Rubrik Opini – Koran Solidaritas Edisi VII, Januari 2016
Oleh: Geger Riyanto*
Seseorang tak bisa memperjualbelikan manusia—tidak setidaknya sejak perbudakan dihapuskan. Tetapi, seseorang bisa memperjualbelikan daging. Maka, bagaimana caranya memperdagangkan satu makhluk diistemewakan yang disebut manusia ini?
Memperdagingkannya—menjadikannya seonggok daging.
Dewi, di usia belianya yang ke-15 pada tahun 1999, datang ke Pulau Tanjung Balai Karimun dengan satu tujuan. Ayahnya sudah meninggal. Ibunya tidak bekerja. Ia ingin bekerja, menafkahi hidupnya, dan teman ibunya menawarkan pekerjaan di restoran dengan gaji tinggi.
Sesampainya di kota yang berlokasi di Kepulauan Riau tersebut bersama dua kawannya, Dewi bertemu dengan Tante Merry. Ia mendatangi Tante Merry di Hotel Golden Million dan disambut oleh wanita-wanita muda berdandanan menawan—terlalu menawan.
“Kenapa kamu mau kerja di sini?” tanya satu perempuan.
“Pergi selagi kamu bisa,” ujar perempuan lainnya. “Di sini kamu akan menjadi tahanan.”
Kawan-kawan Dewi menangis. Dewi, tanpa sepengetahuannya, sudah dijual oleh teman ibunya dengan harga Rp850.000. Ia tak bisa melakukan apa-apa lagi pada saat itu. Penjaga sudah menggiring Dewi dan kawan-kawannya ke Tante Merry yang memaksanya menandatangani kontrak. Ia harus bekerja sebagai wanita penghibur sepanjang empat bulan.
Di Golden Million, Dewi tak pernah dipanggil dengan namanya. Ia diberikan nomor dada: 20. Ia dipanggil hanya dengan nomor dadanya. Dewi akan menunggu di kamar kosong dan pada saat mucikari yang dijuluki Papi dan Mami bersepakat dengan pelanggan, namanya akan dipanggil. “Dua puluh!” Sekitar tiga ratus wanita bekerja di tempat ini dan semuanya dinamai dengan nomor. Tante Merry menyekap para wanita belia ini dengan melilit mereka dalam hutang, tak kunjung memberikan mereka bayaran mereka.
Dewi sendiri akhirnya berhasil melarikan diri. Ia tak peduli dengan bayarannya yang dijanjikan Tante Merry yang tak turun-turun. Ia bahkan tak peduli kalau orang-orang sang tante akan membunuhnya. Ia tak peduli lagi.
Penghilangan Kemanusiaan
Pengalaman Dewi, sebagaimana ditemukan Ahmad Sofian dalam penelitiannya, bukanlah sesuatu yang sama sekali asing dalam kasus perdagangan manusia—sebuah industri yang kalau kita tak mau bermanis-manis menutupinya masih cukup laris saat ini. Modus operandi klasiknya adalah penghilangan. Penghilangan sang korban dari antara sanak saudaranya, atau yang lebih lazim disebut penculikan, dan penghilangan kemanusiaannya.
Di tempat lain, kita menemukan praktik yang disebut “ijon” oleh para pelakunya sendiri. Para perantara, sebagaimana diceritakan Teguh Nugroho dan Jeff Herbert, biasanya mendatangi keluarga miskin di desa-desa. Mereka menawarkan kepada keluarga bersangkutan pinjaman sebesar dua juta rupiah yang dapat mereka bayar dengan meminjamkan anak perempuan mereka untuk bekerja di kota.
Para keluarga membayangkan anak-anak yang dipinjamkannya bekerja sebagai staf rumah tangga, pengrajin, atau bahkan bintang film. Namun, cukup jelas, para anak perempuan ini tak pernah bekerja sebagai semuanya itu. Dan, fakta pahitnya, mereka biasanya tak akan bisa bertemu atau menghubungi keluarganya lagi.
Dalam praktik ijon ini, para perantara biasanya menyebut anak perempuan yang berhasil mereka bawa sebagai “ayam potong.” Ayam berarti pelacur. Potong menandai keberhasilan perantara merenggutnya dari keluarganya. Mereka sudah hilang dari jangkauan keluarga yang menyayangi mereka dan kini mungkin untuk diperlakukan bukan lagi sebagai seorang anak, perempuan atau saudari melainkan onggokan dagangan.
Apakah ayam potong hanya istilah? Istilah penyebutan yang tentu saja keji? Tidak—saya kira ada alasan mengapa kita akan selalu menemukan penyebutan-penyebutan tak manusiawi untuk para wanita yang tergulung perdagangan manusia. Ia menolong para perantara membius beban moralnya selagi menjadikan kemalangan orang lain pencapaiannya. Ia membantu Tante Merry dan para mucikarinya menyortir dan menjajakan para wanita yang diculiknya tanpa perlu menghiraukan perasaan mereka.
Dan di sebuah tempat lain yang belum pernah saya lihat, dengar, atau baca, saya berani bertaruh, mereka dijuluki daging. Entah dalam sebuah transaksi politik, bisnis, atau warung remang-remang pinggir jalan, mereka disodorkan sebagai daging. Kepada yang tidak terhormat nona daging, kita tahu, orang tak perlu iba. Ia hanya perlu memikirkan kebutuhannya sendiri.
Di Batam, saya sebut saja, ada kepercayaan di antara sejumlah wisatawan bahwa mengambil keperawanan seorang gadis melalui hubungan seksual paksa akan mendatangkan umur panjang, keperkasaan, dan menyembuhkan penyakit berat seperti HIV.
Menurut kepercayaan luar biasa yang dicatat oleh Nugroho dan Herbert ini, dengan kata lain, para wisatawan tak perlu mengindahkan apa pun dari wanita yang sudah disewanya. Ia sudah mengeluarkan sejumlah uang. Ia harus mendapat apa yang senilai dengan uangnya.
Perbudakan
Kita sama sekali tak memerlukan eufemisme apa pun untuk menyebut situasi ini: ini adalah perbudakan. Dan saya tak akan mengatakannya sebagai sisa-sisa dari praktik perbudakan masa silam yang kebetulan tak tergerus abad jaya-jayanya kemanusiaan. Dengan banyaknya pelanggan yang rela membayar mahal, para pengepul yang terlatih, jaringan distribusi yang rapih dan menggurita, serta perlindungan dari aparat penegak hukum, apakah industri perdagangan ini kalau bukan sesuatu yang memang diinginkan ada saat ini dan sekarang juga oleh masyarakatnya?
Apakah dia kalau bukan industri yang sehat dan maju selayaknya industri motor, mobil, makanan cepat saji? Dan bukankah tak ada kata yang terhatur untuk kemajuan ekonomi vulgar yang salah satu penyumbangnya adalah industri ini selain pujian?
Mungkin karenanya apa yang diperlukan oleh manusia modern yang rupanya mengamini praktik ini bukanlah menepisnya. Mungkin, ia hanya perlu mengubah wanita menjadi daging atau realitas bukan-manusia lainnya.
Mungkin, dengan demikian, ia dapat mendamaikan perbudakan dengan nuraninya.
* Penulisa adalah Esais dan peneliti. Bergiat di Koperasi Riset Purusha