Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta DPR untuk memperlihatkan kemauan politiknya untuk memberantas korupsi dengan cara mensahkan RUU Perampasan Aset berikut ketentuan beban pembuktian terbalik dan tidak lagi menunda-nunda pembahasan dan pengesahan RUU tersebut. Pernyataan ini disampaikan PSI untuk menyikapi terkuaknya harta fantastis dari Gubernur Papua Lukas Enembe yang kembali ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi proyek APBD.
“Yang bersangkutan mangkir panggilan KPK, lalu jadi tersangka dalam kasus lain dan terbuka kekayaannya yang tidak wajar. Atas semua itu, negara tidak bisa melakukan apa-apa karena terbatas hukum acara”, demikian menurut Juru Bicara PSI, Ariyo Bimmo dalam keterangannya kepada wartawan Sabtu, 7 Januari 2022.
Bimmo menilai temuan tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat. “Bagaimana mungkin seorang pejabat publik memiliki lapangan bola di rumahnya sementara 35,6% rakyatnya masih menggunakan lubang tanah sebagai tempat pembuangan tinja. Sungguh tak pantas!” ujarnya.
Menurut Bimmo, semestinya kejadian seperti ini dapat diminimalisir dengan hadirnya UU Perampasan Aset yang memuat pasal-pasal pembuktian terbalik di dalamnya. “Strategi follow the money kan sudah menjadi praktik terbaik di banyak tempat. DPR kita memang kurang niat,” kritik ahli hukum yang gemar bersepeda ke kantor ini.
PSI juga mempermasalahkan ketidakberdayaan negara menghadapi gaya hidup bermewahan dari pejabat publik. “Masak temuan PPATK bahwa dia (Enembe) setor Rp 560 miliar di kasino luar negeri tidak dapat ditindaklanjuti? Seret dan disuruh pembuktian terbalik, kelar,” ujar Bimmo.
Diketahui dari situs resmi DPR-RI, tidak ada kemajuan dalam pembahasan RUU Perampasan Aset. “Seakan jalan di tempat, padahal setiap tahun jadi Prioritas Prolegnas. Terlihat sekali DPR tidak memiliki kemauan politik untuk mengesahkan RUU ini. Kami yakin RUU ini adalah kunci dalam pemberantasan korupsi,” tutup Bimmo