Editorial Koran Solidaritas Edisi I, Juli 2015
Sanksi FIFA bagi sebagian orang adalah kiamat, tapi tidak bagi Presiden Jokowi. Alasannya jelas, apa gunanya atlet-atlet kita berlaga di tingkat internasional jika prestasinya buruk. Jokowi bahkan membuka data, prestasi PSSI selama 10 tahun terakhir seperti jalan di tempat, sejak 2002 tidak lolos kualifikasi Piala Dunia, bahkan pada 2011 untuk tingkat Asia saja gagal lolos kualifikasi, dan peringkat di FIFA sejak 2012 hanya bergerak di antara 156 hingga 161. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah masuk Piala Dunia pada 1938, meskipun masih di bawah bendera Hindia-Belanda. Pada perempat final Olimpiade Melbourne 1956 timnas Indonesia berhasil menahan imbang gempuran tim kuat Soviet, dan lolos babak pertama kualifikasi Piala Dunia 1958. Prestasi terbaik timnas sepakbola Indonesia ketika meraih medali perunggu pada Asian Games 1958.
Meskipun prestasi sepakbola kita terpuruk jauh di bawah, potensi pasarnya sangat besar. Setiap tahunnya sekitar 12 juta orang memenuhi stadion-stadion saat putaran Liga Primer Indonesia (LPI). Angka tersebut hampir setara dengan Bundesliga di Jerman yang menyedot rata-rata 13,8 juta dan Premiere League di Inggris dengan rata-rata 13,1 juta penonton setiap musim. Terbebasnya media dari kontrol politik, muncul bersama dengan kegilaan publik Indonesia terhadap liga-liga Eropa, menjadikan pasar sepakbola di media menjadi rebutan. Hak siar Indonesia Super League (ISL) untuk televisi terjual hingga angka Rp 1,3 triliun atau setara 133,5 juta dolar. Jika dijumlah dengan LPI, angkanya bisa mencapai 360 juta dolar tiap tahunnya. Persoalannya angjka fantastis itu spertinya tidak otomatis memperbaiki prestasi, peningkata fasilitas dan kesejahteraan atlet di Indonesia. Ribut elit, laba pasar, derita atlet.
Munculnya film bertema olahraga, Garuda di Dadaku dan King, dua-duanya rilis pada 2009, menampilkan ketegangan antara nasionalisme yang dibangkitkan lewat olahraga dengan kepentingan pasar. Prestasi dalam kompetisi olahraga adalah bentuk lain dari peperangan yang tidak menggunakan kekuatan militer, dalam gilirannya menjadi aspirasi dari kesadaran kolektif kebangsaan. Dalam pertarungan kuasa antara negara, pasar dan warga negara kita justeru berharap tumbuhnya budaya baru. Olahraga, sekali lagi hanya membutuhkan ruang bernafas yang lega, dia berhubungan langsung dengan kualitas dan kebahagiaan hidup yang menjadi hak warga negara. Menjadi atlet profesional adalah pilihan tahap lanjut dari kegiatan berolahraga.
Dengan demikian maka spirit kebajikan melalui dimensi olahraga, tidak melulu sekadar prestasi atau perebutan posisi kepengurusan dan komersialisasi event olahraga. Masa depan olahraga Indonesia adalah ketika olahraga adalah sebuah sikap hidup. Prestasi adalah hal yang datang berikutnya. Untuk itu kewajiban negara untuk memenuhi hak berolahraga dengan gembira. Olah raga sebagai public goods dan state responsilbity. Karenanya fasilitas yang memadai adalah sebuah keharusan. Sebelum berharap datangnya prestasi.