Tsamara dan Malala

Mungkin banyak orang termasuk saya yang gemes dengan kelakuan para wakil rakyat yang konon mewakili kita, tapi kadang tak mewakili kita sedikitpun. Mau protes, cuma bisa di media sosial. Sambil ngopi-ngopi ganteng lagi. Followers pun cuma sedikit.

Mau turun ke jalan, belum dapet tanggal-tanggal cantik. Mana asyik? Kalau tanggal cantiknya pada akhir bulan, gimana? Itu kan tanggal pas banyak orang gajian. Nggak kelas menengah banget, sejahtera kok demo. Ramaikan kedai-kedai kopi asing, sambil… ya itu tadi, protes di media sosial.

Tapi kok belakangan ini, bisa-bisanya ada anak muda yang tak hanya berani bicara lantang mengkritisi ketidakberesan, tapi juga turun ke palagan. Namanya, Tsamara Amany Alatas.

Perempuan berusia 21 tahun itu tak cuma piawai memanfaatkan media sosial – khas milenial – dalam menyampaikan pemikirannya, tapi ikut bertarung di kancah politik praktis melalui Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Tsamara tampaknya sadar, perubahan tak akan datang kalau setiap hari anak-anak muda hanya sibuk memikirkan feed yang bagus untuk akun Instagram mereka. Atau, menjadi aktivis media sosial sekalipun.

Seperti dikatakan Malcolm Gladwell bahwa gerakan melalui media sosial tidak memiliki struktur dan karakter layaknya organisasi pergerakan. Media sosial hanya menang dalam membangun jaringan, sementara gerakan sosial maupun politik tak bisa hanya mengandalkan jaringan.

Ia harus tumbuh dalam sebuah organisasi, karena tanpanya sulit untuk membicarakan strategi maupun membuat keputusan-keputusan di lapangan.

Belakangan, nama Tsamara Amany semakin mencuat saat beradu argumentasi di Twitter dengan Fahri Hamzah, politisi paling independen di negeri ini. Tsamara yang ketua DPP PSI, pak Fahri yang… Kalau jabatan pak Fahri di PKS sekarang, apa ya gaes?

Twitter memang menjadi panggung untuk saling beradu argumentasi dari yang tidak penting sampai yang penting banget. Twitwar antara Tsamara dan Fahri Hamzah bermula dari kicauan Fahri Hamzah yang secara gamblang mendukung penuh Pansus Hak Angket KPK.

Intinya, Tsamara tidak setuju dengan gagasan itu, karena hanya akal-akalan untuk melemahkan KPK. Terlebih, beberapa kasus korupsi banyak menyeret nama anggota DPR, di antaranya anggota pansus sendiri.

Tsamara, memang masih mahasiswa semester 6 di Universitas Paramadina untuk program studi komunikasi. Ada yang bilang, Tsamara masih ‘anak bau kencur’. PSI juga partai baru, yang didirikan oleh anak-anak muda. Sebut saja Grace Natalie, Raja Juli Antoni, dan Isyana Bagoes Oka.

Tapi, ngomong-ngomong usia muda, belakangan kan heboh juga menyusul terpilihnya Emmanuel Macron (39) sebagai presiden Prancis. Bukan, ini bukan heboh soal istrinya Macron. Tapi Macron tercatat sebagai presiden termuda di negara itu.

En Marche, partai politik Macron, juga baru berdiri selama 14 bulan. Tapi kini berhasil meraih mayoritas suara parlemen Prancis. Dulu, En Marche dan Macron juga dibilang ‘bau kencur’.

Dulu, Soekarno memang pernah lantang berkata, “Beri Aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, maka aku guncangkan dunia!” Tapi, saat ini, saya pun bisa bilang, “Cukup beri aku 10 anak bau kencur!”

Memang ada ‘anak bau kencur’ yang mengguncang dunia? Ada, namanya Malala Yousafzai, seorang murid sekolah dan aktivis pendidikan di Pakistan. Saat ini, usianya 20 tahun, sedikit lebih muda dari Tsamara.

Malala mengguncang dunia lewat konsistensinya memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi perempuan di negerinya. Malala rajin menuliskan aspirasinya melalui sebuah tulisan. Begitu juga dengan Tsamara.

Mereka percaya bahwa tulisan lebih tajam daripada hunusan sebuah pedang. Soal ini, memang tak perlu diragukan lagi. Bagaimana Pramoedya Ananta Toer harus beberapa kali ditahan dan dibuang, karena tulisan-tulisannya yang dianggap ‘berbahaya’ oleh penguasa.

Malala dan Tsamara sama-sama menulis buku. Tsamara mencurahkan keresahan dan pandangannya terhadap dunia politik pada era kepemimpinan Jokowi lewat sebuah buku berjudul “Curhat Perempuan”.

Sedangkan Malala menuliskan kehidupan yang ia alami dan perjuangannya untuk mendapatkan pendidikan yang layak lewat buku berjudul “I Am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by the Taliban.”

Bukan cuma pintar menulis, Malala pun ternyata piawai mengutarakan pemikirannya lewat pidato dalam menyuarakan perjuangannya. Pada usia 16 tahun, Malala sudah berpidato  di Forum Majelis Kaum Muda di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat.

Dari pidato tersebut, munculah kalimat yang cetar membahana ke seluruh penjuru dunia, “Satu anak, satu guru, satu buku, satu pena, bisa mengubah dunia.”

Walaupun saya belum pernah melihat langsung Tsamara berpidato, tapi kalau lihat di televisi rasanya tak kalah hebat dengan Malala. Kata-katanya terstruktur sistematis, logis kekinian, dan penuh optimisme khas anak muda. Bukan cuma gahar kalau lagi twitwar saja, bukan gitu gaes?

Kita bisa lihat sendiri, jika anak muda mau bertindak, mereka bisa berbuat lebih banyak lagi dari para pendahulunya. Seperti kata Tsamara sendiri, “Untuk menggantikan para anggota DPR yang tidak oke, tidak ada cara lain selain anak muda yang idealis turun ke politik.”

Tsamara sempat magang di kantor gubenur Jakarta. Ketika magang, ia diberi tugas untuk ikut merumuskan perizinan usaha yang sebelumnya butuh waktu 60 hari menjadi hanya 40 hari saja.

Dari situ, ia mulai berpikir bahwa menjadi bagian pegawai pemerintahan saja sudah bisa berbuat banyak, apalagi kalau bisa jadi pemimpin yang bisa ambil keputusan langsung?

Optimismenya juga bisa dikatakan sama dengan Naruto. Namun, ia sosok Naruto yang lebih pintar. Keduanya sama-sama ingin menjadi pemimpin di daerahnya masing-masing.

Jika Naruto punya keinginan kuat untuk menjadi seorang Hokage yang menjaga perdamaian di desanya, Tsamara ingin menjadi gubernur DKI Jakarta. Tapi apa ‘anak bau kencur’ bisa? Bisa ya, bisa tidak. Lho, kok?

Ya tergantung Tsamara sendiri, apa ia bisa konsisten seperti Malala? Seperti yang dikatakan Fahri Hamzah, ehm, “Selamat datang di jagat politik yang kau anggap nista, Tsamara.”

Bukan begitu, pak Fahri?

Penulis Rulfhi Pratama

Tinggal di Bandung, bergiat, belajar di Komunitas Aleut dan dapat ditemui juga lewat tulisan di upitea.com. (Facebook: Rulfhi. Twitter: @rulfhi_rama)

Sumber: http://voxpop.id/tsamara/

Recommended Posts