Perekrutan calon anggota legislatif menjelang Pemilu 2019 menjadi pintu bagi partai politik untuk menggalang dukungan publik. Namun, dukungan ini bisa diraih jika para calon anggota legislatif itu sesuai harapan publik. Di tengah apatisme publik saat ini, memilih sosok berintegritas menjadi hal yang harus dilakukan parpol.
Apatisme publik terhadap proses politik dan partai politik terekam dari sejumlah hasil survei yang menyebutkan apresiasi mereka pada partai politik masih tetap rendah. Citra partai politik hingga kini masih masuk kategori belum membaik di mata publik.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas, pekan lalu, sebagian responden enggan terlibat dan masuk dalam proses politik, termasuk hanya segelintir responden yang tertarik menjadi calon anggota legislatif (caleg) pada pemilu mendatang. Antusiasme yang rendah ini tidak terlepas dari dinamika politik saat ini yang tidak cukup positif di mata publik.
Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan elite partai turut memengaruhi penyikapan publik terhadap proses politik. Meskipun demikian, publik tetap meyakini masih ada sosok elite politik yang amanah dan bebas dari perilaku korup. Dalam jajak pendapat ini, nyaris semua responden (99,1 persen) menginginkan caleg ke depan adalah orang yang bersih dari kasus korupsi. Harapan ini wajar mengingat rekam jejak kasus korupsi yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap bersinggungan dengan anggota DPR.
Catatan Litbang Kompas, untuk DPR periode 2014-2019, sudah ada 11 anggota yang terjerat kasus dugaan korupsi. Terakhir, Ketua DPR Setya Novanto ditetapkan kembali menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Penetapan tersangka untuk Novanto ini adalah untuk yang kedua kali setelah status tersangka sebelumnya dinyatakan tidak sah oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Selain bersih dari korupsi, publik juga cenderung lebih percaya pada sosok caleg yang berpengalaman. Hampir semua responden (96,8 persen) menjadikan faktor pengalaman penting bagi caleg. Pada era reformasi ini, ada kecenderungan bahwa caleg yang sudah pernah menjadi anggota legislatif pada periode sebelumnya lebih berpeluang terpilih kembali dengan peluang keterpilihan yang cenderung meningkat.
Merunut kepada anggota DPR periode 1999-2004 hanya 19,9 persen anggota legislatif petahana yang masuk kembali menjadi anggota DPR. Saat itu semangat pascareformasi bergelora sehingga membuat banyak wajah baru masuk menjadi anggota legislatif di Senayan. Jumlah ini meningkat pada periode 2004-2009 menjadi 37,1 persen dan kemudian menjadi 34,9 persen di periode 2009-2014. Pada hasil Pemilu 2014, jumlah petahana anggota DPR mencapai 40,2 persen. Jika dibandingkan sejak awal reformasi, peningkatan jumlah petahana berarti naik dua kali lipat.
Sirkulasi elite
Meski kenyang pengalaman, kecenderungan semakin banyaknya anggota DPR petahana yang berhasil menduduki kembali kursinya di DPR akan berpengaruh pada sirkulasi elite. Ilmuwan sosial Italia, Vilfredo Pareto (1848-1923), menyebut perubahan rezim ataupun pemerintahan dapat terjadi setiap saat. Hal itu bukan hanya karena pemimpin digulingkan oleh rakyatnya, tetapi bisa juga karena adanya kelompok elite lain yang menggantikan mereka.
Pergantian itulah yang kemudian menjadikan sirkulasi elite sebagai sebuah keniscayaan dalam demokrasi. Perubahan peta politik pun terbuka di setiap kontestasi. Hal ini tentu wajar mengingat di setiap kompetisi politik selalu ada aturan dan pemain baru, serta situasi kontestasi yang berbeda dengan kompetisi politik sebelumnya. Dalam hal regulasi, misalnya, ada kecenderungan pengetatan dan pembatasan bagi caleg yang bakal bertarung memperebutkan kursi di pemilu. Kita lihat persyaratan caleg pada Pemilu 1999 dan 2004.
