Diskursus Koran Solidaritas Edisi 11, 2017
Oleh Ramli Hussein
Pemimpin Redaksi Koran Solidaritas
Indonesia sebuah Solidaritas berwujud Republik
Indonesia hanyalah gambaran abstrak dalam benak para pejuang di bawah penjajahan dan eksploitasi Kerajaan Belanda. Harus diakui, nama HOS Tjokroaminoto merupakan orang yang paling serius menyiapkan kelahiran negara bangsa ini.
Di rumahnya, Gang Peneleh, Surabaya, Tjokro menanam benih-benih mimpinya. Tjokro seakan sudah merancang identitas kebangsaan itu sejak dini. Dari rumahnya lahir Muso, Agus Salim, Soekarno, Semaun, Darsono, Kartosoewiryo, Sampoerno, Abikoesno dll. Belakangan, anak-anak kos itu mencatatkan namanya sebagai tokoh-tokoh kunci dalam menyambung upaya Tjokro “membayangkan Indonesia.”
Di saat yang sama geliat dari kaum priyayi terpelajar mulai bangkit dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Dimotori Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker atau Setiabudi dan Dr. Soetomo, Boedi Oetomo berdiri dan bergerak pelan membangun kesadaran persatuan suku bangsa di nusantara.
Mimpi Boedi Oetomo dan mimpi dari Gang Peneleh (termasuk Sarekat Islam, Komunis, Sosialis dan Nasionalis) akhirnya saling bergayung sambut. Pada tanggal 28 Oktober 1028, Sumpah Pemuda dibacakan diiringi gesekan biola Wage Rudolf Supratman. Teks lagu Indonesia Raya pertama kali dipublikasikan oleh koran Sin Po dan rekamannya diperoleh pertamakali dari seorang pengusaha Tionghoa bernama Yo Kim Tjan.
Republik Indonesia adalah wujud solidaritas yang menjadi ciri khas republikanisme ala Indonesia. Makna republikanisme Indonesia tidaklah serupa ketika Cicero pertamakali menyebutnya, menurut Bung Karno republikanisme Indonesia adalah Res Publica yang bergerak tidak hanya di lapangan politik, tapi diseluruh lapangan politik, ekonomi, pemerintahan juga sosial.
Jadi, bicara tentang NKRI maka pada saat yang sama makna republik di sini adalah negasi dari segala bentuk yang berupaya menempatkan satu golongan, satu etnis, satu agama menjadi poros bagi identitas yang lain. Dalam bayangan tentang Indonesia, niat itu tidak relevan dan tidak memiliki tempat. Bahkan ketika kontestasi demokrasi dimenangkan oleh satu kelompok mayoritas dalam perolehan suara, UUD 1945 telah menutup kemungkinan perubahan itu dengan penjelasan pasal bentuk negara adalah satu-satunya pasal yang tidak boleh diubah.
Sekali lagi Res Publica!
Res Publica, sekali lagi Res Publica! Adalah judul pidato Bung Karno di hadapan Konstituante pada tanggal 22 April 1959 yang menjadi sejarah kembalinya Indonesia ke UUD 1945. Yudi Latif memberikan definisi tentang republikanisme sebagai berikut “Ide sentral dari republikanisme adalah penemuan kerangka solidaritas politik yang mampu melayani kepentingan umum sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang mengalami ragam perbedaan.
Proyek republikanisme berusaha mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam gelanggang republik.”
Republikanisme yang didasari pada solidaritas politik saling mengakui dan diakui sebagai entitas yang sama telah lahir lebih dulu sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir. Republikanisme yang menginspirasi kemerdekaan Indonesia, republikanisme yang bukan keseragaman tapi pengakuan keragaman melalui sebuah pengakuan hak dan kewajiban yang sama. Republikanisme ini disemai oleh Boedi Oetomo, oleh penghuni Gang Peneleh, oleh Kongres Pemuda. Republikanisme yang didasari oleh musyawarah mufakat dalam Sidang BPUPKI, semangat Res Publica yang pada tanggal 17 Agustus 1945 “menyatakan dengan ini kemerdekaan Indonesia”.
NKRI termasuk struktur pemerintahan di dalamnya adalah sebuah sebab atau konsekuensi dari Republikanisme Indonesia. Karenanya dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia,” di sini kata Republik belum digunakan sebagai penegasan bahwa NKRI adalah alat dari bangsa Indonesia untuk meraih cita-cita kemerdekaannya. Baru pada kalimat berikutnya ditemukan “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.”
Sekali lagi Republik Indonesia adalah pemerintahan yang dibentuk sebagai alat operasi kemerdekaan Indonesia, dengan kadaulatan rakyat sebagai sumbu utama.
Pribumi Hoax dan Kaum Khilaf Ah!
Berhembus dari rontoknya rejim totaliter di jazirah Arab, sebuah gagasan yang mencoba menyatukan manusia dari berbagai negara bangsa ke dalam sebuah sistem politik dengan poros agama Islam sebagai dasar negara, muncul di Indonesia. Ide Khilafah Islamiyah murni merupakan dinamika kontemporer yang baru masuk ke Indonesia akibat terdesak. Ide negara khilafah bahkan tidak menemukan jejak sejarahnya dalam kegiatan membayangkan Indonesia. Konsep Khilafah benar-benar adalah kekhilafan para tamu yang ingin menguasai rumah yang telah menerima dan menjamu mereka dengan baik.
Tamu bernama Khilafah Islamiyah ini lalu mencoba mencocok-cocokkan identitas mereka dengan penduduk kampung dengan maksud agar mudah diterima. Pencariaan mereka buntu setelah membaca risalah Sidang BPUPKI, di mana perdebatan tentang Negara Islam tidak pernah ada, yang ada hanya perdebatan teks semantik yang akan dicantumkan dalam UUD 1945. Itupun kemudian berujung pada musyawarah mufakat para tokoh Islam, keputusan diambil tanpa voting. Di tengah keputusasaan itu, mereka menemukan kosa kata “pribumi” untuk mulai menebar permusuhan dan mengambil alih kepemilikan dari tangan tuan rumah.
Sayangnya, kosa kata pribumi yang dekat dengan makna asli itu sudah lama dibahas oleh kaum republikan. Jejak perdebatannya bisa ditemui dalam Risalah Sidang BPUPKI/PPKI ketika membahas tentang tafsir warga negara Indonesia asli. Dalam Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 disepakati kata warga negara Indonesia asli memiliki pengertian “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Pasal ini kemudian di amandemen pada tahun 2002, seiring semangat reformasi kata “asli” dihapuskan dan disertai penjelasan “orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.”
Bahkan ketika kita menafikan konsitusi UUD 1945 sebagai kesepahaman hukum untuk hidup bersama, dalam konteks antropologis juga tidak ditemukan jejak penghuni asli nusantara kecuali ditemukan jejak homo erectus dan homo sapiens sebagai manusia pertama yang menduduki bumi nusantara yang kini bernama Indonesia, bahkan migrasi dari dataran Tiongkok masuk lebih dulu dari migrasi manusia dari jazirah Arab ke Nusantara.
Dari jejak antropologis yang secara ilmiah menyatakan tidak ada penghuni asli di bumi Indonesia, maka pijakan satu-satunya adalah sejak NKRI dideklarasikan sebagai negara merdeka 17 Agustus 1945. Maka jelas bahwa Pribumi atau Warga Negara Asli NKRI wajib merujuk ke Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 amandemen ketiga beserta penjelasannya.
Minoritas Kreatif vs Kaum Republikan
Kelompok minoritas kreatif secara konsisten sering digunakan oleh Eep Saefullah Fatah, seorang intelektual muda, pengajar di Universitas Indonesia, namun gagal meraih gelar doktoralnya lalu kembali ke Indonesia mendirikan sebuah konsultan politik. Sejak tahun 2000 dalam bukunya “Mencintai Indonesia dengan amal” Eep sudah menggunakan istilah minoritas kreatif untuk memulai wacana penggalangan kekuatan oposisi setelah Megawati dan GusDur membentuk Kabinet Pelangi yang mengkomodir seluruh partai sehingga tidak ada kekuatan oposisi di parlemen.
Istilah minoritas kreatif secara konsisten digunakan Eep, bahkan mungkin diyakininya. Eep mungkin pertamakali mendengarnya dari Prof. Ahmad Suhelmi, Guru Besar UI yang mendalami tentang perseteruan kelompok nasionalis dan Islam di Indonesia. Kata minoritas kreatif lalu disambut luas oleh PKS, inspirasinya dari kultwit Eep yang diberi judul “Perdaban besar dan Minoritas kreatif.” Kata minoritas kreatif lalu diyakini Eep sebagai resep mengalahkan Ahok di Pilkada DKI Jakarta.
