Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta Menteri Hukum dan HAM tidak memprioritaskan pembebasan napi koruptor terkait revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Juru bicara PSI bidang hukum, Rian Ernest, mengatakan, “Kita semua sadar bahwa korupsi adalah extraordinary crime, tindakan yang luar biasa zalim terhadap rakyat. Kejahatan korupsi tidak sama dengan maling ayam atau pengguna narkoba. Jadi harus beda juga penindakannya bahkan pemenjaraannya. Konsep korupsi sebagai extraordinary crime ini bahkan tertuang dalam bagian pertimbangan dari PP 2012 yang ingin direvisi oleh Pak Menkumham”, ujar Rian.
PSI menyoroti alasan keluarnya PP yang menurut Menkum HAM karena kondisi penjara sudah penuh, dan rentan terjangkit COVID-19.
Dengan alasan kemanusiaan, Menkumham ingin terpidana korupsi dan narkoba lebih cepat dibebaskan.
Rian menegaskan, “PSI menyadari bahwa memang kondisi penjara kita sangat memprihatinkan. Dari kajian yang dibuat oleh Institute for Criminal Justice Reform pada 2018, penyebab tertinggi kematian napi dan tahanan di penjara adalah karena sakit TBC dan pernapasan. Jadi persoalan COVID-19 ini sangat relevan untuk yang di dalam penjara.”
“Yang perlu diperhatikan, narapidana mana yang sesak di dalam penjara? Apakah kasus narkoba yang masih bisa direhab atau kasus korupsi? Yang ruangannya saking sesaknya sampai harus tidur bergiliran bahkan sampai membuat tempat tidur gantung darurat ke jeruji jendela penjara? Inilah aspek kemanusiaan yang memang jadi perhatian kita,” lanjut Rian.
“PSI mengusulkan kepada Pak Menhkumham juga agar pengelola LP menyiapkan tenaga medis untuk melakukan pemeriksaan rutin kepada tahanan dan narapidana, terutama yang berusia lanjut agar bisa lebih cepat mendeteksi suspect COVID-19.”