Tenggelamnya KRI Nanggala 402 beserta 53 awak di perairan Bali tidak hanya menyisakan duka mendalam bagi kita semua melainkan juga menjadi pengingat akan pentingnya modernisasi Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). KRI Nanggala adalah kapal selam Diesel-Electric yang dibuat pada tahun 1978 di galangan Howaldtswerke-Deutsche Werf di Kiel Jerman dan diserahkan kepada Indonesia pada tahun 1981. Dalam masa pengabdiannya, KRI Nanggala pernah dioverhaul di Jerman pada tahun 1989 dan kemudian juga dilakukan overhaul dan retrofit pada tahun 2012 di Korea Selatan.
Indonesia sampai saat ini memang masih tercatat sebagai kekuatan militer nomor 1 di kawasan Asean sesuai pemeringkatan dari Global Firepower. Pemeringkatan ini didasarkan kepada beberapa faktor antara lain jumlah personil militer serta jumlah alutsista. Namun kita menyadari meskipun memiliki cukup banyak alutsista, usianya rata-rata sudah lebih dari 30 tahun. Semakin tua alutsista juga membutuhkan perawatan yang semakin besar pula sehingga kemungkinan adanya kelalaian juga semakin tinggi. Kita tidak ingin mendahului hasil penyelidikan namun kita juga tidak dapat mengenyampingkan faktor umur KRI Nanggala yang memang sudah cukup tua ini.
Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia terjadi belasan kecelakaan yang melibatkan alutsista yang sudah berumur dan menimbulkan banyak korban jiwa. Pada tahun 2015 misalnya terjadi kecelakaan pesawat Herkules C-130 milik TNI AU di jalan Jamin Ginting Medan. Kecelakaan yang dialami pesawat yang berumur 50 tahun tersebut menewaskan 122 orang. Di Yogyakarta pada tahun 2016 juga pernah terjadi kecelakaan helikopter Bell-205 A1 yang dibuat pada 1978 dan menewaskan 3 orang.
Untuk memodernisasi alutsista memang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit karena peralatan militer sangat mahal dengan segala kecanggihan dan kerahasiaannya. Untuk memiliki kapal selam sekelas Chang Bogo buatan Korea Selatan misalnya kita harus mengeluarkan dana sekitar 4,62 trilyun rupiah. Begitu pula untuk dapat memiliki sebuah pesawat tempur F16 kita harus mengeluarkan uang sekitar 1,3 trilyun rupiah. Pembelian ini belum termasuk persenjataan dan biasanya pembelian tidak hanya 1 unit saja namun harus beberapa unit atau setara sebuah skadron untuk pesawat tempur.
Kementerian Pertahanan Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu kementerian dengan anggaran terbesar bila dibandingkan dengan kementerian lainnya. Mengutip Nota Keuangan APBN 2021, Kemenhan mendapatkan pagu belanja sebesar Rp. 136,99 triliun. Untuk Alutsista, Kemenhan berencana melakukan modernisasi serta pemeliharaan dan perawatan alutsista untuk TNI AD sebesar Rp. 2,65 triliun, TNI AL Rp. 3,75 triliun dan TNI AU Rp. 1,19 triliun.
Anggaran diatas meski bernilai triliunan namun untuk alokasi belanja alutsista terbilang kecil. Alokasi untuk matra laut misalnya hanya 3,75 triliun yang tentu saja tidak cukup untuk membeli 1 buah kapal selam baru kelas Chang Bogo dari korea selatan apalagi kapal selam buatan Amerika yang bernilai Rp7 triliun lebih.
Apabila kita membandingkan anggaran belanja pertahanan Indonesia dengan negara-negara Asean maka Indonesia memang terbilang kecil. Untuk belanja pertahanan 2019 misalnya Indonesia hanya 0,73 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sedangkan Malaysia membelanjakan 1 persen dari PDB, Singapura membelanjakan 3,2 persen PDB dan Thailand 1,3 persen PDB.
Kita memahami bahwa fokus pemerintah kita saat ini adalah untuk membangun infrastruktur sipil. Namun kita berharap pemerintah hendaknya tidak mengabaikan belanja pertahanan untuk kekuatan angkatan bersenjata kita. Karena kekuatan Alutsista suatu negara sesungguhnya tidak bisa dilihat dari kebutuhan mobilisasi untuk berperang semata tapi juga dibutuhkan untuk perimbangan kekuatan di kawasan.
Suatu negara bila memiliki angkatan militer yang kuat meskipun tidak dalam kondisi berperang akan menimbulkan daya gentar bagi negara-negara di kawasan. Efek gentar (Deterrent Effect) yang ditimbulkan dari kekuatan persenjataan TNI juga berguna untuk membantu Indonesia dalam berdiplomasi dengan negara lain dalam bidang apapun.
Oleh karena itu, kita berharap modernisasi alutsista ini dapat segera dijalankan dengan mempercepat target Minimum Esential Force (MEF) yang telah dicanangkan Pemerintah melalui Perpres nomor 5 Tahun 2010. MEF merupakan kekuatan pokok minimal yang harus dimiliki oleh suatu negara sesuai dengan kebutuhan wilayahnya. Dalam targetnya, MEF diharapkan dapat memenuhi sejumlah 160 jet tempur, 15 kapal selam hingga 48 helikopter canggih untuk Indonesia.
Pemenuhan target MEF ini semakin cepat semakin baik sehingga alutsista yang sudah berumur dapat segera dipensiunkan. Namun pengadaannya diharapkan juga memenuhi azas transparansi dan akuntabilitas sehingga tidak menyimpang dari kebijakan pembangunan postur pertahanan.
Hal lain yang patut jadi perhatian pemerintah adalah terkait kebijakan masa lalu yang melakukan pembelian alutsista bekas dari negara lain. Pada 2012 Indonesia membeli 80 unit MBT Leopard bekas dari Jerman serta pada 2014 menerima hibah 24 unit pesawat tempur F16 buatan tahun 1980 dari Amerika yang kemudian dilakukan retrofit. Saya tidak tahu pasti apakah tank atau pesawat tempur bekas itu bisa berfungsi sesuai dengan harapan atau tidak namun dalam pikiran saya pembelian alutsista bekas ini perlu untuk dievaluasi kembali.
Walau bagaimanapun, masa pakai alutsista bekas tentu tidak akan sepanjang masa pakai alutsista baru apalagi bila dikaitkan dengan perkembangan teknologi persenjataan yang semakin lama semakin maju. Alutsista yang sudah berumur meskipun dilakukan peremajaan tetap akan membebani anggaran perawatan serta berisiko terhadap terjadinya kecelakaan yang mengancam keselamatan jiwa prajurit.
Oleh karena itu kita berharap Pemerintah khususnya Kemenhan dapat fokus dalam mengejar target MEF untuk memodernisasi peralatan tempur TNI sehingga tidak ada lagi kejadian tragis seperti KRI Nanggala 402. Profesionalisme prajuritpun harus terus ditingkatkan seiring dengan memenuhi kesejahteraan dan penguasaan mereka terhadap senjata. Banyak memang yang harus dilakukan dan membutuhkan biaya yang sangat besar namun tetap harus diupayakan karena kekuatan militer tidak hanya digunakan untuk berperang saja tapi juga untuk menegakkan marwah negara kita di mata dunia.