Kolom Kebudayaan Koran Solidaritas, Edisi VIII Februari 2016
Oleh: ES Ito
Politik adalah pertarungan para lelaki. Maskulinitas politik itu tidak hanya dirasakan di Indonesia tetapi juga seluruh dunia. Dari generasi ke generasi, sejak manusia membangun masyarakat komunal sederhana seperti ke-datu-an (bentuk paling primitif dari komunal) hingga suprastruktur bernama negara, senantiasa yang muncul ke permukaan adalah tokoh-tokoh yang didominasi oleh kaum laki-laki.
Politik terlihat seperti fitrah, sifat bawaan yang dibawa oleh lelaki sebagaimana fitrah kaum perempuan untuk melahirkan anak-anak. Untuk sedikit mengaburkan dominasi sepanjang zaman itu seringkali muncul adagium, bahwa di balik seorang laki-laki (baca : politisi) kuat terdapat seorang perempuan hebat di belakangnya.
Butuh waktu panjang bagi perempuan untuk mendapatkan hak-hak politiknya. Di Amerika Serikat yang dianggap sebagai kampiun demokrasi dunia saja, gerakan politik perempuan baru gencar di awal abad ke-20. Kaum perempuan di Paman Sam baru mendapatkan hak pilih secara nasional nyaris satu abad yang lalu. Cukup lama bila dibandingkan dengan lahirnya konstitusi Amerika nyaris satu setengah abad sebelumnya.
Sementara di Indonesia, sejak kemerdekaan kita diproklamasikan hak-hak perempuan sebagai warga negara tidak ada bedanya dengan laki-laki. Sama halnya dengan lingua franca, bahasa Indonesia yang tidak mengenal feminin dan maskulin dalam kata gantinya. Secara teori, politik kita yang berlandaskan konstitusi UUD 1945 jauh dari bias gender. Tetapi apakah demikian juga dalam praktiknya?
Linimasa politik Indonesia pasca kemerdekaan menunjukkan bahwa sejarah politik tetaplah pertarungan para lelaki. Beberapa nama perempuan yang muncul seringkali hanya jadi catatan kaki dalam sejarah Indonesia. Malah lebih sering lagi muncul karena relasi hubungan darah, perkawinan atau pun perkawanan dengan politisi laki-laki.
Selama masa Orde Baru hal itu tidak banyak berubah, hanya satu dua nama yang mungkin masih bisa diingat seperti Aisyah Amini dari Partai Persatuan Pembangunan. Sejak reformasi bergulir memang lebih banyak lagi nama politisi perempuan yang muncul, bahkan Megawati Sukarno Putri sempat jadi Presiden perempuan pertama Indonesia. Dalam kenyataannya, struktur politik tidak banyak berubah.
Ikhtiar kebijakan tiga puluh persen calon legislatif perempuan pada Pemilu lalu merupakan terobosan dalam demokrasi Indonesia. Sayangnya, jumlah anggota legislatif perempuan yang terpilih jauh dari kuota calon legislatif tersebut. Kenyataan itu menunjukkan tingkat keterpilihan politisi perempuan masih sangat rendah tidak hanya di kalangan laki-laki tetapi juga sesama kaum perempuan.
Berkaca dari pengalaman tersebut, mungkin sudah saatnya tidak lagi melihat isu emansipasi politik perempuan dari sisi kuantitas tetapi kualitas. Bahwa perempuan yang terjun ke politik bukan lagi terbelenggu oleh hubungan darah, perkawinan atau perkawanan melainkan individu yang terlatih oleh pengalaman, dibesarkan oleh komunitas dan menunjukkan komitmen tinggi untuk masyarakat.