Alumni Harvard: Supremasi Hakim Ancam Negara Hukum

Vonis atas Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dinilai oleh banyak ahli hukum sebagai putusan yang janggal dan tiga hakim yang dipromosikan mendapat kenaikan jabatan adalah bukti sedang terjadi supremasi hakim bukan supremasi hukum. Hal ini ditegaskan oleh Dini Shanti Purwono, salah seorang inisiator petisi “Ahok Tidak Menista Agama”

Dini mencatat ada empat kejanggalan dalam prosedur vonis atas Ahok.

“Pertama, Hakim mengabaikan keharusan adanya teguran terlebih dahulu terhadap Ahok melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 1 /PNPS/Tahun 1965 dan sebagaimana dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materinya tahun 2012. Kedua, diterimanya keterangan saksi-saksi yang tidak independen dan tidak kredibel. Seharusnya tidak boleh ada saksi lain dalam persidangan kecuali saksi fakta dan saksi ahli. Saksi fakta adalah saksi yang menyaksikan sendiri peristiwa atau tindakan yang menjadi obyek pemeriksaan persidangan, tapi saksi-saksi pelapor kasus Ahok tidak ada yang hadir di pidato Kepulauan Seribu.” Kata Advokat yang juga alumnus Harvard Law School.

“Kejanggalan ketiga, vonis yang diberikan Majelis Hakim melampaui tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tanpa didasari dengan bukti-bukti yang kuat. Alur analisa dan argumen pembuktian Majelis Hakim juga tidak jelas. Keempat, Penahanan Ahok berdasarkan putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) mengingat Ahok dan Tim Kuasa Hukum Ahok telah menyatakan banding atas vonis yang dijatuhkan,” lanjut Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 1992 itu.

Melihat kejanggalan vonis Hakim atas Ahok, maka terasa janggal pula ketika tiga hakim yang menjatuhkan vonis tersebut malah mendapatkan promosi jabatan sebagai hakim tinggi. Kewenangan hakim dan lembaga peradilan yang begitu besar serta banyaknya putusan pengadilan yang sulit dicerna dari kaca mata keadilan, Dini berpendapat bahwa sudah saatnya dipikirkan dengan serius untuk adanya suatu sistem “check and balance” atas pelaksanaan kekuasaan kehakiman di mana hakim tidak bisa dengan semena mena menjatuhkan suatu vonis tanpa didasari oleh dasar hukum yang tepat serta didukung dengan bukti-bukti yang kuat.

“Akan sangat berbahaya untuk kepastian hukum apabila hakim mempunyai kebebasan tanpa batas dan dapat melakukan penerapan hukum sesuai seleranya tanpa memperhatikan prinsip-prinsip hukum dan aturan yang berlaku. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka yang terjadi di Indonesia bukanlah supremasi hukum, melainkan supremasi hakim,” tutup Dini.

Dini Shanti Purwono, SH, LL.M
Salah satu inisiator petisi “Ahok Tidak Menista Agama”

Recommended Posts