Oleh: Saidiman Ahmad
Kabar baik itu datang dari Partai Solidaritas Indonesia. Di usianya yang masih muda, mereka merekrut bakal calon anggota legislatif secara terbuka. Semua warga negara diberi kesempatan mendaftarkan diri. Sejumlah tokoh profesional diberi wewenang untuk mewawancarai setiap kandidat yang lulus persyaratan administratif.
Wawancara disiarkan secara langsung melalui media sosial, seperti Facebook, Instagram, Periscope, dan Twitter. Para kandidat tidak hanya menghadapi tim independen di ruang tertutup, tetapi juga publik secara umum. Ini adalah tradisi baru yang patut diapresiasi.
Inisiatif yang dilakukan partai dengan cap anak muda ini merupakan sebuah terobosan di tengah persoalan akut yang membelit partai-partai politik mapan di Indonesia. Merit based recruitment ini secara langsung melawan oligarki politik dan praktik kartel yang telah begitu lama mengental dalam perilaku elite dan partai politik kita. Oligarki dan politik kartel bahkan menjadi pandangan dominan para pengamat, media, aktivis, dan publik secara umum. Tidak heran jika dalam banyak jajak pendapat, partai politik menjadi institusi demokrasi yang paling tidak mendapat tempat di hati publik.
Masih terkungkung oligarki
Vedy R Hadiz dan Richard Robison (2013) menyimpulkan bahwa Indonesia pasca-Orde Baru masih dikungkung oleh politik oligarki. Kekuasaan politik dan akses pada sumber daya masih berada di tangan para elite yang itu-itu juga sejak zaman Orde Baru. Jika pun muncul elite dan aktor baru, mereka melakukan dominasi serupa.
Bagi Hadiz dan Robison, oligarki tidak mengenal sistem politik. Ia bisa hidup pada semua bentuk pemerintahan. Dalam setiap perubahan sistem, menurut keduanya, kapitalisme melakukan evolusi. Jika pada masa kediktatoran, kekuasaan para oligarki terpusat, maka desentrasilisasi membuat oligarki menyebar ke seluruh daerah. Elite-elite lokal menjadi raja-raja baru yang dominan dan nyaris tak tergantikan.
Jeffrey A Winters (2013) dalam Oligarchy and Democracy in Indonesia menjelaskan bahwa para oligarch bisa berdiri sendiri dan memerintah, atau masuk ke dalam rezim otoritarian atau demokratis sekaligus. Kekuatan utama mereka adalah uang.
Di sisi yang lain juga terjadi praktik politik kartel. Studi disertasi yang dilakukan Kuskridho Ambardi (2008) menyoroti interaksi antarpartai politik di Indonesia masa Reformasi. Pandangan banyak orang menyatakan bahwa pemilihan umum yang diikuti partai-partai politik adalah cerminan kompetisi antarideologi, cara pandang, dan kekuatan politik.
Meski demikian, Ambardi menemukan bahwa kompetisi antarkekuatan politik itu hanya terjadi pada masa pemilihan umum. Kompetisi berhenti ketika para anggota Dewan terpilih dan eksekutif dilantik. Yang terjadi setelah itu adalah kompromi dan praktik politik kartel. Tidak ada lagi pekik ideologi. Sehabis pemilu, keputusan dan kebijakan tiap-tiap partai didasarkan pada lobi, kompromi, dan bagi-bagi kue kekuasaan.
Lalu, apakah perekrutan bakal calon anggota legislatif Partai Solidaritas Indonesia (PSI) secara terbuka bisa mengurai kebuntuan dunia politik ini?
Sebuah studi yang dilakukan Marcus Mietzner (2013), Fighting the Hellhounds: Pro-democracy Activists and Party Politics in Post-Suharto Indonesia, menarik untuk dibaca. Studi ini mempelajari peran para aktivis yang masuk ke parlemen sejak pemilu pertama Reformasi pada 1999.
Pengaruh aktivis
Di tengah pesimisme pada politik Tanah Air, Mietzner menemukan pengaruh para aktivis di parlemen. Meski tidak semuanya, kehadiran para aktivis di dalam parlemen di awal-awal Reformasi telah mampu membawa perubahan yang cukup berarti.
Ada tiga kanal yang menyalurkan para aktivis masuk parlemen, menurut Mietzner. Pertama, para aktivis di organisasi-organisasi ekstra mahasiswa yang secara langsung maupun tidak memiliki afiliasi pada partai-partai politik. Organisasi-organisasi ini antara lain KAMMI yang dekat dengan PKS, PMII yang dekat dengan partai-partai NU, HMI yang memiliki banyak senior di Partai Golkar, atau IMM yang berada dalam satu kultur keagamaan dengan PAN.
Kanal kedua adalah para aktivis yang di masa Orde Baru bergerak melawan rezim dengan menggunakan pelbagai organ masyarakat sipil. Mereka untuk sementara waktu berada di luar sistem untuk menumbangkan rezim diktator. Setelah demokrasi terwujud, mereka lalu masuk ke dalam sistem melalui partai-partai politik yang ada.
Kanal ketiga adalah para aktivis yang setelah 1998 tetap bergerak di luar parlemen. Mereka konsisten mendesakkan agenda-agenda perubahan. Namun, pada satu titik, ketika gerakan di luar sistem tidak lagi memadai, mereka lalu terjun masuk untuk mengubah dari dalam.
Meski demikian, menurut Mietzner, para aktivis yang masuk parlemen mengalami dua masalah. Di kalangan sesama aktivis, mereka acap kali dianggap sebagai pengkhianat. Sementara di kalangan sesama anggota parlemen, mereka sering dianggap politikus bermental organisasi nonpemerintah.
Walaupun relatif sangat sedikit, tahun 2009 hanya 7 persen atau 37 orang dari 560 anggota parlemen (Kompas 2010, dalam Mietzner 2013), para aktivis yang masuk ke parlemen bisa memberi warna. Hal ini dimungkinkan karena mereka memiliki konsep, cakap dalam berkomunikasi, dan tentu saja piawai dalam berdebat yang telah terasah semasa menjadi aktivis.
Gagasan yang masuk akal dan retorika terlatih membuat mereka dominan dalam perdebatan. Dari situ lahir banyak produk perundang-undangan yang penting antara lain di bidang reformasi militer, partisipasi politik perempuan, sampai pada undang-undang desa.
Rekrutmen politik terbuka yang dilakukan PSI adalah pintu masuk bagi para aktivis untuk terlibat lebih banyak dalam politik praktis. Dengan menguji para bakal calon anggota legislatif melalui proses wawancara dengan tim independen, kualitas calon bisa terjaga.
Perubahan wajah
Jika perekrutan terbuka yang dilakukan PSI ini berhasil, politik Indonesia akan mengalami perubahan wajah. Anak-anak muda profesional dari pelbagai bidang akan mengisi daftar calon anggota legislatif mereka. Lalu, sebagian mereka akan berhasil masuk parlemen.
Dengan demikian, bukan hanya jumlah aktivis yang akan bertambah, melainkan juga varian yang meluas pada aktivis yang masuk ke dalam parlemen. Rekrutmen terbuka calon anggota legislatif adalah ikhtiar memudakan politik Indonesia. Partai-partai politik dominan perlu melakukan hal serupa.
Saidiman Ahmad
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC); Alumnus Crawford School of Public Policy, Australian National University
Sumber: Opini Harian Kompas, 22 November 2017