Oleh: Anwar Saragih*
Diam adalah sikap terburuk menyaksikan korupsi yang semakin lama semakin merajalela. Apatis terhadap politik tentu bukan pilihan bagus mengingat partai politik merupakan satu-satunya rahim yang melahirkan DPR dan presiden. Dua lembaga vital pembuat undang-undang, penganggaran, pengawasan hingga pelaksana eksekusi kebijakan. Apalagi pasrah menerima keadaan membuat kebijakan semakin semena-mena, tanpa arah dan mengarah ke diktator.
Mengingat kenangan masa lalu yang masih sangat mengancam di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang awalnya egaliter namun tak kuasa menggerakan militer untuk mempertahankan kekuasaannya. Pilihan terbaik tentu adalah masuk ke partai politik sembari memperhatikan visi-misi, ideologi, program kerja hingga komitmen partai tersebut dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Pada Selasa, 24 Mei 2016, lalu Kementerian Hukum dan HAM resmi membuka pendaftaran partai politik berbadan hukum calon peserta Pemilihan Umum 2019. Di hari tersebut ada 6 partai politik yang mendaftar: Partai Rakyat, Partai Pribumi, Partai Idaman, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Beringin Karya, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Keenam partai tentu punya program dan visi misi masing-masing yang membedakan dengan partai politik yang lain. Baik yang baru sama-sama mendaftar maupun yang sudah lama menjadi partai peserta pemilu. Proses pendaftaran sampai verifikasi sendiri berlangsung selama dua bulan, berakhir pada 24 Juli 2016 mendatang.
Partai Anak Muda
Ada yang menarik dari nama terakhir yang mendaftar kemarin, yaitu Partai Solidaritas Indonesia. Sekilas nama PSI mengingatkan kita pada Partai Sosialis Indonesia, partai peserta Pemilu 1955 yang didirikan oleh pahlawan nasional Sutan Syahrir. Namun, ternyata PSI yang baru mendaftar di Kementerian Hukum kemarin tak ada hubungannya sama sekali dengan Partai Sosialis Indonesia yang tumbuh di masa lalu tersebut.
PSI yang baru mendaftarkan diri tersebut murni partai politik yang baru, program partai baru, visi-misi yang baru dengan kepengurusan yang juga benar-benar baru.
Sebagai sebuah partai politik, PSI menawarkan kebaruan dalam politik Indonesia dengan kepengurusan yang umurnya di bawah 45 tahun dan belum pernah menjadi anggota partai politik mana pun sebelumnya. Artinya, PSI menginginkan anak-anak muda yang benar-benar baru di dalam dunia politik.
Di samping itu, PSI juga menggunakan istilah-istilah anak muda dalam setiap kegiatannya seperti “Kopi Darat Nasional” yang merujuk pada istilah Musyawarah Nasional yang kerap digunakan partai politik lain, seperti PDI Perjuangan, Golkar, dan partai politik lainnya.
Ada juga istilah “PSI Kepoin Pilkada” merujuk pada sikap PSI dalam mengawasi Pemilihan Kepala Daerah Serentak yang dilangsungkan pada 9 Desember 2015 lalu. Ini menunjukan partai ini adalah partai anak muda.
Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat PSI sendiri terdiri dari 9 orang pengurus dan keseluruhan pengurusnya hampir tidak familiar dalam aktivitas politik nasional. Sebut saja, misalnya, Grace Natalie (Ketua Umum), Raja Juli Antoni (Sekretaris Jenderal), Suci Mayang Sari (Bendahara Umum), Isyana Bagoes Oka (Ketua DPP), dan Nova Rini (Ketua DPP).
Keragaman
Sejak era reformasi 1998 konstitusi kita telah memberikan ruang kebebasan mendirikan partai politik secara terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia. Hal ini merupakan antitesis kebijakan pemerintah dalam pemilihan umum di masa Orde Baru yang hanya diikuti tiga partai politik: Golkar, PPP, dan PDI.
Berbagai produk Undang-Undang Partai Politik juga telah disahkan oleh Presiden melalui Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuka ruang tersebut. Seperti UU Nomor 2 Tahun 1999, UU Nomor 31 Tahun 2002, UU Nomor 2 Tahun 2008, dan UU Nomor 2 Tahun 2011.
