Pemuda memiliki animo politik yang tinggi, namun kendala yang sering muncul di permukaan adalah perihal ruang atau panggung politik yang tidak dimilikanya. Sehingga tidak mampu eksis untuk mengejahwantahkan idealismenya.
Pemuda di usia 15 sampai 25 tahun menduduki seperlima jumlah penduduk di dunia. Meski demikian, besarnya jumlah pemuda tidak sejalan dengan keterwakilannya di ranah politik atau posisi di pembuat kebijakan. Pemuda masih menjadi kelompok marginal, seperti halnya perempuan dan kelompok disabilitas.
Sejalan dengan tren di dunia, di Indonesia pemuda juga menjadi kelompok marginal di ranah politik. Adapun menurut UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang dikategorikan sebagai pemuda adalah mereka yang berada di usia antara 16 sampai 30 tahun.
Minimnya representasi pemuda di ranah politik salah satunya tercermin melalui jumlah pemuda yang ada di lembaga perwakilan rakyat atau DPR. Dari 560 anggota dewan, hanya lima belas orang atau 2,7% yang mewakili kelompok pemuda (Formappi, 2014).
Kondisi tersebut sangat ironis, mengingat jumlah pemilih pemuda mewakili lebih dari 40% jumlah pemilih. Besarnya jumlah kelompok pemuda menjadi salah satu faktor penting mengapa pemuda perlu memiliki representasi yang cukup di politik.
Hal tersebut terkait dengan fungsi lembaga politik sebagai arena yang mampu mempengaruhi dan mengakomodir ragam kebijakan yang berkaitan dengan kebutuhan pemuda. Isu-isu terkait dengan akses pendidikan, lapangan pekerjaan dan dampak globalisasi adalah beberapa isu yang berkaitan erat dengan pemuda. Hanya kelompok pemudalah yang paling mengerti kebijakan yang paling sesuai untuk kelompoknya.
Selain itu, keberadaan pemuda di lembaga atau kegiatan politik menjadi hal yang dibutuhkan mengingat pemuda adalah kelompok yang identik dengan semangat pembaruan, inovasi dan kreatifitas, serta kerja keras. Semangat yang dibawa oleh pemuda dipercaya dapat memberi pengaruh positif pada kinerja organisasi.
Keterwakilan pemuda di politik berkaitan erat juga berkaitan erat dengan fungsi pemuda sebagai agen perubahan, generasi yang akan memegang kendali atas Republik ini di masa yang akan datang. Semakin banyak pemuda yang masuk ke dalam ranah politik, akan semakin banyak pula ‘stok’ pemimpin masa depan yang pengalaman, serta memiliki kecakapan dan ilmu yang mumpuni. Hal itu akan meminimalisir munculnya politisi ‘karbitan’ yang muncul hanya ketika hajatan politik seperti pemilu legislatif (pileg) atau pemilu kepala daerah (pilkada) berlangsung.
Berangkat dari realitas itu, PSI hadir dengan spirit kepemudaan dan perempuan dengan prinsip kesetaraan gender.
Penulis Muhammad Ridwan Wahid SE
Ketua DPD PSI Gowa