Kata minoritas kreatif ini sudah dikupas oleh Arnold J. Toynbe, sejarahwan dari Inggris pada sekitar 1934-1961. Toynbee menyebutkan bahwa keberadaan kelompok minoritas kreatif adalah sekelompok manusia yang berpikiran maju dan berbeda sehingga memungkinkan manusia keluar dari gaya hidup primitif. Eep juga mengutip Toynbee namun memuja keberhasilan Partai FIS di Aljazair merebut kekuasaan. Eep mengabaikan Toynbee, bahwa minoritas kreatif adalah kelompok yang memberikan kontribusi kepada publik, untuk membawa transformasi dari keadaan yang satu ke keadaan lain yang lebih maju.
Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta, justru sebaliknya, cara-cara pemenangan politik yang primitif digunakan di era demokrasi modern, wajar jika akibat yang ditimbulkan malah destruktif. Masyarakat dipaksa untuk berhadap-hadapan dengan menggunakan fasilitas masjid untuk pemenangan politik.
Menerjemahkan kreatifitas sebagai penggunaan cara-cara primitif adalah penyimpangan dari makna minoritas kreatif itu sendiri. Minoritas kreatif seperti itu justru adalah kebuntuan kreatifitas dalam konteks negara Indonesia. Namun hal ini tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan kepada mereka, kekuasaan orde baru selama 32 tahun telah meninggalkan lubang ideologi yang menganga.
Depolitisasi dan deideologisasi yang dilakukan orde baru membuat makna NKRI justru mengalahkan kepentingan publik. Rakyat dalam konsepsi Orba adalah subrodinat dari NKRI, jauh berbeda dari makna rakyat dalam republikanisme yang tertuang dalam UUD 1945.
Demokrasi Tanpa Republikanisme
Kemunculan tamu tak diundang dalam kehidupan bangsa Indonesia, bukan saja karena konteks Indonesia yang terintegrasi dengan dinamika internasional dan regional, bukan hanya berbentuk datangnya kaum dan ideologi Khilaf Ah, tapi juga bisa berbentuk individualisme dan sektarianisme.
Persoalan keadilan sosial dan ekonomi yang belum mampu diselenggarakan oleh pemerintah juga menjadikan isu pribumi dan non pribumi muncul sebagai ekspresi ketidakadilan ekonomi akibat sistem pasar yang buas dan kapitalistik. Ekonomi dunia yang berubah kemudian membawa perubahan besar dalam konteks ekonomi politik kawasan. Bandul ekonomi yang membawa China, India, Korea Selatan dan Rusia kembali ke papan atas membuat pilihan pemerintahan Jokowi lebih bervariasi, meski masing-masing memiliki konsekuensi dan berimbas pada dinamika politik dalam negeri.
Visi menempatkan Indonesia menjadi poros maritim dunia, membuat Presiden Jokowi mengebut infrastruktur dan konektivitas antar wilayah sebagai prasyarat utama jika ingin membalik visi pembangunan nasional dari darat ke laut. Nawacita sebagai poros nilai pemerintahan Jokowi tampaknya tertinggal dari visi pembangunan. Hal ini menyisakan ruang kosong yang memungkinkan serangan ideologis terhadap pemerintahannya untuk masuk. Namun Jokowi masih punya konstitusi dan Pancasila sebagai benteng terakhir untuk menyelesaikan sisa masa pemerintahannya.
Presiden Jokowi sudah lebih dulu memberikan peringatan dengan menyatakan “Demokrasi kebablasan,” tentu pernyataan ini mengingat fakta sejarah bahwa rejim Hitler bersama NAZI juga lahir dari proses Pemilu yang demokratis. Begitu juga dengan fenomena di Mesir, Aljazair dan Suriah. Pilkada DKI Jakarta adalah sinyal tanda bahaya bahwa kemungkinan prosedur demokrasi digunakan oleh kelompok anti demokrasi untuk membelokkan dasar negara bisa saja terjadi.
Itu adalah fenomena Demokrasi tanpa republikanisme, atau lebih tepatnya Pancasila tanpa Kaum Republikan, di mana prosedur demokrasi dibajak oleh kelompok intoleran dan anti demokrasi. Demokrasi tanpa republikanisme juga memungkinkan nilai Res Publica atau kebajikan bersama dibajak oleh kelompok politik tertentu yang menunggangi pemilu untuk kepentingan yang lebih sektarian.
