Belakangan ini dalam panggung perpolitikan Indonesia muncul sosok perempuan muda yang bagi saya dia representasi generasi milenial. Perempuan itu bernama Tsamara Amany yang sekaligus menjabat sebagai ketua partai anak muda PSI (Partai Solidaritas Indonesia).
Mahasiswi Paramadina ini menjadi perbincangan hangat setelah keberaniannya mendebat cuitan twitter wakil ketua DPR Fahri Hamzah yang viral dengan hashtag #TanyaPakFahri.
Tak lama kemudian perdebatan keduanya berlanjut dalam acara di salah satu stasiun televisi dimana Tsamara dan Fahri Hamzah menjadi nara sumber.
Ini adalah tantangan untuk Tsamara dalam menghadapi Fahri Hamzah yang selama ini argumennya selalu berseberangan dengan dirinya sekaligus menjadi pembuktian bahwa perempuan juga mampu berpolitik.
Setelah aksi debat di televisi, kiprah Tsamara dalam kancah politik semakin mendapat perhatian, namanya pun semakin di kenal publik. Menanggapi aksinya tersebut banyak pihak yang memuji dan mengapresiasi keberanian Tsamara terkait kritik terhadap pernyataan Fahri Hamzah. Namun tak sedikit pula netizen yang nyinyir dan meremehkan sikap Tsamara yang sangat vocal membela Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ironisnya komentar nyinyir tersebut berangkat dari alasan karena Tsamara dianggap masih berusia muda, polos, dan bergender perempuan. Sebagian menuding bahwa Tsamara hanya mencari sensasi, ia dianggap masih bau kencur, tak sedikit pula yang menuduh bahwa Tsamara hanya dibayar oleh pihak tertentu demi kepentingan politik. Ragam komentar sinis ini saya baca sendiri di kolom komentar akun facebook Tsamara Amany.
Media sosial adalah ruang publik dimana semua orang berhak untuk berkomentar, semua orang berhak menuliskan pikirannya, termasuk Tsamara juga berhak untuk membela dirinya.
Dalam budaya patriarki, perempuan memang rentan mendapat komentar bernada seksis dan misoginis. Begitu juga dengan apa yang terjadi pada diri Tsamara Amany, akun facebook miliknya dibanjiri komentar seksis misoginis, antara lain:
“Untung Tsamara wajahnya cantik.”
“Dia kan cuma cewek, polos, ga cocok masuk politik.”
“Tsamara kamu cocoknya jadi pemain sinetron aja.”
Tsamara dibenci karena ketubuhannya. Dalam konteks ini, sebagai perempuan, ia tidak dianggap cukup pintar, dia dinilai berdasarkan paras dan penampilan saja. Kecerdasan dan intelektual yang dimiliki perempuan sama sekali tidak diakui.
Lain hari saya juga membaca komentar sarkasme yang mampir di akun Tsamara dengan meminjam tafsir agama
“Tsamara pakai jilbab saja ga becus.”
Ada juga komentar yang berbunyi “Banyak wanita masuk neraka, satu hari buka aurat….40 hari ibadahnya ditolak.”
Yang entah logika berpikir seperti ini berangkat dari mana saya juga tidak paham. Disini misoginisme dan seksisme terus menerus dimunculkan dan diproduksi untuk membenci perempuan.
Bentuk-bentuk patriarki seperti ini selain menempatkan kuasa penuh pada laki-laki untuk mengontrol perempuan, ia juga menjadi corong lahirnya misoginis dan seksisme.
Untuk melawan dan menghentikan tindakan tersebut, sekali waktu saya pernah mendebat komentar seksis misoginis di kolom komentar akun Tsamara, tapi saya pikir itu percuma saja saya lakukan karena hanya menghasilkan debat kusir yang tidak produktif. Membangun opini jauh lebih efektif dan bermanfaat untuk membungkam praktik seksis misoginis yang terjadi di media sosial.
Budaya patriarki yang terus menerus memproduksi kekuasaannya di setiap sisi kehidupan terutama di panggung politik membuat perempuan yang terjun ke politik memiliki kerentanan untuk menjadi obyek seksisme. Berbeda dengan laki-laki, saya hampir tak pernah mendengar ada komentar bernada seksis untuk laki-laki yang terjun ke dunia politik. Hal ini terjadi karena masyarakat masih berpikir bahwa politik adalah ruang laki-laki !
Negara ini menganut sistem budaya patriarki dimana hampir semua keputusan dan kebijakan bersifat maskulin. Patriarki menempatkan perempuan sebagai gender kedua, disitu tidak ada keberpihakan pada perempuan. Pilihan Tsamara Amany terjun berpolitik tentunya membawa harapan baru untuk mewujudkan representasi suara perempuan dalam panggung politik yang selama ini masih jauh dari yang diharapkan.
Disini saya sedang tidak menempatkan diri di posisi membela Tsamara Amany, dan tidak ingin membahas pandangan-pandangan politik Tsamara. Tetapi sebagai perempuan tentu saya punya sikap untuk mengapresiasi perjuangan dan pilihan Tsamara untuk terjun ke dunia politik.
Sebagai salah satu dari generasi milenial, Tsamara tentu memiliki pemikiran kritis dan potensi yang sama dengan laki-laki. Sebelum bergabung dalam PSI, Tsamara sudah membuktikan dan menngawali perjuanganya dengan membentuk wadah Perempuan Politik sebagai sarana edukasi, ajakan dan seruan akan pentingnya pendidikan politik bagi perempuan.
Pesan saya untuk Tsamara Amany, teruslah merawat dan menjaga pikiran-pikiran kritis karena dunia politik yang oleh sebagian orang dipandang kotor, penuh sandiwara dan kemunafikan bisa saja membuatmu haus akan kekuasaan kelak. Kekuasaan bukan menjadi tujuan akhir sebuah politik, dan merawat pengetahuan dan mendidik kaum perempuan agar melek dan sadar politik jauh lebih penting.
Menempatkan perempuan sebagai garda terdepan dalam politik mutlak dilakukan, sebab politik tanpa perempuan maka demokrasi juga tidak akan tercapai. Majulah perempuan Indonesia karena politik bukan hanya ruang laki-laki, tapi politik juga ruang milik perempuan !
(Foto: Kumparan.com)
*N.Irnawati- www.Konde.co
*N. Irnawati, Lulusan Pascasarjana Universitas Gajah mada (UGM) dan pernah bekerja sebagai peneliti. Saat ini tinggal di Solo, menyukai issue perempuan dan tidak suka jika tubuhnya didikte karena tubuhnya sepenuhnya adalah otoritas miliknya sendiri.
Sumber: konde.co