Selain persyaratan yang bersifat normatif, seperti usia dan syarat pendidikan minimal sekolah menengah atas (SMA), ada syarat khusus terkait tidak sedang menjalani pidana penjara lima tahun atau lebih. Selain itu, ketentuan soal tidak pernah terlibat dalam organisasi terlarang juga disebutkan dalam persyaratan. Dalam perkembangannya, persyaratan ini semakin berat.
Pada Pemilu 2009 dan 2014 ada syarat tambahan terkait pelarangan rangkap jabatan. Bagi caleg yang berlatar belakang aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan pegawai BUMN/BUMD harus mengundurkan diri dari status apa pun dari kelembagaan tersebut. Selain itu ada juga tambahan persyaratan terkait caleg yang berprofesi sebagai akuntan publik, advokat, dan notaris. Mereka harus nonaktif dari profesi itu.
Aturan ini juga kemudian menyasar, khususnya sejak Pemilu 2014 tentang status kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ingin menjadi anggota DPR. Mereka harus mengundurkan diri dari jabatannya tersebut. Terakhir polemik terkait status hukum bagi caleg untuk Pemilu 2019 diwajibkan mengumumkan kepada publik jika sang caleg pernah menjadi narapidana.
Persyaratan caleg yang setiap pemilu mengalami perubahan ini tidak lepas dari upaya membatasi agar calon-calon yang muncul benar-benar kredibel dan sesuai keinginan publik. Tentunya, partai politik menjadi kunci bagaimana mereka harus melakukan perekrutan politik melalui penjaringan caleg untuk Pemilu 2019.
Tantangan partai
Bagaimanapun perekrutan politik adalah salah satu fungsi dari partai politik. Salah satu pintu perekrutan politik itu adalah penjaringan caleg yang nantinya atas nama partai politik, menjadi anggota perwakilan rakyat di parlemen. Jika selama ini proses perekrutan politik cenderung tertutup di internal partai, publik cenderung menginginkan ada mekanisme yang terbuka sehingga masyarakat secara umum bisa masuk dalam proses perekrutan tersebut. Ini tantangan bagi partai politik.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan partai dan diharapkan publik adalah partai secara aktif mendekati tokoh-tokoh yang selama ini punya reputasi baik di mata publik untuk bersedia menjadi caleg dari partai tersebut. Sebanyak 67,6 persen responden dalam jajak pendapat ini berharap hal ini menjadi alternatif bagi partai untuk mendapatkan sosok caleg yang kredibel.
Setidaknya pola ini sebenarnya juga dilakukan oleh partai dalam konteks penjaringan calon kepala daerah. Meski kader sendiri, yang sudah meniti karier di partai, biasanya mendapat prioritas, partai umumnya tetap membuka kesempatan bagi calon lain dari luar partai. Ini menjadi bagian dari fungsi partai dalam kaderisasi politik.
Partai juga diharapkan membentuk tim seleksi independen, bukan dari anggota partai politik, untuk melakukan seleksi calon-calon anggota legislatifnya. Tiga dari empat responden setuju langkah ini dilakukan untuk menghasilkan caleg secara profesional. Langkah ini tentu berbasis meritokrasi sebagai bagian dari reformasi partai politik.
Apa yang digagas partai baru, seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang melibatkan 11 tokoh masyarakat nonpartai menjadi tim seleksi calon anggota legislatifnya, menjadi contoh awal baik untuk mengubah tradisi perekrutan politik di Indonesia. Inilah tantangan bagi partai politik untuk membuka diri dan benar-benar mereformasi proses perekrutan politiknya.
Masa depan partai politik tidak cukup ditentukan oleh seberapa berkualitas dan berintegritas kader-kader tersebut. Itulah harapan publik terhadap pola perekrutan caleg oleh partai politik yang positif dan berkualitas. Partai juga diharapkan membentuk tim seleksi independen, bukan dari anggota partai politik, untuk melakukan seleksi calon-calon anggota legislatifnya. (YOHAN WAHYU/ Litbang Kompas)
Sumber Harian Kompas,