Pandangan Umum Fraksi PSI atas RAPBD DKI 2020

Pandangan Umum

Fraksi Partai Solidaritas Indonesia

 Terhadap

 

Rancangan Peraturan Daerah Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2020

 

Rapat Paripurna DPRD Provinsi DKI Jakarta

4 Desember 2019

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Shalom, Salam Sejahtera bagi kita semua,

Om Swastiastu,

Namo Buddhaya,

Salam Kebajikan,

 

Yang terhormat,

  • Ketua dan Para Wakil Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta;
  • Gubernur Provinsi DKI Jakarta beserta jajarannya;
  • Para anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta;
  • Hadirin sekalian yang kami hormati.

 

Salam Solidaritas!

Pada kesempatan hari ini, ijinkan kami, anak-anak muda, pada hari ini, menyatakan pandangan kami secara umum terhadap RAPBD 2020.

Kami menyadari bahwa pandangan kami hari ini mungkin bukanlah pandangan sempurna yang bisa diterima oleh semua orang.

Pandangan kami hari ini mungkin juga bukanlah pandangan yang lazim dinyatakan dalam rapat-rapat paripurna di DPRD.

Namun, suara muda kami kiranya bisa turut menghiasi bingkai demokrasi untuk kemajuan Republik Indonesia ini.

Pimpinan rapat dan hadirin sekalian yang kami hormati.

Agar kiranya Bapak/Ibu maklum, oleh karena pandangan umum yang kami sampaikan hari ini dibuat dengan segala keterbatasan informasi, data serta waktu, mengingat  bahwa RAPBD 2020 baru saja diunggah oleh Pemprov DKI Jakarta H-1 sebelum Rapat Paripurna hari ini dilaksanakan.

Menurut  Pasal 3 PP No. 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Proses Pengelolaan Keuangan Daerah yang meliputi keseluruhan kegiatan mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban sampai dengan pengawasan keuangan daerah, harus dilakukan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, manfaat untuk masyarakat serta taat kepada peraturan perundang-undangan.

Pimpinan rapat dan hadirin sekalian yang kami hormati.

Izinkan kami menguraikan beberapa asas dalam Pengelolaan Keuangan Daerah yang menurut kami penting, namun belum terwujud dalam RAPBD 2020 ini.

Pertama, Tentang Asas Transparansi

Bahwa telah disebutkan sebelumnya mengenai asas transparan pada Pasal 3 PP 12 tahun 2019. Jika kita melihat sejenak pada penjelasan resmi pasal tersebut, dinyatakan bahwa “yang dimaksud dengan “transparan” adalah prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah.”

Perlu kami garis bawahi bahwa penjelasan resmi PP tersebut merupakan tafsir resmi yang otoritatif, tafsir yang dibuat sendiri oleh pembentuk peraturan.

Di situ dikatakan bahwa prinsip transparansi atau keterbukaan itu memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi yang seluas-luasnya tentang Keuangan Daerah.

 Pimpinan rapat dan hadirin sekalian yang kami hormati.

Kami DPRD dari Fraksi PSI, yang notabene menurut UU Pemerintah Daerah merupakan Mitra yang sejajar dengan Kepala Daerah, tidak berhasil mendapatkan keterbukaan yang seluas-luasnya dalam mengakses Keuangan Daerah. Kami beri sedikit penegasan kembali di sini bahwa definisi Pengelolaan Keuangan Daerah dalam PP 12 tahun 2019 sangat luas, mencakup keseluruhan proses dari perencanaan, penganggaran, hingga pertanggungjawaban dan pengawasan Keuangan Daerah.

Dengan demikian, prinsip keterbukaan transparansi ini harus hadir di setiap lini proses Pengelolaan Keuangan Daerah, mulai dari awal hingga akhir.

Kami telah meminta data lengkap, bahkan bersurat secara resmi kepada pihak Pemerintah Provinsi DKI, kurang lebih 4 (empat) kali, tapi kami masih belum mendapatkan dokumen Keuangan Daerah yang kami minta.

