Hukuman Pemerkosa, Berkaca pada India

Opini Koran Solidaritas Edisi X, Mei 2016

Oleh: Merry Magdalena*

Setiap kali ada kasus perkosaan brutal, selalu muncul teriakan untuk menghukum mati pemerkosa. Setidaknya, memberi hukuman seberat mungkin, seperti kebiri atau hukuman seumur hidup. Itulah yang terjadi pasca kasus Yuyun, menyusul kemudian Eno, dan kebiadaban Sony Sandra asal Kediri. 

Publik, media massa, LSM, mendesak agar hukuman pemerkosa diperberat. Semua terakumulasi dari kasus-kasus perkosaan brutal sebelumnya. Yang paling gres, Presiden Jokowi akhirnya menandatangani Perppu tentang hukuman mati dan kebiri bagi pemerkosa anak, Perppu Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Muncul pertanyaan, apakah setiap tindak kejahatan akan berkurang setelah ancaman hukumannya diperberat?

Di India, para pemerkosa sejak 2013 mestinya berpikir panjang. Setelah negara itu diguncangkan oleh meningkatnya kasus perkosaan secara drastis, baru kemudian pemerintahnya menerapkan Anti Rape Bill sejak April 2013. Pada kasus berat, pelaku perkosaan bisa dikenai hukuman seumur hidup dan hukuman mati. Agaknya hukuman ini merupakan hasil desakan amuk massa dan media atas kasus perkosaan brutal massal terhadap Jyoti Singh, mahasiswi di New Delhi, Desember 2012. 

Kasus perkosaan di India sempat menjadi perhatian dunia, sejak kasus perkosaaan mengalami lonjakan sebesar 7,1 persen pada 2010. Mayoritas korbannya wanita di bawah umur. Tersiar kabar, setiap 20 menit terjadi kasus perkosaan di India. Media barat menjuluki India sebagai ibukota perkosaan dunia. 

Apakah diterapkannya Anti Rape Bill sejak April 2013 India sukses menekan kasus perkosaan? India Today merilis data pada September 2014, di negara itu terjadi 92 kasus perkosaan setiap hari. Bahkan peningkatan kasus perkosaan tetap “langgeng” , yaitu dari 24.923 kasus di tahun 2012, menjadi 33.707 pada 2013, menurut National Crime Records Bureau (NCRB).

Pada 23 April 2016, kembali merebak kasus perkosaan disertai pembunuhan sadis di Kerala. Korbannya seorang gadis dari kasta rendah. Yang membuat publik murka, tidak ada tindakan apapun dari kepolisian setelah berhari-hari kasus itu dilaporkan. Disinyalir, ketidakpedulian penegak hukum dipicu oleh status korban yang berasal dari kasta Dalit, kasta paling rendah di India. Sementara pelakunya berasal dari kasta lebih tinggi. 

Mei 2014, di Uttar Pradesh ditemukan dua wanita Dalit tewas digantung setelah diperkosa secara massal. Ada kecenderungan menjadikan wanita Dalit sebagai obyek perkosaan dan hukum seolah menutup mata. Lebih dari empat wanita Dalit diperkosa setiap hari di seantero India. Dalit Media Watch melaporkan, kasta terendah itu menjadi sasaran serangan pembunuhan, perkosaan dan penganiayaan setiap waktu. 

Berkaca dari India, terlihat bahwa seberat apapun ancaman hukuman atas pemerkosa, tidak akan menyurutkan kasus perkosaan. Apalah artinya penetapan hukuman gantung, tembak mati, kebiri kimia, kebiri fisik, atau apapun itu, selama para penegak hukum masih meremehkan kasus perkosaan? 

Saya pernah mengira, manusia paling sial di muka bumi ini adalah mereka yang dilahirkan sebagai wanita, miskin, dan bodoh. Ternyata ada yang lebih sial lagi, yaitu yang dilahirkan sebagai wanita, miskin, bodoh, dan berkasta rendah. Memang tidak ada kasta di Indonesia seperti halnya di India. Namun aparat, penegak hukum, pengambil keputusan, para pejabat, bahkan khalayak pada umumnya, masih memandang status sosial dan ekonomi. 

Bagaimana bisa Sony Sandra, seorang pengusaha kaya asal Kediri bisa memperkosa 58 gadis selama bertahun-tahun lamanya? Ada pembiaran, persekongkolan massal antar warga di sana yang “melegalkan” aksi biadab itu. Aparat pun kabarnya tidak bergeming. Setelah sekian lama, baru kasusnya dibawa ke meja hijau, dan menghasilkan vonis yang mengecewakan bagi para korban. 

Berkaca dari India, yang kita butuhkan bukan ancaman hukuman semata. Kita butuh kesadaran individu manusia untuk berhenti mengikuti nalar kebinatangannya. Termasuk aparat, penegak hukum, dan publik yang wajib menghentikan pembiaran atas aksi-aksi biadab atas nama uang dan kekuasaan.  

*.Penulis adalah Pendiri PoliTwika.Com

Recommended Posts