Opini Koran Solidaritas, Edisi VIII Februari 2016
Oleh: Susi Dwi Harijanti, PhD*
Dalam sebuah negara demokrasi, keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan menjadi suatu keniscayaan. Diwujudkan dalam beragam bentuk. Keikutsertaan itu bahkan lazim dikategorikan sebagai hak-hak asasi manusia.
Secara alamiah tiap manusia memiliki hak dan kewajiban. Dalam konteks hubungan antar manusia, terdapat aturan moral yang menjamin hak-hak tersebut. Aturan moral itu menyatakan ‘hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain’. Namun dalam praktiknya, aturan moral itu tidak mudah dilaksanakan. Hal itu karena manusia sejatinya dilahirkan dalam keadaan berbeda-beda. Sayangnya perbedaan tersebut seringkali disalahgunakan.
Seringkali terdengar ucapan yang kuat yang bertahan hidup. Kekuatan itu dapat berasal dari kekuatan fisik, ekonomi, sosial, bahkan jenis kelamin. Nah, salah satu kelemahan mendasar manusia adalah kecenderungan menyalahgunakan kekuatan yang dimilikinya. Perempuan merupakan salah satu kelompok yang menjadi korban akibat munculnya kekuatan yang didasarkan atas fisik yang ditopang oleh kekuatan masyarakat yang sangat kukuh mengedepankan ideologi patriarki. Akibatnya, kaum perempuan tidak mempunyai ruang yang sangat memadai bagi mereka untuk memperoleh dan menikmati hak-hak yang dimilikinya.
Padahal, makna dasar hak asasi manusia yaitu hak yang merupakan bagian dari takdir manusia, yang tidak dapat dicabut secara semena-mena karena akan mengurangi bahkan meniadakan totalitasnya sebagai manusia. Bahkan secara ekstrem, pernah mengemuka pendapat bahwa hak-hak perempuan bukanlah hak asasi. Adalah Charlotte Bunch, salah satu tokoh perempuan yang mentransformasikan konsep hak asasi manusia serta diskursus bahwa hak-hak perempuan adalah hak-hak asasi manusia.
Jaminan hak-hak politik
Perempuan acapkali mendapatkan hambatan dalam politik, yang meliputi hal-hal yang berkaitan dengan pemilihan (election), pengambilan keputusan (decision making), serta penyelenggaraan negara dan pemerintahan (governance). Saat aturan moral tidak lagi secara efektif dapat digunakan untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia, maka hukumlah harus memainkan peran untuk menentukan batas-batas hak seseorang serta kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap orang lain.
Hukum merupakan sarana yang bersifat instrumental yang menentukan norma-norma yang bersifat pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan, hukumlah yang memberikan pengakuan serta jaminan hak asasi manusia. Hal ini dimungkinkan karena hukum mengatur tingkah laku negara atau pemerintah, baik yang semata-mata berkenaan dengan negara atau pemerintah itu sendiri, maupun yang menyangkut dengan hubungan antara negara atau pemerintah dengan individu atau masyarakat. Dalam konteks inilah kita mengenal apa yang disebut sebagai kewajiban-kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, serta melakukan pemenuhan hak asasi manusia.
Tahun 1953, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui disahkannya Konvensi Hak-hak Politik Perempuan sebagai implementasi prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB. Pasal-pasal I-III Konvensi menjamin bahwa perempuan mempunyai hak memberikan suara dalam pemilihan dengan syarat-syarat yang sama dengan pria, tanpa diskriminasi; hak dipilih untuk duduk dalam jabatan-jabatan publik menurut hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan pria, tanpa diskriminasi; serta hak menduduki jabatan-jabatan publik dan melaksanakan fungsi-fungsi publik menurut hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan pria, tanpa diskriminasi. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini melalui UU No. 68 Tahun 1958. Menariknya, dalam UU tersebut dilampirkan Memori Penjelasan yang menyatakan kesesuaian ketentuan-ketentuan Konvensi dengan pasal-pasal hak asasi manusia dalam UUDS 1950.
Hampir 30 tahun berselang, Indonesia menjadi negara pihak setelah melakukan ratifikasi Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimimation Against Women atau CEDAW) melalui UU No. 7 Tahun 1984. Konvensi ini menekankan pada kesetaraan dan keadilan (equality dan equity) antara laki-laki dan perempuan yang berdasarkan pada prinsip-prinsip persamaan substantif; non-diskriminasi; serta kewajiban negara.
