yang sekadar memunculkan sentimen agama dalam kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada) hingga yang mencoba berupaya mengubah sistem ketatanegaraan dari demokrasi menjadi khilafah. Untungnya, Presiden Joko Widodo memiliki kesadaran tinggi akan bahaya yang tengah mengancam sehingga segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang berimplikasi langsung pada pencabutan izin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang getol memperjuangkan berdirinya negara khilafah.
Tentu saja, Perppu Ormas ini memunculkan protes dari berbagai kalangan, terutama dari aktivis HTI dan para pendukungnya. Presiden dinilai otoriter, dianggap mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi karena telah membubarkan ormas tanpa melalui proses peradilan, dan banyak tuduhan lain termasuk Islamofobia. Di sinilah uniknya, para penentang demokrasi itu, pada saat terkena dampak langsung dari kebijakan pemerintah, ternyata juga melawan dengan memakai alat demokrasi. Artinya, pada hakikatnya mereka masih mengakui pentingnya menegakkan sistem demokrasi, walaupun mungkin tanpa mereka sadari.
Ujian lain demokrasi adalah masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Kesulitan hidup membuat orang setres dan putus harapan. Lantas mereka menyalahkan sistem demokrasi. Demokrasi dijadikan kambing hitam penyebab terjadinya beragam patologi sosial, termasuk munculnya banyak kasus kejahatan. Jika dibiarkan, kepercayaan publik terhadap demokrasi akan semakin menipis dan bisa saja hilang.
Di tengah banyaknya upaya menjadikan demokrasi sebagai kambing hitam dari segala keburukan, serta banyaknya kalangan yang terus menerus membujuk masyarakat untuk berpaling dari demokrasi ke sistem khilafah, kiranya diperlukan langkah-langkah yang serius untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.
Menurut sejumlah suvei, paham radikal yang bertentangan dengan demokrasi sudah terpapar di banyak kalangan, termasuk mahasiswa, pelajar dan aparatur sipil negara (ASN). Langkah kuratif terhadap mereka diperlukan dengan pendekatan pesuasif, jika tidak mempan, bisa dilakukan proses hukum, terutama kepada ASN yang seharusnya memiliki loyalitas pada negara melebihi loyalitas warga biasa.
Untuk preventif, bisa ditempuh langkah-langkah berikut: pertama, di dunia pendidikan yang ditengarai sebagai sektor yang paling strategis bagi penetrasi paham radikal, diperlukan segera adanya penyesuaian kurikulum, terutama untuk mata pelajaran/mata kuliah yang menyangkut kewarganegaraan dan keagamaan.
Setelah kurikulumnya disesuaikan, langkah kedua adalah penyelarasan guru dan dosen agar sesuai dengan tujuan kurikulumnya. Survei membuktikan, masuknya paham radikal yang dominan disebabkan karena ditransfer oleh guru kepada murid-muridnya atau dosen kepada para mahasiswanya.
Ketiga, dengan meningkatkan frekuensi sosialisasi pilar-pilar kebangsaan, terutama Pancasila, kepada seluruh komponen masyarakat—terlebih pada kalangan yang rentan terpapar paham-paham radikal, dengan metode yang menarik, tidak indoktrinatif, lebih mengedepankan dialog, diskusi, dan implementasi.
Keempat, dengan merekrut para influencer untuk menjadi duta demokrasi di wilayah influensinya masing-masing. Mereka bisa dari kalangan pemuka agama, tokoh masyarakat, pemuda, atau para selebritas yang diidolakan banyak orang. Para influencer ini, selain bertemu langsung dengan masyarakat, bisa juga menyampaikan pandangan-pandangannya melalui media sosial terutama youtube dan lain-lain.
Masih banyak langkah-langkah lain yang bisa ditempuh untuk menjaga kepercayaan masyarakat pada demokrasi. Yang penting digarisbawai, untuk siapa pun yang sudah mempercayai demokrasi, kiranya perlu untuk berbicara (speak out) dan bertindak sesuai dengan ruang lingkupnya masing-masing untuk menutup ruang gerak siapa pun yang merupaya merongrong demokrasi.
Jeffrie Geovanie
http://jeffriegeovanie.com
Anggota MPR RI 2014-2019