Tiga rancangan undang-undang (RUU) tidak masuk dalam program legislasi nasional diduga karena jumlah legislator perempuan minim di DPR. “Tiga rancangan itu adalah rancangan perubahan UU tentang Perkawinan, UU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan UU tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender,” kata Bendahara Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Suci Mayang Sari, di DPP PSI, Jakarta, Kamis (8/3/2018).
Ia mengungkapkan, total perempuan di parlemen sekarang ini hanya ada 97 orang atau 17,5 persen dari total keseluruhan anggota parlemen yang mencapai 560 orang. Angka tersebut jauh dari peraturan yang menyatakan parpol harus menyertakan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen.
Namun, aturan-aturan tersebut tidak berdampak pada upaya meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. “Pertama ada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Kedua, UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan PKPU Nomor 6 Tahun 2018. Tetap saja tidak ada efek yang signifikan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan,” katanya.
Dia menyayangkan hal tersebut sebab hampir 49,75 persen dari populasi penduduk Indonesia yang berjumlah 261 juta jiwa merupakan populasi perempuan. Alhasil, pasal-pasal yang berkaitan dengan perempuan, hingga kini, belum dapat diperjuangkan.
Misalnya, batasan usia menikah 16 tahun di Undang-undang tentang Perkawinan menyebabkan gagalnya program wajib belajar 12 tahun. Batasan ini juga menjadikan Indonesia sebagai negara ketujuh di dunia dengan perkawinan anak di bawah umur.
“Undang-Undang tentang Pekerja Rumah Tangga juga berkaitan dengan perempuan. Gagalnya rancangan ini disahkan adalah PRT entan terhadap eksploitasi, upah rendah, tindakan kekerasan dan lain-lainnya,” ujar Suci.
Terakhir, gagalnya Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender juga berimplikasi pada munculnya aturan-aturan diskriminatif terhadap perempuan. Suci mencatat aturan diskriminatif ke perempuan terdiri dari 124 perda yang menimbulkan kriminalisasi perempuan, 90 aturan tentang cara berpakaian, 35 aturan tentang jam malam bagi perempuan, serta 30 aturan tentang pemisahan ruang publik.
“Perda ini ada di 5 wilayah, Jawa Barat, Sumatera Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Ini tantangan buat kita, harus cari cara agar diubah. Para perempuan harus masuk ke sistem ikut ke dalam,” kata Suci. Suci menilai keterwakilan perempuan di politik baik dari segi kuantitas dan kualitas diharapkan bisa mendukung kepentingan perempuan dan menghasilkan kebijakan dengan perspektif gender.