Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggugat UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Adapun pasal yang digugat berkenaan dengan kampanye partai politik dalam Pemilu 2017, termasuk iklan di media massa.
Gugatan disampaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (8/6) lalu. Salah satu yang digugat PSI adalah Pasal 1 ayat 35 yang berbunyi: Kampanye Pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.
“PSI menguji Pasal 1 angka 35, khususnya pada frasa ‘citra diri’. Citra diri adalah sebuah frasa subjektif dan bersifat ‘karet’ yang membelenggu partai politik dalam melakukan fungsi sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat,” kata juru bicara PSI bidang Hukum, Rian Ernest, kepada wartawan, Selasa (12/6/2018).
Pasal ini digugat PSI menyusul permasalahannya dengan Bawaslu terkait dugaan pelanggaran iklan. Namun akhirnya, Bareskrim menutup kasus tersebut karena menganggap laporan Bawaslu tak terbukti.
“Demi kepastian hukum agar perkara serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari pada parpol mana pun, PSI menempuh cara konstitusional dengan mengajukan uji materi pasal tersebut ke MK,” ucap Rian.
Rian juga menggugat Pasal 275 ayat 2 serta Pasal 276 ayat 2 di UU Pemilu. Inti pasal tersebut juga masih sama, yakni soal larangan partai politik beriklan di media massa. PSI memprotes karena iklan yang bisa difasilitasi KPU hanya dilakukan selama 21 hari sebelum masa tenang.
“Dua aturan ini telah memasung hak PSI, juga partai politik lain, untuk menyampaikan gagasan perlawanan terhadap korupsi dan intoleransi secara masif ke masyarakat,” sebut dia.
“Waktu bagi rakyat untuk terpapar informasi tentang PSI menjadi sangat sempit. Padahal sebagai partai politik baru, PSI tidak berangkat dari titik mulai yang sama dengan partai yang sudah berdiri puluhan tahun,” imbuh Rian.
PSI merasa dirugikan oleh aturan tersebut. Rian menyebut aturan tersebut berpotensi hanya menguntungkan partai lama dan merugikan partai baru.
“Apabila memang pembuat UU takut ada TV tertentu yang pemiliknya dekat dengan partai tertentu kemudian memonopoli iklan untuk kepentingan partai mereka saja, ini kan masalah akses saja. Lebih baik dipastikan harga beriklan transparan dan tidak diskriminatif, sehingga seluruh partai punya kesetaraan akses. UU Pemilu ini sudah offside dengan memblokade partai dari beriklan,” urai dia.
“Pasal ini tentu juga merugikan media massa cetak, online, stasiun TV, advertising agency, dan para pekerja kreatif yang terlibat dalam proses produksi iklan, dari peluang peruntungan lima tahun sekali pesta demokrasi. Saya yakin ada banyak tenaga kerja iklan dan media yang tertutup pintu rezekinya akibat aturan ini,” sambung Rian.
(elz/rvk)