Mikhail Gorbachev Dom merasa ada yang kurang. Gorba, panggilan akrabnya, selama bertahun-tahun berjuang di bidang lingkungan hidup lewat jalur akademik, aktivisme, bahkan spiritual.
Ia aktif di LSM Pepulih, Komunitas Magis Jakarta, Pusat Riset Perkotaan & Wilayah UI, Dewan Kota Cerdas Bekasi, juga mengajar di Institut Sains Teknologi Nasional (ISTN) Jakarta.
“Dampak yang saya timbulkan sebagai seorang akademisi, aktivis, dan religius tidak seberapa besar jika dibandingkan seorang kepala daerah. Semenjak saat itu saya melihat jalur politik adalah jalur yang memiliki gaung yang keras untuk bersuara dan beraksi,” tulis Gorba dalam esai yang diajukan saat mendaftar sebagai calon legislatif Partai Solidaritas Indonesia (PSI) .
Masalahnya, politik terstigma kotor dan transaksional. Alhasil, menurut dia, berjuang lewat jalur politik sangat sulit. Politik eksklusif bagi para elite saja. Orang biasa seperti dia hanya akan jadi pelengkap penderita, sangat sulit mendapat tempat.
“Lalu setelah kejatuhan Pak Ahok, saya mulai berkenalan dengan PSI. Semakin saya dalami cita-cita PSI, saya semakin tertarik. PSI membawa politik ke ranah inklusif, politik untuk semua, juga membawa pesan politik yang toleran dan antikorupsi,” kata sarjana geografi lulusan UI ini. Ia pun mantap mengajukan diri sebagai caleg.
Lalu apa yang akan dikerjakannya andai terpilih sebagai anggota legislatif? Menurut Gorba, Indonesia membutuhkan UU Metropolitan. Yang dimaksud dengan metropolitan adalah kumpulan sejumlah kota. Misalnya Jabodetabek.
Dalam UU itu, Gorba mengusulkan keberadaan city manager. “Kita butuh city manager, orang-orang di level teknis. Itu yang harus dimasukkan dalam UU Metropolitan,” ujar Gorba.
City manager mengelola level metropolitan. Misalnya untuk metropolitan Jabodetabek, ada satu city manager. Nanti komisarisnya adalah wali kota Tangsel, gubernur DKI Jakarta, wali kota Bogor, dan pemimpin kota lain.
Juri independen, Djayadi Hanan, bertanya, “Usulan ini tidak akan mengubah struktur yang selama ini ada?”
Pria yang menempuh S2 Ilmu Lingkungan di UI ini menjawab, “Tidak mengubah. Tapi, kita akan punya satu payung bersama. Jika satu kota punya pemimpin yang baik, sementara kota lain tidak punya, kecepatan lari tidak sama. Tapi kalau ada satu city manager, kita bisa bikin supaya speed seirama.”
Bagaimana dengan urusan toleransi dan korupsi yang menjadi tema utama perjuangan PSI?
Sebagai seorang pejuang lingkungan, Gorba menganggap toleransi adalah prinsip terpenting. Dari sudut pandang ilmu ekologi, setiap makhluk hidup (biotik) ataupun benda mati (abiotik) bersama-sama menopang kehidupan.
“Karena itu dalam penghayatan lingkungan hidup tidak mungkin muncul eksklusifitas dan intoleransi. Terlebih lagi kami sebagai pejuang lingkungan terbiasa berkerja bersama dengan aktivis dari latar belakang apa pun, tidak pernah melihat suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Toleransi adalah bagian tidak terpisahkan dari perjuangan menyelamatkan lingkungan hidup,” katanya.
Korupsi di sisi lain juga adalah musuh bagi perjuangan menyelamatkan lingkungan hidup. Korupsi, tulis Gorba, pada intinya adalah pertarungan antara pribadi dan publik. Seorang koruptor adalah mereka yang mengambil hak publik untuk dinikmati secara pribadi. Perilaku ini persis seperti buang sampah sembarangan, yang mengotori ruang publik asal ruang pribadinya bersih.
Jadi korupsi adalah musuh para pejuang lingkungan hidup. Mereka yang peduli dengan lingkungan mustahil tidak peduli dengan masyarakat sekitar.
“Jika kepada pohon dan sungai saja mereka peduli, apalagi sesama rakyat. Penghayatan nilai lingkungan hidup membuat seseorang rela berkorban demi kepentingan umum (publik), bahkan demi nasib generasi mendatang yang belum lahir,” tulis pria kelahiran 12 Juli 1986 ini.