Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) mendesak untuk segera disahkan. Alasannya, karena semakin banyak kasus penyalahgunaan data pribadi masyarakat pengguna jasa fintech (layanan jasa keuangan berbasis teknologi), terutama layanan pinjaman online (pinjol). Demikian disampaikan Direktur eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, dalam diskusi online bertema “Pinjol Meresahkan, Data Pribadi Rawan Pencurian” yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Selasa 27 April 2021.
“Tanpa adanya UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), seluruh persoalan yang terkait dengan penyalahgunaan dan eksploitasi data pribadi pengguna fintech tidak akan pernah bisa diselesaikan secara akuntabel. Subjek data (pengguna fintech) tidak akan pernah mendapat pemulihan atau ganti kerugian karena memang ada kerancuan, misalnya, ketika terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran, dia harus ke mana? Ke Kominfo sebagai penanggung jawab penyelenggara sistem dan transaksi elektronik? atau ke OJK sebagai pengawas transaksi keuangan? atau ke mana gitu kan,” kata Wahyudi Djafar.
Wahyudi melanjutkan, dengan UU PDP, nantinya akan dibentuk otoritas perlindungan data sehingga jika terjadi penyalahgunaan dan eksploitasi data pribadi, seseorang tahu harus mengadu ke mana dan otoritas bersangkutan bisa mengambil langkah hukum.
Namun demikian, Wahyudi menyadari bahwa pembahasan dan pengesahan RUU PDP masih butuh waktu yang cukup lama. Oleh karenanya, dia menawarkan sejumlah langkah alternatif.
Antara lain, penguatan di level asosiasi untuk sejumlah pedoman etik bagi perusahaan fintech, sehingga prinsip-prinsip perlindungan data pribadi bisa dilembagakan lewat kode etik itu.
Di samping itu, dia menjelaskan, masyarakat sebagai konsumen perlu diedukasi ihwal fitur, jenis layanan dan konsekuensi dari pemasangan aplikasi pinjol.
“Upaya-upaya pendidikan konsumen harus terus dilakukan. Bagaimana kemudian mereka memahami term of services, dan bagaimana seharusnya menggunakan sebuah aplikasi,” tambahnya.
Sebaliknya, Wahyudi justru mengkritisi pemblokiran fintech ilegal, yang menurutnya tidak banyak menjawab permasalahan. Pasalnya, tidak ada kepastian terkait data-data yang sudah dikumpulkan oleh fintech ilegal tersebut.
“Terhadap fintech ilegal yang diblokir atau ditutup operasinya, sementara dia sudah mengumpulkan jutaan data pengguna, ini akan memunculkan pertanyaan ke mana data-data yang sudah dikumpulkan tersebut? Apakah bisa dipastikan data itu dimusnahkan? Ataukah data-data itu membuka peluang untuk disalahgunakan untuk yang lain?,” imbuh aktivis HAM itu.
Harusnya, ucap Wahyudi, aparat penegak hukum bisa berpedoman pada UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan mengambil upaya lebih lanjut untuk membongkar permainan fintech ilegal sampai tuntas daripada sekadar melakukan pemblokiran.
Sementara Winner Jhonshon yang turut berbagi pandangan menyebut jika perusahaan pinjol sudah sangat meresahkan.
“Pinjol ini cukup meresahkan, bukan saja dari cara-cara mereka menjerat, cara mereka menagih juga sangat tidak etis, bahkan menurut saya sudah masuk kategori mempermalukan orang,” ujar pengacara tersebut.
Bahkan, dia menyebut transaksi pinjol merupakan transaksi keuangan yang berbahaya. Hal itu dia temukan setelah mengadvokasi ratusan masyarakat korban pinjol.
“Pertama, saya lihat apa yang mereka tawarkan dalam iklan, itu tidak sesuai dengan kenyataan. Orang yang pinjam 2 juta, tiba-tiba 3 bulan atau 6 bulan kemudian, mereka harus bayar 4 juta lebih. Jadi jelas mereka bohong,” tambah dia.
