Diskursus Koran Solidaritas, Edisi IX – April 2016
Oleh: Ramli Hussein*
Partai Politik Membawa Kerusakan
Jika memiliki kesempatan dan kekuatan, niscaya partai politik akan membungkam kekuatan politik lainnya untuk berkuasa secara tunggal disalah satu Negara. Demikianlah kekuasaan mampu membuat batas-batas baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Siapa yang membayangkan Partai kecil yang pada Pemilu Jerman tahun 1928 hanya mampu memperoleh 2,6% suara itu, kemudian menjadi kekuatan politik sekaligus tempur yang paling menakutkan dalam sejarah peradaban manusia.
NAZI dibawah kepemimpinan Sang Fuehrer Adolf Hitler, keluar sebagai pemenang Pemilu Maret 1933 dengan perolehan suara 43,91%. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Hitler, seluruh Partai Politik yang tidak setuju untuk tunduk dibawah kekuasaan Hitler dibubarkan, elitnya menjadi buron hingga ke Rumania dan Yunani. Partai Komunis dan Partai Sosialis menjadi sasaran utama kemarahan Hitler.
NAZI berkuasa secara absolut hingga menggelar Pemilu November 1933 dengan perolehan suara sebesar 92,11%. Hitler bersama sekutu dekatnya, Mussolini dari Italia, menyulut perang di daratan Eropa, dendam Afrika yang dibawa pulang. Dalam waktu singkat mesin-mesin industri dan produksi Jerman disulap menjadi industri perang yang memproduksi pesawat tempur dan tank-tank dengan kecepatan tinggi. Teknologi yang oleh politik harusnya diatur dan dikelola sebagai alat kesejahteraan, oleh Hitler dijadikan industri mesin-mesin pembunuh berkualifikasi canggih dijamannya.
Tidak butuh waktu lama, Hitler yang disokong oleh Mussolini Sang Tiran dari Italia, menguasai hampir seluruh daratan Eropa, kecuali Inggris Raya di ujung Barat benua dan Rusia di ujung Timur Eropa. Jepang merasa siap untuk menjadi penguasa Asia, ekspansi dilakukan, Asia Tenggara, Korea, Taiwan dan akhirnya mendarat di Shanghai. Setelah menguasai China, meski belum sepenuhnya stabil, Jepang mulai maruk dengan melancarkan sebuah serangan Kamikaze ke pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour. Perang dunia yang sebenarnya dimulai, Amerika Serikat ikut dalam dua perang sekaligus, di Eropa melawan Italia dan Jerman, juga di Pasifik melawan Jepang.
Partai Politik Yang Membebaskan
Berbeda dengan Partai NAZI di Jerman yang membawa petaka bagi umat manusia, di Nusantara tahun 1912 lahir sebuah partai politik pertama bernama de Indishce Partij yang didirikan tiga serangkai Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara. Peletak pondasi pertama gagasan kebangsaan Indonesia, meski digagas oleh kelas Priyai, Indische Partij merajut perbedaan kelas sosial dan kelas ekonomi bangsa jajahan menuju gagasan persatuan nasional. Dalam perjalanannnya, Indische Partij memang tidak mampu mencapai cita-cita pendiriannya mengupayakan Indonesia merdeka, namun sebagai sebuah Partai Politik, IP telah meletakkan pondasi awal bangunan Indonesia Merdeka yang menjadi lebih bergairah pada tahun-tahun berikutnya, bahkan setelah ketiga pendiri IP dibuang ke tempat yang terpisah.
