Opini Koran Solidaritas Edisi X, Mei 2016
Oleh Anzi Matta*
Peneliti PBB dalam Studi Pria dan Kekerasan di Asia dari beragam Negara menerbitkan sebuah studi mengenai akar kekerasan seksual yang mencakup enam negara: Bangladesh, Cina, Kamboja, Indonesia, Papua Guinea Baru, dan Sri Lanka dalam dua tahun yang melibatkan 10.000 orang. Sekitar satu dari empat orang dalam studi ini mengatakan mereka telah diperkosa seseorang dalam hidup mereka. Satu dari sepuluh telah diperkosa seseorang yang merupakan bukan kekasih atau partner romantis mereka. Dalam kuesioner yang dibagikan dalam studi ini tidak menggunakan kata “pemerkosaan” untuk lebih memudahkan dan keakuratan dalam studi. Mereka meminta orang-orang menjawab apakah mereka pernah melakukan dari pilihan berikut: “Memaksa seorang perempuan untuk melakukan hubungan seks yang bukan kekasih atau istri Anda” atau mereka pernah “Berhubungan seks dengan seorang perempuan yang terlalu mabuk atau dibius (tidak sadar) untuk menunjukkan apakah mereka (korban) menginginkan seks”.
Berdasarkan studi tersebut tahulah kita bahwa sebenarnya banyak orang-orang yang tidak menyadari apa itu “persetujuan”, banyak dari mereka yang menjawab bahwa mereka memilih berhubungan seks dengan seorang perempuan yang mabuk atau dalam kondisi tidak sadar. Di luar Indonesia, khususnya negara-negara maju, kita kerap mendengar laporan pemerkosaan dalam keadaan mabuk di kepolisian, tetapi tidak di Indonesia. Ada beberapa moralitas dan hal yang tabu untuk berpikir bahwa seorang perempuan tidak dapat minum, jika ia minum dan kemudian diperkosa, maka itu memang salah si perempuan yang menempatkan dirinya dalam bahaya. Ini tidak terjadi hanya dalam keadaan mabuk, tapi perempuan yang memakai rok pendek hingga perempuan yang keluar malam. Ini disebut victim-blaming. Bahwa banyak orang tidak menyadari bahwa kekerasan seksual terjadi karena dikarenakan “lack of consent” dan Anda perlu mencatat itu.
Kemudian kita atau Anda yang memiliki sedikit nurani itu untuk bertanya kenapa banyak yang mengamini victim blaming meskipun itu bertentangan tak hanya dari hukum, tetapi hati mereka? Ada tiga teori populer yang saya rangkum berkaitan dengan terciptanya victim-blaming. Pertama, Just World Hypothesis, di mana individu-individu yakin bahwa dunia itu aman dan orang-orang akan mendapatkan apa yang “pantas” mereka dapatkan. Individu-individu ini percaya bahwa sistem sosial yang mempengaruhi mereka itu adil. Mereka percaya bahwa hal baik terjadi pada orang baik, dan hal buruk terjadi bagi orang buruk. Kesimpulannya adalah mereka percaya bahwa korban kekerasan seksual terjadi karena kesalahan mereka, dalam cara ini, mereka yang percaya bahwa di dunia ini tidak ada yang polos atau tak bersalah, tetapi karena seseorang “pantas”. Kedua, Attribution Error. Menurut Kelly dan Heider, ada dua kategori atribusi: internal dan eksternal. Individu yang membuat atribusi internal adalah ketika mereka menyadari karakteristik personal seseorang yang mempengaruhi aksi dan situasi. Atribusi eksternal, bagaimanapun, lingkungan yang mempengaruhi perilaku seseorang. Ketiga, Invulnerability Theory, di mana orang-orang yang menyalahkan korban untuk melindungi perasaan “ketidakamanan” mereka sendiri. Bahkan orang-orang terdekat dan bahkan anggota keluarga pelaku kekerasan seksual menyalahkan korban karena untuk melindungi “perasaan” mereka dari kenyataan bahwa pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat mereka, sehingga cara paling aman adalah menyalahkan korban.
Kelas Menengah dan Teori Victim Blaming-nya
Istilah menyalahkan korban atau victim blaming diungkapkan pertama kali oleh psikolog William Ryan pada buku Blaming the Victim sebagai ideologi yang digunakan untuk membenarkan rasisme dan ketidakadilan terhadap orang kulit hitam di Amerika Serikat saat membantah Daniel Patrick Moynihan tahun 1965 untuk Laporan Moynihan-nya. Intinya dari Laporan Moynihan adalah: tiga abad perlakuan buruk terjadi di tangan orang kulit putih yang menciptakan perbudakan Amerika, menciptakan kekisruhan yang berkepanjangan dalam struktur keluarga orang kulit hitam, yang mana disebabkan oleh tingginya angka kelahiran, tidak berperannya fungsi ayah, atau orang tua tunggal. Lalu Moynihan mengaitkan hal tersebut dengan relativitas angka kemiskinan, pengangguran, pendidikan, dan kemapanan finansial dalam populasi orang kulit hitam. Moynihan mengadvokasi implementasi program-program pemerintahan yang didesain untuk menguatkan keluarga nuklir orang-orang kulit hitam.