Terkait hal itu, agar kiranya pembahasan RAPBD di setiap komisi berjalan optimal, setiap fraksi diberikan soft file dalam format excel hingga level rincian komponen. Pasalnya, sejauh ini kami hanya menerima pada level kegiatan dalam format pdf. Kami harap permohonan ini bisa dipenuhi sebelum fase pembahasan di komisi di lakukan esok.

Mohon tanggapan.

Kami di sini tidak mencari panggung, apalagi pemilu masih sangatlah jauh.

Kami di sini hanya mencoba menjalankan apa yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kiranya permohonan kami tidaklah dianggap berlebihan.

 Kedua, Mengenai Prioritas Penganggaran

Pimpinan rapat dan hadirin sekalian yang kami hormati.

Tidak hanya prinsip transparansi, Pasal 23 dan Pasal 3 PP No. 12 tahun 2019 juga menegaskan bahwa dalam kebijakan pengganggaran daerah, harus diperhatikan pula prinsip keadilan dan kepatutan.

Adapun yang dimaksud dengan “keadilan” menurut tafsir atau penjelasan resminya adalah “keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya.

Kami ingin mengajak kita berpikir sejenak mengenai asas atau prinsip keadilan disini.

Apakah adil, bagi golongan masyarakat pembayar pajak yang saat ini kesulitan untuk menikmati air bersih, bahkan mohon maaf, jamban saja tidak punya, lantas mereka harus ikut menanggung beban dalam pendanaan untuk kepentingan masyarakat yang jauh lebih mampu? Misalnya, dalam hal ini masyarakat yang jauh lebih mampu tersebut adalah golongan menengah ke atas penikmat balapan mobil listrik.

Kami pikir hal ini sangatlah tidak adil, sangat jauh dari pikiran mereka untuk berani berpikir bisa menikmati hiburan balapan mobil listrik. Bagi mereka, bisa mandi dengan air bersih saja sudah sangat bersyukur, karena infrastruktur air bersih yang masih belum menjangkau mereka.

Namun, pajak yang mereka bayarkan dengan keringat dan air mata, justru dinikmati oleh masyarakat kalangan menengah ke atas, sekedar untuk memuaskan keinginan menonton balapan mobil listrik.

Apakah Pak Gubernur kiranya tahu, bahwa ada warga di Jakarta Utara yang untuk mendapatkan 1 meter kubik air saja harus membeli dengan sampai dengan harga Rp 150ribu? Mereka membeli dari tukang airkeliling karena belum ada akses air bersih disana.

Apakah Pak Gubernur tahu, bahwa masih ada warga Jakarta yang boro-boro berharap bisa menonton festival balapan mobil, untuk buang air besar saja mereka harus balapan karena jamban masih jadi rebutan.

Masalah keseimbangan distribusi anggaran ini merupakan masalah keberpihakan yang serius.

Apakah Pak Gubernur tahu, ada berapa sekolah yang saat ini perlu direhabilitasi?

Dalam proses pembahasan selama ini, kami mencermati bahwa nilai anggaran Rehab Total gedung sekolah terkena pemotongan atau efisiensi dari sekitar Rp 2,6 triliun menjadi Rp 1,4 triliun. Sementara itu, anggaran untuk event-event mencapai kira-kira Rp 1,5 triliun.

Anggaran rehab total gedung sekolah pada tahun 2020 jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tahun 2017 senilai Rp 1,57 triliun, 2018 sebesar Rp 1,83 triliun, dan 2019 sebesar Rp 1,78 triliun.

Berbicara prioritas, masih selain rehab total Gedung sekolah, ada juga Rehab Gelanggang Olahraga yang dirasa penting untuk sarana pemberdayaan pemuda dan peningkatan kesehatan pemuda pemudi kita.

Disamping itu, LRT sebagai salah satu solusi kemacetan pun, memiliki anggaran yang lebih sedikit dibandingkan dengan anggaran Balapan mewah ini.

Fraksi PSI bukan anti balapan, kami terus bekerja membalap ketertinggalan dalam perlombaan transparansi.

