Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memberikan simpati yang mendalam dalam peringatan wafatnya ulama besar NU K.H. Ahmad Siddiq. PSI merasa perlu mengingatkan seluruh elemen bangsa atas jasa almarhum sebagai pelopor Asas Tunggal Pancasila dan kesepakatan NKRI sebagai bentuk final negara Indonesia.
Wakil Sekjen DPP PSI Nanang Priyo Utomo dalam keterangan tertulisnya mengungkapkan tanpa kehadiran Rais Am PBNU periode 1984-1991 ini mungkin eksistensi pancasila dan NKRI masih menjadi polemik. Nanang mengenang ketegaran almarhum dalam memperjuangkan eksistensi pancasila dan NKRI.
“Jangankan orang luar, di NU sendiri saat itu asas tunggal pancasila masih diperdebatkan. Orang luar NU sampai mengejek beliau dengan plesetan Rais Aam menjadi Rais Amis,” ungkap Nanang.
Lebih lanjut Nanang menuturkan bahwa Muktamar NU 1984 di Situbondo adalah titik balik moderasi beragama dan bernegara di NU. Muktamar tersebut menghasilkan duet kepemimpinan K.H. Ahmad Siddiq dan Gus Dur sebagai Rais Aam dan Ketua Umum PBNU.
“Sebelum 1984 NU masih bergabung di parpol berasas agama. Kyai Ahmad Siddiq dan Gus Dur menjadi pelopor NU kembali ke Khittah 1926 dan menerima asas tungga Pancasila. Tanpa beliau berdua mungkin saat ini polemik kebangsaan kita belum tuntas,” lanjut Nanang.
Mengingat besarnya jasa Kyai asal Jember Jawa Timur tersebut Nanang mengugkapkan dukungan PSI jika K.H. Ahmad Siddiq diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. Menurut Nanang jasa dan kontribusinya buat negara sudah lebih dari cukup.
“Sangat mendukung. Bahkan PSI siap jika diperlukan pernyataan resmi secara kelembagaan,” tutur Nanang.
KH Achmad Siddiq merupakan ulama progresif di zamannya. Ia lahir sebagai putra bungsu dari pasangan KH Muhammad Siddiq dengan Nyai Maryam. Kiai Achmad lahir di Talangsari, Jember, Jawa Timur.
Gagasan pentingnya adalah Trilogi Ukhuwah NU yaitu ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga negara), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia).