Rubrik Opini – Koran Solidaritas Edisi II, Agustus 2015
Oleh: Christianto Wibisono (Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia/PDBI)
Pada peringatan 70 tahun kemerdekaan RI, kita dipimpin oleh Presiden ke-7 dan Wakil Presiden ke-12. Riwayat masa jabatan kelima Presiden sebelumnya, selalu lengser melalui “kudeta terselubung.” Kudeta itu dikemas menjadi “konstitusional“ oleh elite piawai yang menerapkan multi interpretasi subyektif sesuai selera dan syahwat kekuasaan. Dua Wakil Presiden sempat naik menggantikan Presiden secara “darurat” (jatuh sebelum menyelesaikan masa jabatan). Namun Presiden pengganti tersebut tidak terpilih lagi pada Pemilu berikutnya.
Jadi kata kunci untuk politik adalah “harus survive” baru mempunyai nilai. Jika anda gembar- gembor tapi ternyata dilengserkan, maka tidak ada gunanya segala pidato dan rencana muluk yang anda janjikan. Presiden keenam lolos dan lulus untuk dua masa jabatan, meski menghadapi resiko dihujat dan dicemooh sebagai “pengecut” karena tidak berani melawan arus seperti Gus Dur, Presiden ketiga yang digusur oleh kolusi semu Poros Tengah. MPR Yang mengangkat Gus Dur pada Oktober 1999, ternyata juga yang menggulingkan Gus Dur di tahun 2001. Mengulangi sejarah MPRS, dimana A.H Nasution yang diangkat oleh Bung Karno, juga menjilat Bung Karno dengan mengajukan mosi Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup di tahun 1963, lalu juga memecat Bung Karno pada 1967.
Elite kita sangat kental dengan DNA genetika politik Ken Arok, suksesi melalui kudeta terhadap pendahulu, justru oleh orang kedua yang diangkat dan diorbitkan oleh seniornya. Ini bukan monopoli Indonesia, Jendral Zia ul Haq, mantan KSAD Pakistan yang diangkat oleh Presiden Zulfikar Ali Bhutto adalah juga yang mengeksekusi gantung Presiden Ali Bhutton. Zia ul Haq lalu tewas karena pesawatnya jatuh. Sayang sekali putri Ali Bhutto, Benazir juga mengalami nasib naas ditembak oleh rezim militer Jendral Musharaf. Kudeta militer bukan monopoli dwigungsi ABRI sebab terjadi diseluruh dunia, bahkan sampai di Eropa diktatur ex-militer seperti Salazar dan Franco, masih memimpin Portugal dan Spanyol sampai pasca Perang Dunia II. Yunani juga pernah dikuasai junta militer meskipun Negara itu dianggap “embahnya demokrasi dunia”.
Baru saja dunia maya dihebohkan oleh “fatwa” yang seolah datang dari Paus Fransiskus. Fatwa itu nadanya mengendorse para “atheis” dan sekuler, belakangan fatwa itu dibantah sebagai hoax. Tapi seandainya benar pun, fatwa Paus itu relevan dalam rangka menghadapi kemunafikan sebagai dosa terbesar umat manusia, termasuk nation state dan elit Indonesia. Semua presiden sama dengan manusia biasa, tentu akan mengalami hukum karma, tidak bisa terlepas dari hukum sebab akibat. Menabur angin menuai badai, aksi melahirkan reaksi. Joyoboyo menekankan meski pun dunia sekitar seolah sudah “edan semua,” masih lebih beruntung mereka yang ingat, tidak lupa daratan dan waspada terhadap dosa kejahatan yang mengidapi mayoritas masyarakat.
Pada akhirnya hukum karma, yang salah dihukum dan yang saleh diberkati. Memang kadang kadang bisa terjadi, Nelson Mandela contohnya. Mandela ditahan 27 tahun oleh rejim apartheid, akhirnya menjadi presiden yang memprakarsai Rekonsiliasi Nasional Afrika Selatan. Rekonsiliasi Afrika yang menjadi model dan kiblat dunia. Sayangnya untuk meniru Nelson Mandela dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat, belum ada yang berani. Sejak Proklamasi 1945 sampai pemberontakan dan penjarahan Mei 1998, Indonesia justru masih ketinggalan dan ragu ragu menghukum dan berdamai dengan dirinya sendiri. Tapi Tuhan yang menghukum semua orang tanpa kecuali, apakah itu Proklamator atau “Penyelamat/Pengemban Supersemar” semuanya dihukum secara “cash and carry”.