Kami hanya menyayangkan, nilai anggaran untuk penyediaan air bersih, sanitasi, rehab gedung sekolah, GOR, justru dikalahkan oleh event balap mobil listrik mewah seperti iniwai. Mohon tanggapan.

  

Pimpinan rapat dan hadirin sekalian yang kami hormati.

Perlu diingat bahwa, Pasal 3 PP No. 12 tahun 2019 menyatakan pengelolaan keuangan daerah harus memperhatikan manfaat untuk masyarakat.

Namun pertanyaannya, masyarakat yang mana?

Apakah  RAPBD 2020 dibuat untuk berpihak hanya pada masyarakat yang mampu menonton balapan mobil listrik semata dengan mengorbankan kepentingan umum yang lebih luas? Yang mana, pendanaan balapan tersebut menggunakan pajak dari masyarakat. Sementara, untuk jamban saja mereka tidak punya, untuk akses air bersih saja masih sulit, untuk bisa bersekolah dengan gedung sekolah yang layak saja belum terpenuhi.

Fraksi PSI menilai bahwa puncak dari perencanaan anggaran yang tidak jelas prioritas, tidak cermat, dan tidak efisien itu terjadi pada event Formula E.

  1. Pertama, tidak jelas bagaimana event Formula E tiba-tiba menjadi program prioritas Gubernur.
    1. Event Formula E tidak terdapat dalam Perda RPJMD maupun Pergub Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Strategis Daerah (KSD).
    2. Bahkan, nilai PMD untuk Formula E lebih besar dibandingkan dengan PMD untuk pembangunan LRT. Padahal LRT merupakan Program Strategis Nasional (PSN). Mohon tanggapan.
  2. Kedua, perencanaan anggaran PMD untuk event Formula E tidak cermat karena:
    1. Commitment fee dibayarkan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga, namun seluruh pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh pihak lain, yaitu PT JakPro. Apa yang menjadi “alas hak atau dasar perikatan kontraktual” pembayaran commitment fee oleh Dinas Pemuda dan Olahraga?
      Mohon tanggapan.
  3. Ketiga, penganggaran PMD untuk event Formula E tidak efisien karena kegiatan ini justru menggerus modal yang disetorkan kepada JakPro. Dari proposal yang diberikan oleh JakPro, kegiatan Formula E akan mengalami kerugian finansial sebesar Rp 296 miliar pada tahun pertama. PT JakPro menghitung total kerugian finansial selama 5 tahun sebesar Rp 696 miliar. Mohon tanggapan.
  4. Keempat, tidak ada riset dan bukti empiris yang bisa dipertanggung jawabkan yang membuktikan adanya korelasi kuat antara event Formula E dengan meningkatnya penggunaan mobil listrik.
    1. Norwegia misalnya, tidak pernah menyelenggarakan Formula E, tapi menjadi negara dengan pengguna kendaraan listrik terbanyak dengan angka 56 mobil per 1.000 penduduk.
    2. Cara Norwegia untuk mendorong penggunaan mobil listrik adalah dengan membangun infrastruktur pengisian daya secara masif dan memberikan berbagai insentif.
    3. Total anggaran untuk event Formula E sebesar kurang lebih Rp 1,2 triliun. Uang sebesar itu bisa dipakai untuk membangun stasiun pengisian daya fast charging sebanyak kurang lebih 1.850 unit berkapasitas 50 kilowatt atau 915 unit berkapasitas 150 kilowatt.

     5. Kelima, tidak ada riset dan bukti empiris yang bisa dipertanggung jawabkan bahwa event Formula E akan menumbuhkan ekonomi lokal.

  1. Kota Montreal, Kanada, menyelenggarakan Formula E pada tahun 2017 menggunakan anggaran pemerintah. Namun pedagang dan Pemerintah Kota mengalami kerugian yang tidak sedikit.
  2. Hasil survey dari media Forbes juga menunjukkan 70% pedagang justru mengalami kerugian dan hanya 1,4% yang menyatakan untung.

