Jalan Baru Sepakbola Indonesia

Rubrik Sikap Kita – Koran Solidaritas Edisi I, Juli 2015

Kemenpora dan PSSI masih berusaha mencari titik kesepakatan. Pembekuan federasi sepakbola tersebut pada 17 April 2015 dan jatuhnya sanksi FIFA untuk Indonesia pada 30 Mei 2015, membuat banyak pihak menunggu kesepakatan, sambil menyelipkan harapan akan sesuatu yang lebih baik. Kompetisi sudah berhenti lama, tentu kebekuan ini sudah hampir menjalar ke otot-otot pemain yang menunggu jadwal pertandingan baru.

Komisi X DPR RI melalui rapat kerja dengan Kemenpora pada 10 Juni 2015 merekomendasikan pertemuan untuk mencari jalan penyelesaian terbaik bagi sepakbola Indonesia. Rekomendasi DPR RI tersebut wajar jika dinilai sarat muatan politis, mengingat selama ini, keolahragaan selalu merupakan wewenang eksekutif. DPR RI hanya berwenang menyetujui anggaran dan pengawasannya, Namun untuk kasus ini, berbanding terbalik dengan ucapan J.F Kennedy ‘jika politik kotor, maka puisilah yang membersihkannya.’ Pengecualian pada kasus ini ‘jika sepakbola kotor, politiklah yang membersihkannya’. Sayangnya, tampaknya kita tidak punya pilihan lain, selain menunggu.

Tidak cukup berlindung di belakang FIFA, PSSI bahkan menimpakan kesalahan ke Kemenpora.  ‘Kemenpora-lah penyebab sanksi dijatuhkan’. Tidak salah juga, namun ketika PSSI mulai menarik-narik campur tangan politik lewat rapat dengar pendapat dengen DPR-RI, juga ‘mengadu’ kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla, maka PSSI telah melakukan dua kesalah sekaligus: melakukan politisasi sepakbola dan pembangkangan terhadap institusi negara. PSSI seperti sosok beranjak dewasa, mencari perlindungan karena kenyamanannya terusik. Sebagai sosok yang belum dewasa, wajar jika PSSI enggan bertanggung jawab pada keributan yang telah dibuatnya dengan mencari perlindungan dari orang lain.

Di sisi lain, tindakan yang tidak lebih dewasa dilakukan oleh Menpora, Imam Nahrawi  dengan meminta dukungan Presiden Joko Widodo atas keputusannya “membekukan” PSSI. Drama berlanjut ketika Presiden mendukung agar upaya pembinaan terhadap PSSI jalan terus.  Sepakbola tersandera diantara dua kutub politik: PSSI vs Kemenpora, DPR vs Eksekutif, Presiden vs Wapres dan Negara vs FIFA.

Bagi FIFA jelas, bahwa intervensi pemerintah terhadap sebuah federasi sepak bola di negara manapun tidak bisa dibenarkan, law of the game sepak bola adalah ranah lex specialis yang harus menjadi hukum universal yang ditaati dan tidak boleh dicampuri oleh siapa pun dan di mana pun. Namun keadaan menjadi tidak sederhana, kredibilitas FIFA digoncang skandal korupsi yang berujung pada penangkapan yang dilakukan oleh FBI terhadap 9 orang petinggi FIFA di Swiss pada tanggal 27 Mei 2015, salah satunya adalah Wakil Presiden FIFA, Jeffrey Webb. Runtuh sudah kredo paling keramat, bahwa sepakbola tidak boleh di intervensi negara. Lalu bagaimana PSSI?

Dari seluruh fakta itu, PSI berkesimpulan: pertama, melihat sejarah lahirnya PSSI, sepakbola Indonesia tidak bisa tidak membutuhkan kehadiran negara. Yang harus diperjelas adalah sejauh mana kehadiran itu dibutuhkan. Kedua, semua yang dikelola manusia pasti punya peluang untuk disalahgunakan, karenanya prinsip manajemen yang professional, mulai dari pembinaan, rekruitmen pemain, training, manajemen pertandingan, wasit, sarana prasarana, finansial dll, harus diserahkan pada sebuah sistem yang profesional. Kita harus percaya, melalui proses yang benar akan lahir hasil yang baik. Dua tim asal Bandung Persib dan Pelita Bandung Raya (PBR) telah membuktikan teori itu. Ketiga, konflik PSSI lebih diwarnai konflik elit yang saling berebut kuasa dan anggaran. Ini tidak lepas dari terlalu dekatnya PSSI kepada kepentingan politik di satu sisi dan kepentingan ekonomi pihak tertentu (santer isu mengenai peran agen judi dan mafia skor) mengingat besarnya potensi kapital persepakbolaan di Indonesia.

Dua kesimpulan itu akhirnya membawa PSI pada sikap sebagai berikut:

  1. PSSI dan Kemenpora segera menemukan kesepahaman yang dilandasi itikad baik bersama untuk menjauhkan PSSI dari kepentingan politik dan kepentingan ekonomi hitam yang selalu menyandera sepakbola Indonesia. Untuk itu segera dibentuk Nota Kesepahaman antara Kemenpora sebagai representasi Negara dengan PSSI sebagai federasi resmi sepakbola di Indonesia.
  2. Menjadi tugas negara untuk menjamin hak warga negara dalam melakukan persepakbolaan. Juga tugas negara untuk menjamin hak warga negara mendapatkan tontonan yang mencerminkan nilai sportivitas yang tinggi. Karenanya negara harus memiliki hak dalam terciptanya persepakbolaan yang bersih dari politik dan praktek korupsi. Dalam konteks ini, negara memiliki hak intervensi hukum jika terjadi tindakan korupsi atau monopoli dalam kegiatan olah raga sepakbola di Indonesia.
  3. PSI menyampaikan apresiasi khusus kepada PERSIB Bandung dan PBR atas upaya keras hingga menjadi teladan tentang bagaimanan menata sebuah klub sepakbola dengan baik. Momentum ini harus menjadi pintu masuk dalam melakukan reformasi total manajemen organisasi PSSI dan juga klub-klub sepakbola yang ada. Harus ada standar kualifikasi professional bagi mereka yang akan duduk dalam kepengurusan. Tahap lanjut setelah pembenahan manajemen klub yang ada, adalah menata ulang sistem kompetisi, wasit, kesejahteraan atlet, sistem kontrak, sponsorship dll.
  4. Upaya desentralisasai peran pembinaan klub-klub sepakbola harus segera dilakukan. Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) sejatinya bisa berperan besar dalam melakukan banyak hal: ketersediaan sarana dan prasarana bersepakbola dan mendorong kegiatan industri persepakbolaan di tingkat lokal. Dalam hal satu klub tidak memiliki sumber daya keuangan yang memadai, maka suntikan dana bisa dilakukan dengan prinsip-prinsip bisnis professional berupa penyertaan modal atau pembelian saham.
  5. Dalam masa transisi, maka dibutuhkan sebuah tim adhoc dengan kualifikasi dan kompetensi yang cukup untuk mengawal agenda reformasi sepakbola Indonesia di tahun-tahun mendatang.
  6. PSI menghimbau agar baik negara maupun PSSI berhenti untuk menyalahkan prestasi atlet sepakbola Indonesia. Karena PSI yakin prestasi tidak pernah datang sebelum prasyarat persepakbolaan nasional diatas bisa dijalankan dan dipenuhi.

 

Recommended Posts