PSI Desak Jokowi Tetapkan Intoleransi Jadi Ancaman Nasional

Tepat satu tahun Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berdiri akan digelar acara Kopi Darat Nasional (KOPDARNAS) yang juga bertepatan dengan Hari Toleransi Sedunia, 16 November 2015.

Berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta, simpul-simpul Pengurus PSI dari seluruh Indonesia menyuarakan keberpihakannya terhadap toleransi.

“Gerakan politik yang baik adalah gerakan yang memiliki nyali untuk mengatakan mana yang baik dan mana yang benar. Politik hanya bisa mendidik jika partai bisa menunjukkan sikap dan posisi berdiri yang terang, tidak abu-abu,” ujar Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni melalui rilis yang diterima Sindonews, Sabtu (14/11/2015).

Raja Juli menegaskan, PSI menyatakan diri berdiri paling depan melawan bentuk intoleransi yang akan membawa bangsa ini ke kondisi retak parah lalu hancur. “Kita ini bangsa yang besar, kita punya tradisi panjang musyawarah mufakat, kita memiliki kitab-kitab kuno tentang sopan santun dan saling memanusiakan satu sama lain.”

Karena itu, kata dia, tidak pantas rasanya bangsa ini bertengkar hanya karena sesuatu yang juga tidak pantas diperdebatkan. Keyakinan, kepercayaan, keimanan bukanlah ruang yang harus menjadi pertengkaran publik.

Sebab, Raja Juli menilai, sangat jelas konstitusi NKRI menjamin hak setiap manusia yang ada di dalam wilayah kedaulatannya, dijamin sepenuhnya haknya untuk berkeyakinan. Bahwa tidak seorang pun boleh mencabutnya.

“Mari kembali bercermin pada insiden-insiden intoleransi. Konflik berlatar belakang perbedaan agama warisan pemerintahan sebelumnya sampai kini masih banyak belum terselesaikan,” tuturnya.

Ditambah lagi, belakangan ini muncul beberapa konflik baru seperti kasus di Tolikara, Aceh Singkil, Manokwari, dan terakhir di Bitung. Jika tidak direspons dan diselesaikan dengan cepat, dia khawatirnya dengan persoalan yang sama dan kasus serupa di tempat lain akan terjadi, sirkulasi dendam dikhawatirkan merembet kemana-mana.

Dari analisa data beberapa lembaga dan berita di media yang dilakukan tim Litbang PSI, nyaris tidak ada perubahan mendasar dalam jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan setahun pemerintahan saat ini. Laporan Komnas HAM menjelaskan kasus intoleransi beragama mengalami peningkatan dalam tiga bulan pertama tahun 2015.

“Ada kenaikan 30% dibanding tahun lalu dalam pengaduan masyarakat soal intoleransi beragama. Memburuknya toleransi beragama ini tidak sebatas berhubungan dengan jumlah kasus, tetapi juga kualitas tindak pelanggaran kebebasan beragama,” jelasnya.

Kemudian catatan Setara Institute, dalam tujuh bulan ini (hingga Juni 2015), 116 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 136 tindakan. Tujuh bulan pertama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, belum tampak ada terobosan berarti dalam memajukan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Selain itu, tambah dia, laporan The Wahid Institute akhir tahun lalu menyebutkan kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, intoleransi, serta diskriminasi masih tinggi di Indonesia. Sepanjang 2014 telah terjadi 185 kasus.

“Jawa Barat menjadi wilayah paling banyak terjadi pelanggaran, yaitu dengan 55 kasus. Selain Jabar, wilayah yang masih tinggi adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Sumatera Utara. DIY pada 2014 terjadi 21 kasus, sedangkan Sumut 18 peristiwa,” pungkasnya.

 

Recommended Posts