Republikanisme Milenial: Kelahiran Solidaritas Kebangsaan Baru
Solidaritas adalah saudara kandung Republikanisme Indonesia, dia lahir bersama kemerdekaan rakyat Indonesia. Solidaritas itu tumbuh dalam tradisi musyawarah mufakat, yang memungkinkan founding fathers negeri ini mencapai kata sepakat dengan menyingkirkan ego dan identitas kelompok demi kepentingan bersama. Solidaritas demi hidup bersama dalam damai dengan mengedepankan cita-cita mencapai keadilan sosial membuat Indonesia tidak kehabisan kaum Republikan yang beragama Islam.
Gus Dur merumuskan hakikat politik Islam dalam hubungan trilogis antara syura (demokrasi), ‘adalah (keadilan) dan musawah (persamaan). Artinya, tujuan politik Islam ialah keadilan sosial dan persamaan hukum yang ditegakkan melalui demokrasi. Juga Buya Syafii Maarif yang menempatkan Islam Indonesia yang ditopang oleh tiga nalar: keislaman, kemanusiaan dan ke-Indonesiaan.
Tantangan Indonesia ke depan sebagai bangsa adalah bagaimana merawat Kemerdekaan Bangsa Indonesia beserta seluruh cita-citanya dalam pembukaan UUD 1945 melakukan revitalisasi nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi satu nafas dengan republikanisme. Dalam konteks pemerintahan Jokowi, ambisi menjadi poros maritim dunia haruslah berjalan bersamaan dengan Revolusi Mental dan Nawacita Jokowi. Persoalannya, baik Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Nawacita membutuhkan agensi sebagai prasyarat operasi nilai di masyarakat. Dalam konteks memperkuat agensi pendukung nilai kebangsaan inilah republikanisme menjadi relevan.
Yudi Latif memberikan petunjuk sejarah dengan menyatakan “landas pacu (launchpad) cita-cita republikanisme ini adalah Sumpah Pemuda. Setelah aneka pergerakan etno-religius gagal menyatukan berbagai keragaman posisi, determinasi dan aliran ke front perjuangan bersama (historical bloc), terbitlah kesadaran baru di kalangan pemuda-pelajar dari berbagai daerah untuk mengakui komunitas impian bersama: bangsa Indonesia.” Dengan kata lain, anak muda adalah sumbu utama dari kelahiran kembali republikanisme Indonesia yang baru.
Generasi milenial yang tidak seperti definisi minoritas kreatif yang digunakan Eep, sedang tumbuh menjadi mayoritas akibat bonus demografi. Mereka terkoneksi dengan sitem komunikasi dan gaya hidup yang sama sekali berbeda. Ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction) mereka bertranformasi dengan cepat, ekspresi kreatif ini menerobos (dalam Bahasa Yudi Latif) kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis, dan status quois generasi tua. Keberanian kreatif ini merupakan energi yang sangat besar, ini bukan merupakan gumpalan generasi yang tidak suka pada hal-hal yang sektarian, namun pada saat yang sama juga tidak menyukai stagnasi dan kelambanan.
Kelahiran PSI misalnya adalah gelombang baru yang sama sekali menolak memiliki hubungan historis dengan partai politik lainnya. Begitu juga tumbuhnya generasi baru di Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, generasi industri kreatif, dalam dunia profesional. Semakin hari mereka menjadi barisan generasi yang bukan hanya sekedar marah, namun mampu menarik garis demarkasi dengan tradisi lama. Tentu pemerintah Indonesia perlu untuk menunjukkan keberpihakan kepada generasi milenial ini, itu jika Jokowi ingin mendapatkan dukungan luas dan kembali menjadi presiden pada Pemilu 2019.
Ahok tampaknya telah lebih dulu menjadi salah satu figur yang menyediakan diri untuk membidani lahirnya Kaum Republikan Indonesia baru. Jutaan lilin dari segala penjuru negeri adalah bentuk solidaritas kaum milenial yang menolak tunduk pada logika-logika sektarian, nalar pribumi vs non pribumi, nalar minoritas kreatif dan cara-cara curang yang dipraktekkan segelintir orang.
Indonesia kini sangat bergantung pada Kaum Republikan Millenial yang membawa lilin solidaritas baru yang menolak pengkhianatan terhadap Res Publica.
https://galeri.psi.id/koran-solidaritas/item/download/22_7e84eef99f40efc8fca2e8d0266e97c4