Pemerintah dan DPR diharap lebih serius melindungi data pribadi warga di ruang maya. Kegagalan dalam melindungi data ini bisa berdampak luar biasa seperti mengarahkan preferensi pemilih di pemilu dan mengancam persatuan.
Ketidakmampuan negara untuk melindungi data privat warga di ruang maya berpotensi menimbulkan dampak luar biasa, termasuk di bidang politik seperti memengaruhi preferensi pemilih ataupun “menggoyang” persatuan. Oleh karena itu, sudah saatnya negara lebih hadir untuk menjaga kedaulatan negara di ruang digital melalui penyediaan regulasi ataupun kemauan politik yang kuat untuk menegakkannya.
Terungkapnya kasus Cambridge Analytica, konsultan politik yang diduga “menambang” data pribadi sekitar 50 juta pengguna Facebook untuk memenangkan Donald Trump pada Pemilihan Presiden di Amerika Serikat 2016, hanya puncak gunung es persoalan perlindungan data privasi pengguna internet.
Kondisi serupa, bahkan lebih parah, dinilai bisa terjadi di Indonesia yang tingkat perlindungan data pribadinya lebih rendah dari negara-negara maju.
“Cambridge Analytica ini hanya puncak gunung es yang terlihat permukaannya, tetapi di bawahnya luar bisa banyak. Dalam konsep, kita adalah informasi, lalu informasi diri kita serahkan ke pihak lain, maka terserah dia, kita mau dieksploitasi seperti apa,” kata Gildas Lumy, pakar keamanan siber yang juga Koordinator Forum Keamanan Siber dan Informasi (Formasi) dalam diskusi publik “Skandal Facebook, Dampaknya bagi Kita” di kantor DPP Partai Solidaritas Indonesia di Jakarta, Selasa (3/4/2018).
Hadir sebagai pembicara lain dalam diskusi itu politisi PSI yang juga mantan CEO OLX Daniel Tumiwa, pendiri Daily-Social.Net Rama Mamuaya, pakar siber Eka Ginting, praktisi media Daniel Rembeth, serta pendiri PicMix Calvin Kizana.
Memengaruhi pemilih
Gildas menambahkan, di tengah penetrasi penggunaan media sosial yang besar, menjadi keniscayaan sebagian besar partai politik akan mencari solusi mendapatkan suara pemilih dengan menggunakan analisis data ataupun penambangan data besar.
Di beberapa negara, sudah muncul indikasi preferensi pemilih bisa dipengaruhi melalui algoritma platform layanan mesin pencari ataupun media sosial. Selain itu, pesan lebih merusak juga bisa disisipkan.
“Bisa saja setiap kali seseorang mengakses media sosial, diarahkan ke preferensi penggantian ideologi negara Misalnya 10 banding 1 informasi yang dilihat status atau posting informasi yang mengarah ke penggantian ideologi Indonesia. Lama-lama preferensi bisa bergeser ke arah Sana,” katanya.
Daniel Tumiwa menuturkan, kasus Cambdirge Analytica bisa saja terjadi di Indonesia, bahkan bukan tidak mungkin, hal yang sama sudah terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, dia menilai perlindungan terhadap data pribadi sudah harus menjadi perhatian serius legislatif dan eksekutif.
Menurut dia, di tengah penetrasi internet yang semakin besar, kedaulatan negara itu juga bisa dimaknai sebagai kedaulatan atas kekayaan data. Dengan begitu, negara harus melindungi kekayaan data itu melalui perangkat hukum dan kemauan politik. Sementara itu, Daniel Rembeth mengingatkan pentingnya pengguna media sosial untuk melek perlindungan data pribadi. Selama ini, masyarakat masih kurang literasi atau bahkan abai terhadap keamanan data pribadinya.
“Jangan lupa media sosial sekarang bisa berubah menjadi ‘binatang buas’ yang siap menerkam siapa saja yang ada di dalamnya. Masyarakat harus sadar apa yang mau di unggah di media sosial. Pemerintah juga harus lebih cepat bergerak,” katanya. (GAL)
Sumber: Harian Kompas, 04 April 2018