Keinginan sejumlah pihak agar pemilihan presiden 2019 diikuti lebih banyak pasangan calon tak terkabul setelah kemarin Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Pemilihan Umum. Mahkamah menyatakan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), yang diatur dalam pasal tersebut, sudah sesuai dengan konstitusi dan tidak diskriminatif.
Ditolaknya uji materi yang diajukan sejumlah partai politik dan perseorangan tersebut menutup peluang partai politik mengajukan sendiri calon presiden dan wakil presidennya. Ambang batas pencalonan presiden mensyaratkan 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat dan 25 persen suara nasional. Karena tak satu pun partai peserta Pemilu 2014 memenuhi syarat itu, partai-partai harus berkoalisi.
Ini merupakan kemunduran demokrasi. Pemilihan presiden bisa jadi hanya akan diikuti dua pasangan calon seperti pada 2014, karena partai-partai besar sudah membangun koalisi dengan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Pada 2019 pemilihan presiden digelar bersamaan dengan pemilihan legislatif, dan hitungan yang digunakan adalah hasil Pemilu 2014. Ini bertentangan dengan logika demokrasi, karena situasi politik dalam rentang lima tahun itu sangatlah berbeda.
Membatasi jumlah calon dalam pemilihan presiden memang tidak selamanya buruk bila dilakukan dengan alasan calon yang terlalu banyak dapat membingungkan pemilih serta memunculkan politik berbiaya tinggi. Tapi semangat merampingkan jumlah calon tak boleh mengurangi esensi demokrasi, termasuk kepatuhan kepada konstitusi yang melindungi hak politik warga negara. Sejauh ini perdebatan ihwal presidential threshold tak didasarkan pada substansi demokrasi. Anggota Dewan lebih banyak memikirkan kepentingan jangka pendek masing-masing. Tak mengherankan bila Dewan mengubah aturan setiap kali pemilihan umum akan digelar.
Mahkamah, dalam pertimbangannya, menilai ambang batas pencalonan presiden relevan untuk memperkuat sistem presidensial. Dengan presidential threshold, presiden terpilih dapat memiliki kekuatan di parlemen. Pada kenyataannya, penetapan ambang batas pencalonan presiden yang tinggi tidak selalu menciptakan pemerintahan yang stabil. Dalam perjalanannya, koahsi partai pendukung calon presiden tak selalu mendukung presiden terpilih sepanjang periode kepemimpinannya. Tidak jarang mereka berseberangan dengan kebijakan pemerintah.
Penyaringan kandidat semestinya tak perlu dilakukan dengan presidential threshold, karena sudah ada verifikasi partai politik peserta pemilu. Syarat yang harus dipenuhi calon peserta pemilu cukup berat, dari memiliki kantor dan kepengurusan partai di sebagian besar daerah hingga keterwakilan perempuan dalam struktur kepengurusan pusat minimal 30 persen dari jumlah pengurus.
Verifikasi tersebut semestinya cukup untuk membatasi calon presiden. Apalagi, pada saat yang sama dengan penolakan uji materi Pasal 222, Mahkamah mengabulkan permohonan uji materi Pasal 173. Dengan putusan ini, partai peserta Pemilu 2014 harus tetap menjalani verifikasi faktual.
Sumber: Koran Tempo, 12 Januari 2018