Kolom Kebudayaan Koran Solidaritas Edisi X, Mei 2016
Oleh: E.S. Ito
Senin 4 April 2016, bendera Merah Putih berkibar di halaman SMP Padang Ulak Tanding. Betapa bahagianya siswi itu melihat bendera yang baru saja dicucinya sekarang melambai gagah di angkasa. Pada saat masuk kelas perasaannya semakin berbunga-bunga. Dia menghamparkan taplak meja yang kemarin juga dibawanya pulang sama bersihnya dengan sang bendera. Sayangnya, tidak ada Senin untuk YY setelah Sabtu kelabu itu.
Sabtu 2 April 2016, YY pulang sekolah dengan satu tugas istimewa mencuci bendera merah putih dan taplak meja dari sekolah. YY mungkin belum tahu bahwa 70 tahun yang silam seorang gadis dari Bengkulu lah yang menjahit bendera pusaka merah putih dari kain taplak meja. Ibu negara kita Fatmawati.
Empas belas remaja yang menghadangnya tentu tidak peduli dengan semua ini. Sebab lewat televisi, Jakarta tidak mengajarkan mereka untuk beradab tetapi malah mendorongnya jadi biadab. Empat belas remaja ini adalah KITA yang terbiasa mempertontonkan keberingasan,
fitnah, kesewenang-wenangan dan beragam kebiadaban lain yang kita anggap benar karena diamini media. Sementara YY adalah MEREKA yang hidupnya diabaikan, ditindas dan diperkosa hanya karena tidak bisa bersuara.
Andai saja harapan di daerah seperti Rejang Lebong seluas imaji yang ditampilkan dalam televisi. Tentu empat belas remaja tanggung ini tidak perlu ada. Sayangnya, Rejang Lebong tidak ada bedanya dengan ratusan daerah lainnya di Indonesia. Hanya satu cita-cita yang ada, yaitu jadi Pegawai Negeri Sipil, pekerjaan lain hanyalah ketentuan nasib belaka.
Cerah langit penjuru Indonesia hanya fatamorgana yang menyelimuti gelapnya cita-cita para remaja. Dan empat belas remaja laknat itu bahkan tidak perlu mabuk Tuak untuk melampiaskan kebejatannya. Sebab dalam gelap nasib mereka, kejahatan tinggal menunggu waktu. YY telah kembali padaNya, sesuatu yang istimewa mungkin telah menunggunya di alam sana. Jauh lebih indah dari impian tertinggi YY.
Empat belas remaja tanggung itu sepanjang hidupnya akan sibuk mencari dalih dari kebejatan mereka. Dan mereka (sebagaimana KITA), pelan-pelan akan memaafkan diri sendiri dan melupakan peristiwa ini.