Dini Shanti Purwono mengaku tidak suka politik. Ia menganggap politik identik dengan perebutan kekuasaan yang jahat. Tapi itu dulu.
Belakangan ia menyadari, politik itu sebenarnya adalah benda mati. Ia cuma merupakan sebuah wadah atau cara perebutan kekuasaan. “Pada saat politik itu diisi dengan orang-orang yang memiliki itikad baik dan memiliki kemampuan di dalamnya, maka politik akan menjadi baik, politik akan menjadi alat untuk menyejahterakan rakyat,” katanya.
Bagi Dini, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merupakan partai yang bersahabat dan merakyat sebab diisi oleh orang-orang biasa, bukan kumpulan elite politik. Ia juga tidak melihat adanya sosok penguasa tertentu yang menjadi titik berat PSI.
“Selain itu, sebagai seorang ibu saya melihat PSI sebagai partai politik yang memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk perempuan itu untuk berpartisipasi dalam politik, bahkan menjadi pengurus partai politik,” kata perempuan kelahiran Jakarta ini.
Ia pun akhirnya mendaftar sebagai bakal calon legislatif PSI. Sebelumnya, Dini berkarier sebagai praktisi hukum . Ia spesialis menangani permasalahan hukum korporasi yang terkait dengan investasi, pasar modal, merger dan akuisisi. Profesinya di dunia hukum lebih banyak di belakang layar, seperti membuat perjanjian, struktur transaksi bisnis, legal advice dan legal opinion terkait kegiatan korporasi. Klien-kliennya mayoritas perusahaan-perusahaan besar dalam negeri, termasuk perusahaan asing.
Dini menempuh pendidikan strata 1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan lulus pada 1997. Selama kurun waktu 1997-2005, Dini bergabung di firma hukum Hadiputranto, Hadinoto dan Partners (HHP) yang merupakan kantor koresponden dari firma hukum internasional Baker & McKenzie. Posisi terakhir sebagai Senior Associate.
Di sela-sela kurun itu, kembali melanjutkan pendidikannya. Dini berhasil meraih gelar master di bidang hukum keuangan internasional dari Harvard Law School (LLM, 2002) dengan dukungan beasiswa Fulbright Scholar.
Pada 2005-2008 Dini bergabung di PT Danareksa (Persero) sebagai Kepala Biro Hukum. Ia juga sempat bergabung di firma hukum Roosdiono dan Partners dengan posisi partner selama 2 tahun sebelum akhirnya bergabung sebagai partner dari pemilik firma di firma hukum Christian Teo & Partners (CTP).
Dini juga punya kepedulian pada isu-isu sosial. Dini dan teman-temannya sesama alumni Harvard, seperti Todung Mulya Lubis, Bambang Harymurti, Goenawan Mohamad, dan lain-lain menginisasi petisi online yang isinya membantah tuntutan Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Dalam petisi yang ditandatangani lebih dari 10.000 orang itu dikatakan bahwa Ahok sebagai terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana penistaan agama.
Dini juga salah satu sosok yang terdepan dalam mengajukan permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi melalui Lembaga Bantuan Hukum PSI yang diberi nama Jangkar Solidaritas (Jaringan Advokasi Rakyat Partai Solidaritas Indonesia). Sejumlah pasal tertentu dalam UU itu dinilai diskriminatif karena memperlakukan partai lama dan partai baru secara berbeda. Juga pasal tertentu dalam UU itu dinilai tidak mewajibkan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik sedikitnya 30 persen.
Di tengah kesibukannya, Dini bersedia meluangkan waktunya untuk mengasuh rubrik “Klinik Hukum” di Jawa Pos Radar Semarang yang hadir setiap Kamis. Dini dipilih mengasuh rubrik tersebut karena kapasitas dan kemampuannya sebagai advokat yang sudah tidak diragukan lagi. Kesediaan Dini berbagi ilmu hukum didasari oleh keprihatinannya terhadap kasus-kasus hukum yang kerap dialami warga, khususnya kalangan wong cilik. Dini berharap sumbangsihnya itu bisa bermanfaat bagi rakyat banyak.
Kini, Dini bergabung dengan PSI. Ia juga akan menjadi juru bicara PSI, terutama menyangkut soal hukum.