“Even if you had committed every crime imaginable, this would render you the most honest man in my eyes. Three diamonds worth three thousands pistoles! Why, my dear sir, rather than take you to jail, I would die for you….” (“Candide”, Voltaire)
Tahun 1928, pemuda-pemudi bersumpah untuk bersatu karena menyadari persatuan menjadi titik awal untuk lepas dari belenggu penjajahan. Hampir sembilan dekade berlalu, fondasi persatuan bangsa ini perlahan digerogoti korupsi. Mampukah orang muda saat ini kembali meneguhkan tekad untuk bersatu memutus belenggu korupsi?
Korupsi kronis punya daya masak luar biasa. Jawaban aparatur yang “disuap” tiga berlian senilai 3.000 pistoles (koin emas) oleh Candide, tokoh muda lugu dalam karya satir Voltaire berjudul Candide yang publikasikan tahun 1759 itu merefleksikan begitu berbahayanya korupsi. Korupai membuat hukun bisa dibengkokkan. Benar dan salah bisa bertukar posisi. Pelindung masyarakat bisa menjadi lebih bengis dari penjahat.
Orang yang benar bisa dihukum, lalu terpaksa menyuap demi lepas dari kesalahan yang dibuat-buat. Korupsi menimbulkan ketidakpastian. Kepastian hanya milik penguasa atau orang berduit.
Beberapa penelitian mengasosiasikan korupsi dengan instabilitas politik, di mana penjaga ketertiban masyarakat menjadi “predator”. Korupsi juga memperlebar jurang kesenjangan karena tidiik menyediakan ruang persaingan yang setara. Kondisi ini lantas merenggangkan kohesi sosial dan rasa persatuan karena menyebabkan ada bagian dari masyarakat yang “tersisih” dari manfaat pembangunan dan “kue” ekonomi. Negara juga jadi tidak bisa maksimal hadir menyediakan jaring pengaman sosial karena anggaran “bocor”.
Theodore Smith dalam Corruption, Tradition, and Change yang dipublikasikan Southeast Asia Program Publications, Cornell University, Amerika Serikat, pada tahun 1971 mengingatkan potensi “biaya” korupsi di Indonesia. Akumulasi kapital dari korupsi tingkat tinggi jadi “sia-sia” karena dilarikan ke luar negeri. Korupsi juga bisa menurunkan legitimasi politik pemerintah. Selain itu, korupsi membuat birokrasi tak efektif dalam mengeksekusi kebijakan pemerintah.
Tidak kalah penting, korupsi bisa menghancurkan aset potensial terbesar sebuah negara, yakni antusiasme, idealisme, dan dukungan dari generasi muda. Smith berpendapat, korupsi mengubah idealisme dan antusiasme generasi muda menjadi sinisme. Dampaknya tidak hanya pada stabilitas politik, tetapi juga pada pembangunan. Generasi muda merupakan pemimpin politik ekonomi masa depan.
Peringatan Smith itu mulai terlihat di masa kini. Anak muda cenderung antipati terhadap politik karena menganggapnya kotor dan korup. Survei Litbang Kompas pada 25-27 Oktober 2017 yang melibatkan 498 responden di 14 kota besar di I ndonesia menunj ukkan hanya 11,8 persen responden yang mau menjadi anggota partai politik. Sebanyak 86,3 persen lainnya menyatakan tak bersedia.
“Anak muda selama ini menganggap politik kotor. Ini tidak bisa disalahkan juga karena sekitar 32 persen dari koruptor yang ditangkap KPK adalah politisi,” kata Tsamara Amany (21), Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia, dalam diskusi Satu Meja bertema “Kita Muda, Kita Beda” yang di tayangkan di Kompas TV, Senin (30/10) malam.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang menunjukkan, sejak institusi itu dibentuk tahun 2004 hingga medio 2017, sebanyak 212 dari 670 orang (32 persen) pelaku korupsi punya latar belakang partai politik. Orang-orang itu merupakan kepala daerah, wakil kepala daerah, serta anggota le-gislatif di pusat, provinsi, ataupun kabupaten/kota.
Hanya saja, bagi Tsamara, kondisi itu tidak bisa hanya didiamkan. Anak muda justru harus mengambil peran, ikut memperbaiki sistem yang korup. Menurut dia, jika orang-orang bersih tidak berani terjun ke politik untuk membenahi sistem, korupsi tak pernah bisa diatasi.
CEO Tokopedia William Tanuwijaya, seniman muda Galih Wismoyo, dan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya yang juga menjadi pembicara dalam diskusi yang dipandu Peinimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo juga punya pandangan relatif sama dengan Tsamara soal keengganan generasi muda terlibat politik. Namun, mereka juga mencatat belakangan anak muda mulai mengambil peran.
Pemuda menentukan
Pada saat politik dianggap kotor oleh orang kebanyakan, kata Yunarto, anak muda menghadapinya dengan lebih ekstrem. Tingkat partisipasi anak-anak muda dalam pemilu di AS berada di bawah rata-rata partisipasi pemilih umum yang berkisar 50 persen. Hal itu kemudian berubah saat ada momentum muncul nilai baru yang menggugah mereka. Di AS, pada 2008, muncul calon presiden Barack Obama yang membuat anak muda menjadi segmen yang aktif dengan tingkat partisipasi lebih tinggi dari pemilu sebelumnya.
Dalam konteks Indonesia, setelah pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012, muncul tokoh-tokoh seperti Joko Widodo, Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung), Basuki Tjahaja Purnama (mantan Gubernur DKI Jakiuta), dan Azwar Anas (Bupati Banyuwangi). Menurut dia, belakangan anak-anak muda berani muncul, di samping juga tersedia instnumen untuk mereka berpartisipasi.
“Semua bisa menilai, bersuara dengan media sosial dan internet. Belakangan ada pergeseran. Pembuat tren anak-anak berusia 18-24 tahun. Kenapa? Karena anak-anak muda bukan hanya punya, seperti disampaikan Tan Malaka, kemewahan idealisme, tetapi juga punya kepintaran dan teknologi,” katanya.
Sementara itu, William Tanuwijaya mengatakan, pada masa depan, Indonesia punya potensi menjadi kekuatan besar. Terlebih dengan adanya bonus demografi, yakni saat terjadi “ledakan” jumlah penduduk usia produktif.
“Pemuda Indonesia harus kembali bersatu dalam kebinekaan. Harus punya harapan Indonesia akan menjadi negara besar,” katanya.
Hanya lewat harapan yang diikuti semangat untuk berbuat sesuatu, baru Indonesia maju dan tentu saja lepas dari korupsi…. (ANTONY LEE)
Sumber: Koran Harian Kompas, 1 November 2017