Mohon tanggapan.

Mengenai Multiyears Formula E

Berdasarkan yang kami ketahui dari data-data yang sangat terbatas, Formula E adalah kegiatan multiyears, yang harus ada kewajiban pembayaran setiap tahun menggunakan APBD selama 5 tahun ke depan.

Kami ingin memeriksa kebenaran terkait multiyears  Formula E ini, tapi ternyata sulit. Pasalnya, sampai saat ini kami belum menerima perjanjian atau MoU dengan pihak ketiga.

Padahal asas transparansi ini berlaku untuk setiap proses pengelolaan keuangan daerah, dari awal sampai akhir.

Namun demikian, perlu dicermati bahwa jabatan Pak Gubernur hanya bersisa sampai 2022. Jika Formula E membebani APBD sampai 5 tahun ke depan di luar masa jabatan, apakah ini adil bagi dan patut?

Mohon tanggapan.

Pimpinan rapat dan hadirin sekalian yang kami hormati.

Mengenai Penyertaan Modal Daerah sebesar Rp 60 miliar untuk revitalisasi Bundaran Hotel Indonesia, sampai saat ini kami tidak tahu apa urgensi mementingkan estetika dibandingkan dengan pelayanan dasar yang sampai saat ini belum maksimal.

Bayangkan, dengan dana yang demikian besar, bisa dianggarkan untuk hal lain yang jauh lebih urgent dan bermanfaat bagi masyarakat.

Bisa ribuan jamban dibuat dengan dana Rp 60 milyar tersebut.

Bisa jutaan liter air bersih disalurkan kepada masyarakat dengan dana Rp 60 milyar tersebut.

Menurut kami, hal ini melanggar asas kepatutan sebagaimana diatur di Pasal 3 PP No. 12 tahun 2019 yang mensyaratkan pengganggaran dilakukan dengan wajar dan proporsional.

Mohon tanggapan.

Mengenai revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM), Fraksi PSI pada dasarnya mendukung revitalisasi TIM, namun dengan syarat berbagai catatan. Kegiatan ini adalah salah satu bentuk keterlibatan pemerintah untuk memajukan kebudayaan dan kesenian. Namun demikian, pelaksanaan kegiatan ini harus dilakukan dengan cermat untuk menjawab kebutuhan perkembangan jaman tanpa menghapuskan ‘marwah’ berkesenian para pelaku seni.

Setelah dilakukan revitalisasi, Fraksi PSI menilai bahwa pendanaan pengelolaan TIM seharusnya dilakukan tanpa membebani APBD, yaitu melalui profit sharing program-program kesenian dan pengelolaan TIM.

Mohon tanggapan.

Terkait belanja hibah, anggaran saat ini mencapai Rp 2,5 triliun dan selalu mengalami kenaikan beberapa tahun belakang. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan yang tertera di dalam Perda RPJMD sebesar Rp 2 triliun.

Fraksi PSI menilai, ada baiknya Pemprov DKI meninjau ulang nilai belanja hibah agar lebih efisien, dan kemudian alokasi anggaran diprioritaskan untuk Lembaga-lembaga yang benar benar menunjang fungsi pemerintahan sesuai aturan dan perundangan yang berlaku atau  belanja langsung yang lebih berdampak bagi rakyat. Mohon tanggapan.

Ketiga, Perihal Anggaran Yang Klasifikasinya Campur Aduk dan Parameternya Tidak Terukur.

Pasal 1 ayat 32 PP No 12 tahun 2019 menyatakan bahwa program atau kegiatan yang akan dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran harus dengan parameter kuantitas dan kualitas yang terukur.

Di satu sisi kami melihat bahwa, sebagai contoh, Dinas Bina Marga menganggarkan kurang lebih Rp 130 miliar untuk Jembatan Penyeberangan Orang (JPO).

Tapi tidak ada ukuran kuantitas yang jelas karena tidak ada keterangan mengenai jumlah lokasi yang akan dibangun. Hanya tertulis jumlah keluaran atau output sebanyak 1 paket.

