Editorial Koran Solidaritas Edisi II, Agustus 2015
Salam Solidaritas!
70 tahun kemerdekaan Indonesia tampaknya akan terlalu membosankan jika hanya dimaknai simbolik. Dirayakan dengan meramaikan bendera di lorong-lorong, di jalan-jalan, pada kendaraan bermotor dan di tiang-tiang bendera. Itu adalah bentuk ritual yang kering dan mono. Jauh dari lukisan kemerdekaan yang digambarkan dinamis sebagai gelombang hamparan samudera, nyiur melambai dan kekayaan warna adat budaya bangsa nusantara. Itu juga sebabnya angka membolos upacara bendera semakin hari semakin meningkat.
Koran Solidaritas edisi kedua mencoba melacak, kemana sebenarnya ruh Indonesia Merdeka itu pergi? Apakah dia bertengger dipucuk pohon pinang? sehingga setiap 17 Agustus, kita harus memanjat batangnya untuk sekedar mengatakan “hai aku pemenang tahun ini, Merdeka!”. Atau jangan-jangan kemerdekaan itu, justeru terselip di dalam berbagai narasi yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan teori politik, sosiologi dan hukum tata negara warisan kolonial.
Semestinya Indonesia Merdeka (sebagai teori dan penemuan baru manusia) banyak ditemukan dalam literasi karya akademisi universitas. Bukankah setiap tahun ribuan intelektual telah dikukuhkan gelar akademiknya. Artinya ribuan jawaban atas masalah harusnya sudah terjawab. Alih-alih memberikan solusi, malah semakin menebalkan keyakinan bahwa bangsa kita memang bernasib sial. Mungkin itu sebabnya dalam setiap sidang senat terbuka universitas, mereka menyanyikan lagu De Brevitate Vitae atau Gaudeamus Igitur. Karena hidup yang singkat (dan sial) maka mari merayakannya sekarang.
Celakanya kesialan (kemunduran) pelan-pelan menjadi kewajaran, sama wajarnya dengan kegagalan memanjat pohon pinang yang licin karena dilumuri gemuk pelumas. Tergelincir adalah kewajaran dan karenanya kesialan itu adalah kutukan. Bisa kita bayangkan jika kutukan saja sudah kita anggap wajar. Tentu tidak ada kesialan lain lagi yang lebih menakutkan di dunia ini. Itu menjelaskan mengapa kita lalu permisif terhadap korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan intoleransi. Filsafat dasarnya, menjadi sangat sarat oleh arogansi eksistensial “Aku berpikir maka aku ada”.
Setelah mencari dimana makna 70 tahun kemerdekaan Indonesia harus ditempatkan, setelah mencoba keluar dari seluruh rasionalitas yang simetris, juga setelah keluar dari arogansi eksitensial “aku berpikir maka aku ada.” Redaksi menemukan bahwa Kemerdekaan Indonesia tidak bisa ditemukan dalam nalar rasional yang dituntun ketat oleh metodologi dialektika Hegelian. Indonesia juga bukanlah hasil dari kesimpulan sugestif yang memberikan warganya kekuatan hipnotik, paranoia atau trance. Kemerdekaan Indonesia adalah sebuah narasi romantik perdebatan sidang BPUPK Juni 1945. Dari kesepahaman para pemimpin kelompok Islam dan kelompok Kebangsaan. Dari the founding fathers Republik yang nalar berpikirnya adalah nalar nusantara, nalar maritim, estetika chaotik, sinkretis dan romantik. Yang dilahirkan menjadi sebuah pernyataan politik: Pancasila, Gotong Royong, Bhineka Tunggal Ika, Proklamasi dan berbagai hasil permufakatan yang khidmat.
Indonesia akan gagal kita temui ketika kita takut akan perbedaan dan kontradiksi warna, takut pada fenomena chaos. Makna kemerdekaan akan sulit kita jumpai ketika kita paranoid pada keragaman. Kontradiksi dalam kacamata Indonesia adalah kontradiksi yang saling menguatkan satu dengan yang lain. Filsafat dasarnya “kamu ada maka aku ada”. Karena itu maka “intoleransi” adalah ancaman bagi kemerdekaan. Sebagaimana sebuah sistem alam bekerja, sensitifitas atas gangguan yang kecil akan menghasilkan kerusakan sistem yang fatal. Karena intoleransi adalah sebuah “error” dalam sistem yang bernama Indonesia Merdeka, maka selayaknya dihapuskan dari kamus kehidupan kebangsaan Indonesia.