Seperti halnya para pemerhati sosial-politik yang kerap melihat dari angka-angka statistik kemiskinan. Menyebalkannya adalah media massa menciptakan opini publik yang membenarkan hal tersebut. Seakan-akan kejahatan memang sudah selayaknya terjadi di kelas menengah ke bawah. Lalu, apa standar “kemiskinan” mereka? Pekerjaan dan penghasilan mereka? Bila analisanya sesederhana bahwa angka-angka statsistik kemiskinan menciptakan budaya pemerkosaan di kalangan kelas bawah, apakah lantas orang Dayak pedalaman di hulu sungai Malinau yang tergolong “miskin” dalam angka statistik juga mengembangkan dengan sendirinya budaya pemerkosaan hanya karena mereka, secara statistik ekonomi, miskin? Saat inilah victim blaming tidak terjadi kepada korban pemerkosaan, tetapi “orang-orang miskin”.
Kurang lebih George Kent, profesor ilmu politik dari Universitas Hawaii, mengatakan hal yang sama, “Tidak memberi seseorang ikan dan dia makan untuk hari ini, tapi mengajarkan orang untuk menangkap ikan dan dia makan untuk seumur hidup.” Kent mengatakan bahwa orang kulit putih lebih mampu “menentukan” apa yang lebih layak bagi orang kulit hitam. Seperti halnya kelas menengah atau kelas menengah atas yang rasanya pantas menentukan mengenai bagaimana “kelas menengah bawah” sebaiknya hidup dan menganalisa dengan sederhana mengenai kemampuan yang dimiliki mereka. Inilah yang kita lakukan. Anda dapat terkaget-kaget melihat angka statistik kemiskinan dan angka kriminalitas, tetapi perlu juga diketahui bahwa kejahatan dan tindak kriminil tidak hanya terjadi di kelas menengah ke bawah. Itu hanya yang tercatat statistik, nyatanya ada “kejahatan-kejahatan” kelas menengah dan kelas menengah atas yang tak dilaporkan. Katakanlah bahwa memang kelas menengah ke bawah memiliki permasalahan, terutama dalam pendidikan, sehingga kemudian ini yang menjadi tolak ukur dengan tindakan kriminalitas.
Kelas menengah atau kelas menengah atas yang melakukan tindakan kriminil seperti pemerkosaan mungkin jarang tercatat atau dikasuskan dalam pengadilan karena kemungkinan besar mereka memiliki ketakutan akan hukum dan tentu saja persoalan kasus pemerkosaan ini terjadi. Untuk kemungkinan sebagian besar kasus pemerkosaan kelas menengah ke bawah terjadi dengan pemaksaan yang dilakukan di tempat seperti kebun atau ladang, sementara yang luput dari pandangan kita adalah bahwa juga terjadi pemerkosaan yang terjadi di kamar, hotel, bar, dan lainnya, tempat-tempat yang menurut kita tidak mungkin terjadi pemerkosaan, tempat-tempat yang menurut kita adalah kelas menengah dan kelas menengah atas seharusnya berada dan tak mungkin melakukan “pemerkosaan”. Sesungguhnya “pemerkosaan” tidak terjadi karena pelaku yang melakukan saja, tetapi masyarakat juga yang membantu membentuk logika dan rape culture. Temukan beberapa berita pemerkosaan dan tak jarang kita dapat melihat komentar-komentar atau candaan mengenai pemerkosaan. Ada dua kasus yang dapat kita perhatikan: pertama, kasus pemerkosaan yang menimpa perempuan 19 tahun di Manado, yang diperkosa oleh belasan pemuda dan kedua, kasus pemerkosaan yang menimpa seorang gadis dan kemudian dalam alat vitalnya dimasukan ganggang cangkul.
Tunggu dulu, mungkin normalnya kita karena memiliki rasa empati, berpikir bahwa tindakan-tindakan tersebut di luar nurani dan logika berpikir kita, namun nyatanya banyak juga orang-orang yang menikmati kejadian tersebut dan kemudian membuat beberapa candaan. Untuk kasus yang pertama, orang-orang akan menyalahkan perempuan tersebut yang bekerja di sebuah tempat karaoke. Untuk kasus kedua, beberapa orang moralis menetapkan standar moral mereka dalam lelucon yang kurang lebih seperti “tidak menjaga aurat? Masih ada cangkul.”. Kasus pemerkosaan yang dijadikan bahan lelucon untuk menyebarkan ajaran, kepercayaan mereka, yang tak lebih malah menciptakan logika kekerasan seksual.
Sesungguhnya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dapat dimulai dari diri sendiri dan orang-orang terdekat kita, jangan sampai mereka korban, terlebih lagi menjadi andil atau pelaku. Jangan pernah berhenti untuk curiga, bahkan terhadap diri Anda sendiri!
*. Penulis adalah seorang mahasiswi, ilustrator, dan aktif menulis di media berita online Geotimes.co.id