Jika deskripsi output kegiatan tidak jelas seperti itu, bagaimana kami bisa memberikan pendapat, terlebih menyetujui RAPBD yang diajukan?

Mohon tanggapan.

Terkait pengadaan tanaman hias di Dinas Kehutanan, Fraksi PSI menilai bahwa kegiatan ini tidak perlu dilakukan karena sudah sudah ada Unit Pengelola Pengembangan Tanaman Perkotaan (UP PTP) yang bertugas melakukan pembibitan tanaman. Apalagi, Dinas Kehutanan sudah mengalokasikan anggaran untuk membeli 1,2 juta tanaman pada tahun 2018 dan 2019.

Saat rapat komisi, sudah dihapus anggaran pembelian tanaman Rp 30 miliar di UP PTP. Namun, setelah pembahasan di komisi, tiba-tiba muncul penambahan anggaran Pengadaan Tanaman Hias dengan total Rp 52,45 miliar yang diselipkan sebagai sub-kegiatan di dalam kegiatan pemeliharaan dan penataan di Dinas dan Sudin Kehutanan. Oleh sebab itu, Fraksi PSI menolak penambahan anggaran untuk pembelian tanaman. Mohon tanggapan.

Terkait anggaran Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), belum ada laporan pertanggungjawaban kegiatan yang menuliskan keluaran atau hasil yang jelas dari TGUPP.

Sehingga perlu lagi dikaji dan dievaluasi betul manfaat dari TGUPP ini, mengingat segala kegiatan pemerintahan perlu juga memenuhi asas akuntabilitas.

Oleh sebab itu, Fraksi PSI menilai tanpa akuntabilitas yang jelas, anggaran TGUPP tidak dapat dipertahankan.

Keempat, Proses Perencanaan dan Penganggaran Tidak Memenuhi  Nilai Profesionalisme.

Dalam penjelasan umum UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, mensyaratkan bahwa pemerintahan dilakukan secara profesional.

Namun, pada kenyataannya hingga bulan Oktober 2019, atau kurang lebih 5 bulan setelah rancangan final KUA PPAS dikirimkan ke DPRD periode sebelumnya, tiba-tiba Pemprov mengubah proyeksi pendapatan dari Rp 95,99 triliun menjadi Rp 89,44 triliun. Di sisi lain, anggaran belanja masih tetap Rp 95,99 triliun.

Proyeksi pendapatan bisa naik turun kurang lebih 6 Triliun membuktikan lemahnya proses Pengelolaan Keuangan Daerah, angka 6 Triliun bukanlah nilai yang sedikit.

Fraksi PSI berharap agar di masa mendatang, diskusi mengenai pendapatan daerah dilakukan di awal pembahasan anggaran, bukan di akhir seperti yang terjadi pada pembahasan KUA PPAS 2020. Logikanya, anggaran belanja harus mengikuti kemampuan pendapatan, bukan malah sebaliknya di mana seakan-akan nilai pendapatan dicocok-cocokkan dengan besarnya rencana belanja.

Oleh karena itu, Fraksi PSI meminta agar Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) dan Badan Pajak Retribusi Daerah (BPRD) memberikan kertas kerja perhitungan potensi pendapatan khususnya 13 komponen pajak secara rinci sesuai formulasi aturan yang ada. Dengan demikian, pembahasan pendapatan daerah bisa dilakukan secara ilmiah, terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Mohon tanggapan.

Kelima, Perihal Proses Perencanaan Penganggaran Yang Tidak Tepat Guna

Penjelasan Pasal 3 PP No. 12 tahun 2019 menyatakan bahwa Keuangan Daerah harus dikelola secara tepat guna, dan dapat dipertanggung-jawabkan. Namun, faktanya kami masih menemukan bahwa masih banyak anggaran yang tidak tepat guna.

Sebagai contoh, anggaran pembangunan rusun tahun 2020 sebesar kurang lebih Rp 1,07 triliun, kira-kira cukup untuk membangun sekitar 3.000 unit. Di sisi lain, sepengetahuan kami ada sekitar 6.000 unit rusun yang belum digunakan.