Kedatangan para orang yang dibuang di Belanda. Duduk dari kiri: Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, berdiri dari kiri: F. Berding, G. L. Topee, dan J. Vermaesen. – Sumber: indischhistorisch.nl
Pondasi utama yang diletakkan oleh IP adalah kemampuan untuk merasa setara. Meski didirikan oleh Priyai dan Indo-Belanda, namun IP menempatkan persamaan rasial dalam segala urusan politik dan pemerintahan adalah hal utama. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Palajaran lain dari kelahiran IP adalah pentingnya perjuangan legal, yang terlihat kooperatif dan damai namun jelas tidak lebih mudah dari gerakan bersenjata yang membuat banyak nyawa dan kerugian lainnya berjatuhan. IP adalah inspirasi politik baru, sebagai organisasi moderen ketiga setelah Boedi Utomo dan Sarekat Islam, IP merupakan organisasi pertama di Nusantara yang mendeklarasikan diri sebagai partai politik. Dalam perjalanan menuju pembuangan masing-masing, disadari atau tidak, berkat IP telah lahir benih-benih pembebasan nasional baru, yang pada babak selanjutnya akan dimulai dari Gang Peneleh, di sebuah rumah milik HOS Cokroaminoto tokoh Sarekat Islam, ramuan berbagai ideologi dan gagasan Indonesia merdeka sedang diramu. Sebagian besar mereka akan menjadi pendiri-pendiri partai politik, dan mengantarkan Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Afiliasi, Fusi, Koalisi dan Aliansi
Gagasan deparpolisasi harus dibedakan dengan beberapa istilah politik lainnya seperti: Afiliasi, Fusi, Koalisi dan Aliansi. Meskipun semua istilah tersebut memiliki makna yang hampir sama namun berbeda dalam praktik.
Afiliasi, istilah ini biasanya digunakan dalam struktur organisasi yang lebih kompleks. Maknanya adalah pertalian sebagai anggota atau cabang. Sering digunakan antara organisasi induk dengan organisasi sayap. Misalnya di Jerman, DGB sebagai konfederasi sarekat buruh terbesar di Jerman memiliki afiliasi politik (meski tidak resmi dan wajib) secara tradisional memiliki afiliasi politik dengan SPD Partai Sosial Demokrat Jerman. Jenis kerjasamanya adalah kesamaan platform dan program kerja, aspirasi buruh melalui DGB dititipkan kepada SPD yang memiliki perwakilan di Parlemen Federal, sebaliknya dalam Pemilihan Umum, DGB mempromosikan SPD ke kalangan anggotanya. Afiliasi merujuk pada hubungan yang imbang, meski kadang secara struktur independen namun cara pandang, ideologi dan program kerja menyatukan sebuah afiliasi politik.
Fusi, Indonesia pernah mengalami masa dimana pemerintah menjalankan politik penyederhanaan partai politik melalui jalan Fusi. Fusi artinya menyatukan secara total seluruh aktifitas, struktur dari dua organisasi atau lebih menjadi satu partai. Demi memantapkan visi Orde Baru yang mengutamakan stabilitas politik untuk percepatan pembangunan, maka diluncurkan paket Fusi Partai pada tahun 1973. Akhirnya dimulailah masa Demokrasi Pancasila versi Orde baru dengan hanya menyertakan tiga partai politik dalam setiap Pemilu, yakni: PPP (Partai Persatuan Pembangunan) merupakan penggabungan partai-partai politik Islam, yang terdiri dari NU, Parmusi, PERTI dan PSII. Kelompok kedua dilebur kedalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia), partai yang dilebur menjadi PDI ini terdiri dari: PNI, Murba, IPKI, Parkindo, Partai Khatolik. Sementara Golkar diisi oleh tokoh-tokoh arsitek Orba dan juga petinggi militer. Sementara partai lain yang berhaluan Komunis dan Sosialis secara resmi dibubarkan: seperti PKI dan PSI. Fusi PPP dan PDI bukannya tidak menyisakan persoalan, dimanapun proses politik yang dipaksakan, atau Fusi yang tidak melewati hasil kesadaran akan menemukan keretakan dikemudian hari. Ini terjadi pada saat era Reformasi 1998, ketika Pemilu demokratis pertama digelar tahun 1999, partai-partai politik kembali bermunculan, pecahan dari hasil fusi 1973 mencoba meraih kembali eksistensinya di Pemilu 1999.
Koalisi sebenarnya memiliki makna yang dekat dengan Aliansi, keduanya bermakna kerjasama antara dua atau lebih partai politik, didalam atau diluar parlemen. Hanya saja koalisi biasanya lebih dimaknai sebagai kerjasama insidental untuk memenangkan sebuah kebijakan atau kelebihan suara hasil Pemilu. Contoh misalnya Koalisi Merah Putih dalam memenangkan Capres Prabowo Subianto melawan Koalisi Indonesia Hebat untuk memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2014 yang lalu. Koalisi jarang yang bersifat permanen, demikian juga dengan aliansi. Hanya saja aliansi digunakan lebih banyak untuk hal yang bersifat programatik dan aksi nyata, misalnya Aliansi Bhineka Tunggal Ika, adalah gabungan beberapa organisasi untuk melakukan kampanye pro keragaman dan melawan bentuk intoleransi. Beberapa partai politik membaginya menjadi aliansi taktis dan aliansi strategis, ini hanya didasarkan pada durasi dan penting tidaknya sebuah aksi politik dijalankan.