Melalui prinsip persamaan substantif dengan pendekatan korektif, Konvensi ini mengakui adanya perbedaan antara pria dan wanita. Berbagai kebijakan dan aturan yang mengakibatkan subordinasi wanita dalam jangka waktu panjang atau pendek dikaji, termasuk pula membantu wanita mengatasi subordinasi tersebut. Atas dasar ini, misalnya, seorang perempuan yang harus bekerja pada shift malam, harus dipastikan bekerja secara aman, baik dalam kaitan dengan tempat pekerjaan maupun transportasi yang digunakannya.
Selanjutnya, prinsip non-diskriminasi bertujuan untuk mencegah segala bentuk pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi, menghapuskan pengakuan ataupun penikmatan atau penggunaan hak-hak. Akhirnya, atas dasar prinsip kewajiban negara, terdapat sejumlah hal yang harus dilakukan oleh negara, meliputi jaminan hak-hak perempuan melalui hukum dan kebijakan serta menjamin hasilnya (obligation of result); jaminan pelaksanaan praktis dari hak-hak tersebut melalui langkah-langkah atau aturan khusus; realisasi hak-hak perempuan; jaminan secara de-jure dan de-facto; serta pengaturan untuk menghormati, memajukan serta melaksanakan hak-hak perempuan di ranah publik serta privat.
Menariknya, Pasal 4 Konvensi ini mewajibkan negara melakukan langkah khusus berupa tindakan afirmasi untuk mempercepat persamaan de-facto. Berkenaan dengan bidang politik, Indonesia secara nyata telah melaksanakan kewajiban ini, antara lain melalui UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum serta UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dalam kaitan dengan pendaftaran parpol sebagai calon peserta pemilu, Pasal 15 huruf d UU Pemilu menentukan adanya surat keterangan dari pengurus pusat parpol tentang penyertaan perwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Ketentuan kuota 30% juga dijumpai dalam UU Parpol yang mengatur keterwakilan perempuan dalam kepengurusan tingkat pusat. Selain itu, penyusunan daftar bakal calon badan perwakilan tingkat pusat dan daerah juga didasarkan pada keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%, dan setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan. Keterwakilan ini diverifikasi oleh KPU, dan jika kurang dari angka tersebut, parpol diberi kesempatan untuk memperbaiki daftar.
Cukupkah penguatan hanya dengan tindakan afirmasi?
Kuota merupakan mekanisme popular untuk menjamin tindakan afirmasi yang meliputi reserved seats, kuota badan perwakilan, serta kuota partai. Indonesia menganut 2 jenis terakhir. Meskipun hak-hak politik, terutama berkaitan dengan pemilihan dan kepartaian telah dijamin, namun dalam praktik penguatan tidak secara otomatis terjadi.
Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang mengabulkan sebagian permohonan judicial review UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan mengabulkan pengujian Pasal 214 dan menolak pengujian Pasal 55 ayat (2). Permohonan yang dikabulkan berkenaan dengan penggunaan sistem zipper yang mengharuskan parpol memuat nama calon perempuan setelah atau sebelum laki-laki secara bergantian, yaitu nama caleg pertama dalam daftar adalah perempuan, pada urutan kedua laki-laki, dan seterusnya. Mahkamah membatalkan sistem ini dan mengubahnya dengan suara terbanyak. Sementara untuk Pasal 55 ayat (2) yang menetapkan adanya sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon disetiap 3 orang bakal calon, Mahkamah menyatakan sesuai dengan norma UUD 1945.
Perubahan sistem zipper menjadi suara terbanyak menjadikan Pasal 55 ayat (2) kehilangan makna yang menyebabkan tindakan afirmasi menjadi tidak tercapai. Putusan Mahkamah ini menjadi salah satu bukti kuat bahwa jaminan normatif tindakan afirmasi menjadi sia-sia akibat putusan badan pengadilan. Padahal, salah satu prinsip CEDAW menyatakan kewajiban negara untuk menjamin hak-hak perempuan melalui hukum dan kebijakan serta menjamin hasilnya.
Diantara 9 Hakim Konstitusi hanya Hakim Maria Farida Indrati yang mengajukan dissenting opinion, 8 hakim pria lainnya menyetujui perubahan sistem zipper. Praktik itu menunjukkan bahwa bentuk ideologi patriarki selalu berulang di dalam hukum. Substansi kategori hukum mengabaikan perhatian yang diperlukan oleh perempuan (Niken Savitri, 2006), dan tampak nyata dalam putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dijelaskan di atas.
*) Penulis adalah Dosen Senior Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Direktur Eksekutif Paguyuban Hak Asasi Manusia FH Unpad, Bandung