Dalam undang-undang yang disahkan terakhir (UU Nomor 2 Tahun 2011) syarat mendirikan partai politik di Indonesia tidaklah mudah. Sebab, di samping harus terdaftar secara akta Notaris, sebuah partai politik harus juga terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik dan Limnas, Kementerian Hukum dan HAM, dan Komisi Pemilihan Umum.
Partai politik juga harus memenuhi syarat 100% kepengurusan di provinsi, 75% kepengurusan di kabupaten/kota dan 50% kepengurusan di kecamatan di seluruh wilayah Indonesia.
Kepengurusan yang lengkap di seluruh wilayah Indonesia hanyalah segelintir tantangan partai politik dan tentu belum cukup untuk bertarung dengan partai politik lain. Partai politik harus punya identitas dalam menghadapi pemilu. Kita tahu pemilih di Indonesia kini semakin cerdas dan semakin rasional.
Identitas merupakan hal yang sangat penting dalam memperkenalkan sebuah partai politik ke masyarakat. Visi-misi, ideologi, dan program partai yang pro-rakyat menjadi sebuah keharusan di era reformasi ini demi memenangkan hati masyarakat.
Partai Solidaritas Indonesia yang didirikan pada 15 November 2015 lalu menawarkan trilogi perjuangan PSI: Menebar Kebajikan, Merawat Keragaman, dan Mengukuhkan Solidaritas. Hal yang menjadi identitas PSI adalah menjaga keragaman. “Tidak dapat dipungkiri, permasalahan yang paling utama bangsa ini, di samping krisis ekonomi dan korupsi, adalah krisis keragaman.” (Kutipan Pidato Ketua Umum PSI Grace Natalie, Kopdarnas, Jakarta, 16 November 2015).
Artinya, keragaman menjadi isu yang sangat penting di tengah Indonesia yang kini telah memasuki usia 71 tahun. Dalam tahun-tahun belakangan ini kita menyaksikan Indonesia semakin lama semakin krisis akan keberagaman. Mesjid dibakar, gereja dihancurkan, juga berbagai rumah ibadah dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Di samping itu, isu-isu rasial juga marak kita saksikan di tengah keragaman Indonesia.
Politik Sudah Menua
Para Founding Father bangsa ini seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan tokoh-tokoh lainnya praktis mulai masuk ke politik saat umur mereka masih berumur di bawah kisaran 40 tahun. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) saat berusia 26 tahun; Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) saat umunya masih 36 tahun.
Tan Malaka mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PARI) di umur 31 tahun. Juga Mohammad Natsir mendirikan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi ketika masih 37 tahun. Artinya, awalnya identitas dan perjuangan politik di Indonesia, baik untuk memperjuangkan Indonesia merdeka juga pada saat berbangsa dan bernegara, didirikan oleh orang-orang muda yang sadar akan perjuangan untuk kesejahteraaan rakyat Indonesia.
Kini, pasca era reformasi praktis orang-orang memimpin partai politik di Indonesia adalah orang-orang yang umurnya sudah di atas 50 tahun. Sebut saja Megawati Soekarno Putri (PDI Perjuangan) berusia 71 tahun, Setya Novanto (Golkar) berumur 61 tahun, Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat) menginjak 66 tahun, Surya Paloh (Nasional Demokrat) menjelang 64 tahun, dan Prabowo Subianto (Gerindra) yang juga sudah menginjak 64 tahun.
Hal ini tentu sangat kontras dengan politik di masa lalu yang didominasi orang-orang muda yang punya jiwa progresif membangun bangsa Indonesia. Argumen inilah yang menjadi pertimbangan utama berdirinya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di kancah politik Indonesia yang baru mendaftar dan mencoba bertarung di Pemilu 2019 nanti.
Anak muda yang benar-benar baru diberi kesempatan untuk berpolitik dan berpartisipasi di tengah politik yang semakin lama semakin menua. Harapan ke depan, masuknya anak-anak muda dalam kancah politik di Indonesia ini tentu tidak hanya sebagai penggembira saja, tapi untuk memastikan politik didistribusikan ke semua elemen masyarakat.
Tidak hanya untuk orang-orang “tua” saja, tapi juga untuk segenap seluruh tumpah darah Indonesia. Demi terwujudnya Indonesia sejahtera sebagaimana cita-cita luhur bangsa Indonesia.
*.Penulis adalah Mahasiswa S2 Ilmu Politik di Universitas Diponegoro. Tulisan ini juga dipublikasikan di geotimes.co.id