Seluruh istilah tersebut bisa saja diseret masuk ke dalam konteks DEPARPOLISASI, sehingga dengan membenturkan kata deparpolisasi dengan keberadaan mekanisme calon independen merupakan sebuah simplifikasi yang bisa saja destruktif dalam diskursus demokrasi di Indonesia. Apalagi semangat kelahiran mekanisme calon independen karena justru ingin memberikan terapi serius terhadap partai politik yang semakin jauh dari mandat pendiriannya.
Catch All Party dan Deparpolisasi
Masa mengaburnya ideologi, berakhirnya konfrontasi bipolar (blok barat vs blok timur) pasca perang dingin membuat partai politik yang tadinya sangat ideologis, mulai kehilangan basis dukungan suara. Otto Kirchmer mengambil contoh Partai Sosialis Jerman, pasca unifikasi Jerman, ditambah kehidupan ekonomi yang semakin baik, konfrontasi kelas sosial yang menjadi basis teoritik pengorganisasi buruh dan kader partai menjadi mengabur. Teori kelas sulit digunakan dalam meraih dukungan elektoral. Karenanya kemudian struktur partai yang ketata dan sentralis tidak mungkin bekerja efektif dalam era masyarakat yang terbuka.
Hal yang sama terjadi di Indonesia, sejak Pemilu 1955 politik aliran masih sangat kental mewarnai pertarungan politik, bahkan perdebatan di media massa tidak kalah sengitnya. Islam, Nasionalis, Sosialis dan Komunis meletakkan Bahasa-bahasa politik aliran, wajar jika masa itu media partai politik oplahnya melebihi media massa umum. Pertarungan ini berhenti pada masa Orde Baru, terutama pasca fusi partai 1973. Orde Baru memegang kendali politik dan keamanan melalui Golkar dan Dwi fungsi ABRI. Namun politik aliran masih terasa pada saat kebebasan politik kembali dibuka melalui Pemilu tahun 1999, politik aliran kembali terasa meski tidak lagi banyak memakan korban seperti masa Orde Lama.
Pemilu 2004 membawa cerita baru, pasca jatuhnya Gusdur, gagalnya Amin Rais menanamkan pengaruh dan Megawati yang ketika memimpin juga tidak mampu merawat kecintaan publik pada saat itu. Pemilu 2004 mengantarkan figur Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, padahal Partai Demokrat adalah partai politik baru dengan perolehan suara hanya 7,45% suara.
Apa ideologi Partai Demokrat? Apa rekam jejak Partai Demokrat? Apakah Partai Demokrat jauh lebih berjasa melahirkan demokrasi baru Indonesia disbanding PAN, PDI-P, PPP, bahkan dengan partai yang programnya melawan rezim militer dan otoritarianisme Soeharto seperti PRD dan PUDI pimpinan Sri Bintang Pamungkas? Jawabannya tidak sama sekali, yang terjadi adalah perubahan cara pandang pemilih dan juga mengaburnya politik ideologi di Indonesia.
Meski mayoritas beragama Islam, pemilih Indonesia secara konsisten tidak menjatuhkan pilihannya kepada partai bernafas Islam. Pun ketika Pemilu 1955 umat Islam Indonesia terbagi ke partai yang memilih partai Islam, lebih banyak mengidentifikasi dirinya sebagai nasionalis bahkan tidak sedikit yang menyatakan diri berhaluan sosialis dan komunis. Pasca depolitosasi dan deideologisasi Orde Baru, politik aliran sudah tidak relevan lagi, tentu saja unsur traumatik pasca tragedi kemanusiaan 1965, membuat pemilih sangat hati-hati menjatuhkan pilihan politiknya.