Kedua, menurutnya, menjamurnya keberadaan pinjol ilegal membuat masyarakat cenderung menggunakan uang pinjaman untuk hal-hal yang tidak produktif. Parahnya lagi, pelbagai layanan pinjaman online ilegal itu menetapkan bunga yang sangat tinggi di luar aturan yang ada.
“Dampaknya luar biasa sekali, mereka terjerat ketika tidak bisa bayar, dan lewat sekian hari saja (dari hari pembayaran yang ditentukan), bunganya itu luar biasa tinggi, kenapa? Karena pinjol ilegal tidak terikat dengan aturan. Kita mau lapor ke mana? Kemudian, mereka juga susah dilacak. Kantor mereka juga gak jelas di mana,” papar Managing Lawyer di Winner Jhonshon and Associates Law Office itu.
Ketiga, Winner kembali menekankan cara-cara penagihan oleh debt collector pinjol yang sering menabrak etika dan mempermalukan konsumen.
Merespons pertanyaan peserta diskusi soal bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi pinjol, Winner Jhonshon mewanti-wanti masyarakat untuk tidak terpancing dengan tawaran pinjol yang menggiurkan, padahal menjebak.
“Saya ingin sampaikan juga kepada masyarakat, gak usah pinjam ke pinjol, cukupkan apa yang ada padamu. Mentalitas masyarakat kita yang suka pinjam-pinjam ini juga membuat persoalan baru,” imbuhnya.
Dalam diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Ariyo Bimmo itu, Winner Jhonshon berharap pemerintah menyetop izin operasi pinjol sebelum dibuat payung hukum dan aturan turunan yang jelas.
Pada titik ini, pandangan Wahyudi Djafar dan Winner Jhonshon punya satu kesamaan, yaitu RUU PDP semakin relevan untuk segera disahkan.
“Kalau saya sarankan kepada pemerintah, stop dulu, moratorium dulu sampai semua aturan dan perangkatnya jelas. Pinjol yang legal dan ilegal disetop dulu semuanya, jangan dulu ada bisnis peer-to-peer ini. Kita siap dulu dengan perangkatnya, toh sumbangsih pinjol ini tidak seberapa (terhadap ekonomi)” usul dia.
Diskusi itu tidak hanya membicarakan urusan pinjol semata. Perihal lain tentang perlindungan data pribadi yang disinggung adalah peretasan media sosial.
Pegiat pendampingan perempuan, anak dan disabilitas, Ilma Sovri Yanti yang belum lama ini menjadi korban peretasan akun media sosial Facebook ikut membagi pengalamannya.
Menurut Ilma, peretas akun Facebook bekerja secara terorganisir dan telah mempelajari target korban peretasan. Dalam kasusnya, dia menduga, pelaku peretasan mempelajari aktivitas Ilma di media sosial terlebih dahulu dan memilih target korban yang akan ditipu.
“Pelaku memanfaatkan kondisi sosial saya, aktivitas sosial saya, dan menghubungi teman-teman terpilih. Disebut otodidak tidak juga, sepertinya dia melihat rekam jejak komunikasi dalam Facebook tersebut, sehingga dia menyasar orang-orang dianggap percaya, seakan-akan itu adalah saya,” terangnya.
Belajar dari pengalaman pribadinya itu, dia mengimbau masyarakat untuk tidak ragu membawa kasus peretasan akun media sosial ke aparat kepolisian. Terlebih jika telah terjadi penipuan.
Kasus Irma sendiri sudah dilaporkan ke Kepolisian. Yang dialami Ilma, tak hanya soal peretasan akun Facebook, namun masuk dalam pidana penipuan. Pasalnya, peretas yang mengatasnamakan Ilma, menipu salah seorang kolega Ilma dan berhasil meminta transfer uang senilai Rp 25 juta.
“Kasus ini nyatanya terdapat di Cyber Crime Polda (Metro Jaya) sudah ribuan kasus. Bahkan korbannya sudah sampai jutaan. Bercermin dari kasus peretasan saya, kalau kita tidak melawan bersama-sama dan tiba-tiba menimpa orang terdekat kita, itu akan menjadi target pelaku berikutnya,” sebutnya.