Menghentikan Amplop Coklat di DPR

Oleh Grace Natalie

Kompas edisi 11 Oktober 2018 menurunkan laporan menarik mengenai para anggota DPR yang disebut sebagai para ”pengumpul amplop coklat”.

Yang dimaksudkan dengan istilah itu adalah para anggota DPR yang rajin mengumpulkan uang kunjungan kerja, reses, perjalanan dinas, sosialisasi empat pilar MPR, dan tunjangan kedewanan untuk menambah pemasukan mereka. Diperkirakan, melalui penghematan dari berbagai dana itu, seorang anggota DPR bisa memperoleh tambahan pemasukan Rp 2 miliar per tahun.

Di satu sisi, perilaku semacam ini tampak normal saja. Mereka yang membela praktik semacam ini akan berargumen: tambahan pemasukan miliaran rupiah ini adalah wajar karena itu adalah buah dari pola kerja hemat yang dijalankan sang anggota DPR.

Manipulasi biaya

Namun, pembaca perlu memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Pertama-tama, praktik ini tidak hanya dilakukan menjelang kampanye pemilu. Praktik ini dilakukan di sepanjang masa kerja si anggota parlemen. Bisa dikatakan, tumpukan amplop coklat itu adalah salah satu sumber utama penghasilan anggota DPR yang jauh melampaui gaji pokok plus tunjangannya.

Kedua, yang terjadi bukanlah penghematan pengeluaran, melainkan pemerolehan dana yang bukan haknya. Barangkali tidak dapat dikatakan ”mencuri”. Namun, dalam banyak kasus, anggota DPR memperoleh dana atas apa yang sebenarnya tidak dia lakukan dan seharusnya dipertanggungjawabkan kepada publik.

Apa yang terjadi sangat sederhana. Jika seorang anggota parlemen melakukan kunjungan kerja atau perjalanan dinas, baik ke dalam maupun ke luar negeri, dia akan dibekali biaya perjalanan yang mencakup biaya transportasi, biaya akomodasi, dan biaya harian. Masalahnya, biaya perjalanan yang diperoleh di awal itu (dalam bentuk lumsum) hampir-hampir tidak perlu dipertanggungjawabkan.

Itu terjadi karena sistem pembiayaan di DPR merujuk pada PP No 61/1990 tentang Perjalanan Dinas Pimpinan dan Anggota DPR, yang menyatakan bahwa dalam pertangungjawaban perjalanan, anggota DPR hanya perlu melampirkan  surat perintah perjalanan dinas atas nama bersangkutan serta kuitansi/tanda bukti penerimaan biaya perjalanan dinas atas nama yang bersangkutan.

Implikasinya bisa sangat serius. Anggota DPR bisa saja hanya melakukan kunjungan kerja dua hari, tetapi memperoleh biaya perjalanan lima hari; atau membeli tiket ekonomi dengan harga diskon, tetapi dibiayai dengan tiket bisnis; atau menginap di rumah kerabat, tetapi tetap memperoleh biaya penginapan di hotel bintang lima.

Dalam perjalanan ke luar negeri, wakil rakyat kita bisa saja menggunakan tiket ekonomi, tetapi dibiayai dengan harga tiket eksekutif. Dalam kasus perjalanan ke Washington, selisih tiket perjalanan pergi pulang mencapai 11.220 dollar AS (Rp 157 juta).

Saya tak ingin mengatakan semua anggota DPR manipulatif. Namun, yang pasti, sistem pertanggungjawaban itu memberi peluang sangat besar bagi terjadinya praktik curang semacam itu.

Jawaban terhadap persoalan itu sebenarnya sederhana. Menteri Keuangan sebenarnya sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113 (PMK 113/2012) tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap. Dalam PMK itu ditetapkan, pertanggungjawaban biaya perjalanan harus berdasarkan biaya riil dan harus disertai tiket pesawat, boarding pass, airport tax, bukti pembayaran moda transportasi lainnya, daftar pengeluaran riil, bukti sewa kendaraan, bukti pembayaran hotel, dan lainnya. Ditetapkan pula bahwa jika ada kelebihan, biaya perjalanan harus dikembalikan ke kas negara.

Masalahnya, DPR menolak menerapkan PMK No 113/2012 dan tetap menggunakan PP No 61/1990. Dengan sistem pertanggungjawaban semacam ini, bisa dipahami kalau Badan Pemeriksa Keuangan pada 2016 mengumumkan temuan bahwa kunjungan kerja fiktif anggota Dewan pada 2016 mencapai Rp 945 miliar.

Reses

Kebocoran atau pemborosan lain bisa ditemukan dalam dana reses. Tujuan ideal reses adalah menjaring dan menampung aspirasi serta melaksanakan fungsi pengawasan. Setiap anggota DPR memiliki hak reses lima kali setahun plus enam kali kunjungan kerja daerah pemilihan (dapil).

Masalahnya, tak ada mekanisme dalam DPR yang menjadikan publik bisa tahu apakah anggota DPR benar-benar menjalankan kunjungan ke dapil dan bertemu konstituen di masa reses dan kunjunga kerja dapil atau berada di tempat lain di masa reses. Pertanggungjawaban diserahkan kepada fraksi masing-masing.

Dana reses diberikan secara ”gelondongan” dalam jumlah sangat besar. Besarannya naik terus dari tahun ke tahun. Pada 2012, setiap anggota DPR menerima jatah anggaran reses Rp 963 juta per tahun, dan tahun-tahun berikutnya naik signifikan: Rp 1,2 miliar (2013); Rp 1,77 miliar (2014); Rp 2,21 miliar (2015).

Jawaban terhadap persoalan ini juga sederhana. Yang diperlukan hanyalah kewajiban bagi setiap anggota DPR melaporkan perjalanan dan anggaran reses kepada publik. Dengan begitu, publik bisa tahu kapan anggota DPR melakukan kunjungan, berapa lama, apa yang dia lakukan dari hari ke hari. Itu sama sekali tidak sulit untuk dilakukan.

Harus dihentikan

Dalam pandangan saya, praktik pengerukan keuntungan semacam ini tak boleh lagi diteruskan. PP No 61/90 harus direvisi dan pola pertanggungjawaban dana reses harus diubah. Penghasilan seorang anggota DPR yang diperoleh dari gaji pokok dan berbagai tunjangannya sudah relatif besar, sekitar Rp 51 juta per bulan.

Ini pun masih ditambah gaji ke-13, asuransi kesehatan, honor asisten, fasilitas kredit mobil, dan anggaran pemeliharaan rumah. Bahkan, kalau mereka sudah berhenti menjadi anggota DPR, mereka masih memperoleh pensiun seumur hidup.

Kalau tak diubah, pemborosan uang negara akan terus terjadi dan para anggota DPR akan terdorong untuk memperbanyak perjalanan dan kunjungan kerja untuk keuntungan pribadi. Akibatnya, para anggota DPR berpotensi mengabaikan kewajibannya melahirkan undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, dan merancang anggaran.

Kerugian negara tak main-main. Kalau temuan BPK benar, kerugian dari kunjungan kerja saja mencapai hampir Rp 1 triliun per tahun. Belum yang lain-lain.

Saya ingat, di era Orde Baru, anggota DPR memiliki prinsip 5-D: datang, duduk, dengar, diam, dan duit. Kini duit tidak akan datang kalau hanya diam. Sekarang duit akan datang kalau anggota parlemen mengada-ada melakukan perjalanan.

 

**Terbit pertama kali di KOMPAS, 22 Oktober 2018

Recommended Posts