Ilustrasi: Politik Pencitraan
Era poilitik pencitraan menjadi trend baru dalam kontestasi parpol pasca 2004. Adopsi teori marketing dan branding masuk kedalam praktek pemenangan politik menjadi hal yang biasa. Panggung yang tadinya diisi oleh guru kader partai sekarang diambil alih oleh para pengampuh kaidah-kaidah pemasaran modern. Bagaimana membaca perilaku pemilih dan menciptakan brand yang kredibel ditengah pertarungan partai-partai adalah diskusi baru yang membuat Pemilu di era Reformasi menjadi sangat berbeda dengan Politik masa-masa sebelumnya. Seluruh partai politik akhirnya bertaruh di spektrum tengah, hal ini dilakukan demi memperoleh cukup ruang gerak didalam menciptakan diferensiasi dengan parpol-parpol lainya. Jargon bertebaran, janji politik diproduksi, relevansi politik realitas terbenam dalam kreasi iklan dan alat peraga kampanye. Bahkan yang paling miris adalah prinsip “kalau tidak bisa jadi yang terbaik, jadilah yang terlucu meski terlihat bodoh” asal materi kampanye anda mendapatkan perhatian dan pembicaraan dipublik.
PKS yang tadinya sangat kuat bernafaskan Islam, akhirnya bergeser ke tengah dengan jargon Bersih dan Peduli, PDIP yang harusnya tampil Nasionalis Kerakyatan menggeser ke tengah dengan slogan partai wong cilik, hampir seluruh parpol bertarung di spektrum tengah. Perbincangan ideologi menjadi topik pinggiran yang tidak lagi relevan dan mempengaruhi dasar kebijakan politik dan program aksi. Ini yang disebut era catch all party, pada saat itu sebagian ruh Partai Politik sebenarnya sudah hilang.
Era Digital, Demokrasi dan Re-Radikalisasi
Belum lagi penyesuaian sedang berlangsung, partai yang sedang sibuk-sibuknya bertarung di spektrum tengah, tiba-tiba pemilih dilanda kebosanan dan depresi akibat krisis ekonomi. Menu politik yang tidak berbeda antara satu parpol dengan parpol lainnya membawa pemilih kedalam keadaan kehilangan gairah. Bagaimana membedakan partai kiri dan kanan ketika keduanya ternyata mendukung Perang Iraq? Atau bagaimana sikap partai terhadap nuklir, krisis ekonomi, imigran, paket jaminan sosial dll tidak lagi bisa dibedakan berdasarkan ideologi dan program
Parpol gelagapan ketika ternyata di internet, diskusi-diksusi ideologis kembali bisa dibangun dalam konteks yang lebih baru. Di Indonesia, masa catch all party harus mengalami kenyataan bahwa Party ID atau identifikasi kedekatan pemilih terhadap partai politik jauh menurun dibanding tahun 1999 yang mencapai 68,6% menjadi hanya 11, 1% pada Pemilu 2014 (Data SMRC 2016).
Yang paling meresahkan adalah kekuatan figur jauh lebih kuat dibanding faktor partai politik dalam pertimbangan pemilih menjatuhkan dukungan. Ini adalah fenomena global, tidak hanya terjadi di Indonesia. Kemenangan Partai Kiri Yunani misalnya menunjukkan betapa pemilih Eropa kembali ke jalur ideologis ketika menghadapi krisis. Begitu juga kemunculan partai-partai alternatif seperti Internet Party di Selandia Baru, Piraten Partei di Jerman, Sex Party di Australia dll, menjadi sebuah kritik baru terhadap partai politik. Pilihannya bertahan ditengah sebagai catch all party? Atau segera mengambil jalan baru re-ideologisasi politik. SPD Jerman misalnya, pasca kekalahan telak pada tahun 2009, mengambil langkah percepatan regenerasi partai SPD, karena menganggap bahwa elit SPD sudah sangat tua untuk memahami perkembangan politik dunia baru, dunia digital.
Disisi lain partai-partai berhaluan ultra kanan seperti Neo-NAZI dan di timur tengah diwarnai dengan munculnya ISIS sebagai buah kegiatan kontra terorisme barat, adalah fenomena bahwa Catch All Party telah meninggalkan ceruk kosong dunia politik. Ruang yang tadinya hangat dengan perbincangan ideologi. Akhirnya diisi oleh tidak hanya gerakan alternatif tapi juga gerakan-gerakan anti-demokrasi yang mencoba meraih dukungan politik ditengah kealpaan politik ideologis. Di Indonesia, kehadiran Hizbut Tharir Indonesia (HTI) yang secara terang-terangan menolak Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika ternyata cukup signifikan meraih dukungan. Begitu juga dengan keberadaan Front Pembela Islam (FPI) yang seringkali menempuh jalur kekerasan untuk menyelesaikan perbedaan , hingga hari ini Negara tidak bisa secara tegas melakukan penindakan.