Jika Pemprov DKI tidak memiliki rencana konkrit untuk menggunakan rusun-rusun yang telah dibangun, maka tidak ada alasan untuk membangun rusun secara besar-besaran lagi dalam waktu dekat. Hal ini juga berlaku terhadap rencana pembelian lahan yang mana harus dipastikan bahwa aset aset lahan kita yang telah dibeli sebelumnya memang sudah digunakan, jangan sampai kembali menjadi tidak tepat guna.

Mohon tanggapan.

Keenam, Perencanaan Anggaran yang Tidak Efisien, Ekonomis dan Efektif.

Pimpinan rapat dan hadirin sekalian yang kami hormati.

PP No. 12 tahun 2019 mengamanatkan agar perencanaan dan penganggaran harus dilakukan secara efisien, ekonomis, dan efektif.

Namun kenyataannya, hal tersebut belum terlihat dalam RAPBD 2020 ini, sebagaimana akan kami uraikan berikut:

Terkait penyelenggaraan event-event, Fraksi PSI menilai perencanaan anggaran tidak efisien karena menghabiskan uang sekitar 1,5 triliun hanya untuk mengadakan event, yaitu sebanyak 378 kegiatan.

Biaya ini jauh lebih besar kurang lebih 25 kali lipat dibandingkan anggaran event tahun 2017, yaitu Rp 62,5 miliar untuk 246 kegiatan. Mohon tanggapan.

Terkait gedung sekolah, Fraksi PSI menilai perencanaan anggaran tidak efisien karena biaya rehab total gedung sekolah per lokasi membengkak kurang lebih 87%.

Di dalam rancangan KUA PPAS, anggaran rehab total gedung sekolah sebesar Rp 2,57 triliun untuk 191 lokasi. Rata-rata biaya per lokasi Rp 13,5 miliar.

Pada saat pembahasan, ada koreksi menjadi Rp 2,11 triliun untuk 86 lokasi, yang kemudian dikoreksi lagi menjadi Rp 1,4 triliun untuk 56 lokasi. Rata-rata biaya per lokasi naik hampir 2 kali lipat menjadi Rp 25,1 miliar.

Terhadap hal ini, Fraksi PSI menilai ada 2 kemungkinan. Pertama, Pemprov melakukan kesalahan perhitungan biaya, atau, kedua, Pemprov salah memberikan data jumlah lokasi rehab Gedung sekolah. Mohon tanggapan.

Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati,

Menjaga uang rakyat adalah tugas yang tidak mudah.

Sering kali kita merasa, kita harus kejar pendapatan dari pajak masyarakat, bahkan mungkin pajak sebesar 10 rupiah pun pajak akan dikejar dari masyarakat.

Oleh karena itu, setiap sen, setiap rupiah yang kita keluarkan itu harus dilakukan dengan sangat berhati-hati.

Setiap rupiah yang dianggarkan mungkin disatu sisi oleh kalangan tertentu hanya dianggap untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan, tontonan kemewahan event-event berkelas, tapi jangan lupa, setiap rupiah yang diambil untuk membiayai itu bisa lahir dari air mata, keringat bahkan nyawa.

Hadirin sekalian yang saya hormati,

Dengan ini saya mengajak kita semua, unsur Pemerintahan Daerah untuk kembali merenung, mengintropeksi diri, kembali mengabdi untuk kepentingan rakyat.

Mari kita kawal uang rakyat!

Pimpinan rapat dan hadirin sekalian yang kami hormati.

Demikian, Fraksi PSI dengan segala kerendahan hati menyampaikan pandangan umum kami, yang tentunya tidak bisa mewakili seluruh pandangan kami secara rinci terlebih lagi sempurna hal ini karena keterbatasan waktu dan data, dan juga keterbatasan kami sebagai manusia.

 

Jakarta, 4 Desember 2019
Fraksi Partai Solidaritas Indonesia

 

Recommended Posts