Keberagaman yang Mesti Dipelihara

Keberagaman tak lagi cukup dirayakan ketika keberadaannya lebih tampak sebagai sumber konflik antar-kelompok masyarakat dan rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Sebaliknya, setiap perbedaan perlu diakui sehingga setiap kelompok ataupun individu yang beragam itu berada dalam posisi yang sederajat dan memiliki kesempatan yang sama memenuhi hak-haknya.

Ironi atas keberagaman terasa begitu kental ketika tahun lalu, pada perayaan kemerdekaan 17 Agustus, Presiden Joko Widodo mempromosikannya melalui pesta kostum adat dari sejumlah daerah. Untuk sesaat, hal itu menggetarkan hati, terutama ketika menyaksikan keberagaman dipanggungkan di Istana Negara.

Semua orang seolah menyadari kembali begitu kayanya negeri ini. Namun, di saat yang sama, ada banyak kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi, misalnya dilarang mendirikan tempat ibadah ataupun kesulitan memperoleh kartu tanda penduduk karena tidak bersedia mengisi kolom agama dengan salah satu dari enam agama yang diakui oleh negara. Banyak kisah dari para penghayat kepercayaan yang kesulitan mendapatkan KTP.

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hal tersebut, akhir tahun lalu, terasa agak terlambat. Sebagai entitas di negeri ini, kepercayaan tradisional itu bagian dari kekayaan dan kearifan lokal.

Di sisi lain, pascareformasi, kelompok-kelompok intoleran dan oligarki menguat. Hiruk-pikuk mereka dalam merebut simpati masyarakat lewat sentimen primordial kesamaan agama ataupun suku itu menenggelamkan kenyataan atas keberagaman.

Bibit perpecahan pun muncul, yang sebenarnya perlu disikapi serius. Kekerasan atas nama penegakan moral, persekusi, jarang sekali diproses hukum. Alih-alih dianggap meresahkan, tindakan mereka tumbuh sebagai kebenaran dalam alam pikir sebagian kalangan masyarakat sebagai akibat pembiaran terus-menerus.

Sementara pemerintah daerah dengan kewenangan otonominya cenderung mengembangkan kebijakan-kebijakan yang promayoritas sehingga kesempatan bagi kelompok minoritas semakin termarjinalkan.

Belum dikelola serius

Tampaknya keberagaman sebagai anugerah dan kenyataan negeri ini belum pernah benar-benar diakui dan dikelola serius sejak negeri ini merdeka. Dalam tulisannya, ”Minoritas dan Agenda Multikulturalisme di Indonesia”, dalam buku Hak Minoritas, M Nurkhoiron kembali mengingatkan bahwa sejak masa Presiden Soekarno, perbedaan itu dilebur dalam semangat persatuan. Dengan paradigma persatuan, perbedaan ditata dalam keranjang yang sama.

Sebaliknya, pada masa Presiden Soeharto terjadi pembakuan terhadap kebudayaan-kebudayaan daerah untuk dijadikan tonggak kebudayaan nasional. Pembakuan itu malah menyebabkan kehancuran pada kebudayaan lokal. Akibatnya, perbedaan agama, etnis, dan ras sering dijadikan sebagai sumber perpecahan dan konflik. Sebagai contoh, konflik Madura dan Dayak di Kalimantan Barat; konflik agama di Poso, Sulawesi Tengah; hingga kerusuhan Mei 1998 yang membuat kelompok keturunan Tionghoa sebagai sasaran amuk massa.

Dengan mengikuti pemikiran ahli politik dan budaya JS Furnivall, Ridwan al-Makassary dalam artikelnya, ”Multikulturalis-me: Review Teoritis dan Beberapa Catatan Kritis”, yang juga terdapat dalam buku Hak Minoritas, menyampaikan, dalam masyarakat yang majemuk, ada tuntutan sosial yang tak terorganisasi karena struktur tuntutan dan motif ekonomi yang ada tidak terkoordinasi oleh nilai-nilai budaya yang sama. Wajar jika upaya mencapai kesederajatan kesempatan dan distribusi kemakmuran yang adil dalam masyarakat majemuk itu menjadi masalah yang tak mudah diatasi.

Menurut Ridwan, dalam kehidupan masyarakat yang majemuk perlu dibangun kesetaraan. Dalam hal ini, kontribusi kelompok minoritas perlu dihargai dalam sebuah mosaik kultural.

Pemerintah daerah dengan kewenangan otonominya cenderung mengembangkan kebijakan-kebijakan yang promayoritas.

Sumber: Harian Kompas 

Recommended Posts