Masa Depan Partai Politik
Jika demikian maka meninggalkan ideologi dan berlomba meraih dukungan suara dengan menampilkan sosok Parpol tengah yang terbuka dan non-ideologis bukannya tanpa risiko. Sayangnya di Indonesia keterbatasan dan persoalan tersebut tidak dijawab dengan upaya serius partai politik untuk melakukan perubahan mendasar di internal maupun eksternal Parpol. Yang terjadi adalah upaya untuk menjaga zona aman dan nyaman dengan menciptakan regulasi yang diperkirakan akan mempersulit lahirnya partai atau kekuatan politik baru yang akan merongrong kekuasaan mereka.
Ada tiga upaya yang terbukti gagal membendung arus perubahan politik di Indonesia: Pertama, dengan mempersulit pendirian partai politik baru. Sejak lahirnya UU Partai Politik No. 2 tahun 2008, maka sangat jelas bahwa tidak ada lagi gerakan sosial yang akan mampu bertransformasi menjadi partai politik. Karena dalam Undang-undang tersebut jelas persyaratan administrasi yang sangat berat dan mahal tidak akan mampu dibiayai oleh Ormas atau kekuatan ideologis manapun untuk menjadi partai politik. Namun tahun 2014 dengan modal finansial cukup dan dukungan media yang kuat, Nasional Demokrat mampu mengatasi rezim administrasi tersebut dan lolos menjadi peserta Pemiliu, bahkan tercatat sebagain Parpol yang mengantar Presiden Jokowi ke kursi Presiden.
Upaya kedua adalah dengan memperberat persyaratan di Undang-undang Pemilihan Umum. Biasanya dengan mengutak-atik persyaratan verifikasi KPU, dan juga menaikkan ambang batas parlemen. Faktanya tahun 2014 Nasdem mampu meraih suara jauh diatas parliamentary threshold yang ditetapkan 3,5%, bahkan beberapa pertain lama seperti PBB dan PKPI tidak berhasil melampaui PT tersebut, bahkan Hanura hampir saja masuk ke zona degradasi akibat kesulitan dalam meraih dukungan di Pemilu 2014.
Upaya ketiga adalah dengan mempersulit kemungkinan ikut sertanya calon independen didalam kontestasi Pilkada, hal ini pun sudah terbukti gagal untuk membendung arus perubahan politik. Dalam catatan sejak dikabulkannya gugatan mengenai calon perseorangan di Mahkamah Konstitusi, kemenangan demi kemenangan diraih oleh calon perseorangan. Di sisi lain partai politik semakin merosot dalam hal kepercayaan publik, bahkan berada dibawah TNI, Polri dan DPD-RI berdasarkan data CSIS 2015.
Di masa yang berubah, partai politik di Indonesia akan menghadapi Pemilu 2019. Meski masih jauh namun Pemilu 2019 merupakan tahun penting bagi demokrasi baru Indonesia. Untuk pertama kalinya jumlah pemilih berusia 45 tahun, menjadi pemilih mayoritas, tercatat 65% jumlah pemilih berada dalam rentan usia 17-45 tahun. Untuk pertama kalinya pula, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa Pemilihan Umum Legislatif akan digelar bersamaan dengan Pemilu Eksekutif. Artinya selain pemilih yang relatif berusia muda, partai politik tidak akan menjadi faktor penentu kekuasaan di Indonesia. Kekuatan elektoral 2019 justru akan ditentukan oleh siapa figur Capres dan Cawapres yang diusung partai politik tersebut. Pada saat yang sama, apakah figur tersebut disukai oleh mayoritas rentan usia pemilih 17-45 tahun, yang notabene mereka adalah pengguna aktif media sosial.
Selamat datang di era demokrasi baru, demokrasi orang muda, demokrasi berbahasa digital. Demokrasi anti-oligarki, demokrasi yang mengembalikan gairah politik kepada hal-hal sederhana namun bisa dinikmati khalayak luas. Sederhana, setara dan beradab. Bagi Parpol yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan arus perubahan ini, tentu harus bersiap-siap dimasukkan ke dalam sebuah etalase sejarah. Dikenang sebagai masa lalu, bukan masa depan.
*. Penulis adalah Pemimpin Redaksi Koran Solidaritas