Pada 18 Maret 1966, Presiden kedua Soeharto menahan 15 Menteri Kabinet Dwikora, (dijuluki kabinet 100 Menteri). Setelah itu Soeharto menjadi ketua Presidium Kabinet Ampera pada 25 Juli 1966. Setelah 32 tahun kekuasaannya, 15 Menteri dari Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri bagaikan Brutus yang menikam “kaisar Soeharto” lalu lengserlah Soeharto pada 21 Mei 1998. Soeharto menahan 15 menteri Bung Karno 1966, lalu 32 tahun kemudian Soeharto digulingkan oleh 15 menterinya yang ikut arus demo mahasiswa.
Indonesia tidak lepas dari kultur politik zero sum game, oposisi selalu berakhir dengan bui dan bedil. Bung Karno mengalami isolasi tahanan rumah di Wisma Yaso, kediaman Ratna Sari Dewi yang disita dijadikan museum Angkatan Darat. Karena di era presiden pertama banyak tahanan politik yang merupakan mantan elit nasional juga ditahan tanpa proses pengadilan. Penguasa Perang Pusat yang mengeluarkan surat penahanan adalah KSAD Letjen AH Nasution yang dimasa Orde Baru justru dikenakan karantina politik oleh Presiden Soeharto.
Kisah jatuh bangunnya elite nomor satu dan dua Indoneia bagaikan cerita silat kung fu, kisah roman perang tiga Negara Sam Kok dan epos Ramayana Mahabharata. Penuh intrik dan manipulasi politik. Syukurlah kita sudah melampaui pemilihan Presiden langsung secara damai. Juga menyaksikan suksesi kepemimpinan nasional dari Presiden keenam kepada presiden ketujuh secara aman, tertib, damai, tanpa gejolak politik seperti Mei 1998.
Agenda bangsa ini kedepan, dalam sisa waktu satu generasi menjelang usia seabad di 2045 mendatang, tentulah harus mengefektikan demokrasi secara konkrit. Delivery yang diingkari dari program dan janji kampanye yang muluk-muluk ini sudah berlangsung 70 tahun lamanya. Presiden ketujuh harus memulihkan kredibilitasnya. Sebuah bukti telah ditunjukkan dengan penggerebekan kantor Kementerian Perdagangan dan penahanan Dirjen Perdagangan Luar Negeri karena nyata menghambat prosedur arus barang di Tanjung Priok. Dengan tindakan konkrit ini diharapkan, birokrasi yang selama 70 tahun “memeras rakyat” dengan pungutan rente birokrasi, menghambat dan membebani serta melemahkan daya saing ekonomi nasional Indonesia, dapat ditaklukkan dan dijinakkan untuk melayani Indonesia Incorporated.
Pada awal kemerdekaan kurs rupiah sama setara dengan dollar Malaya (waktu itu Singapura dan Malaysia masih bersatu dalam Malaya yang baru merdeka 1957). Singapura merdeka 1959 dan keduanya merger jadi Malaysia 1963. Sekarang setelah 70 tahun merdeka dan Singapura 50 tahun, rupiah malah terpuruk sehingga perlu Rp. 10.000 untuk memperoleh 1$ Singapura. Malaysia juga merosot nilai ringgitnya sejak bercerainya kedua Negara. Sekarang Ringgit Malaysia merosot hanya 1/3 dollar Singapura.
Menyikapi ini maka kata kuncinya adalah nilai mata uang suatu Negara harus mengacu pada rumus MV=PT (teori kuantitas/persamaan transaksi). Mata kuliah dasar ekonomi 101 mahasiswa tingkat persiapan. MV tidak bisa diutak-atik hanya dengan mencetak uang dan membela kurs dengan pidato, melainkan dengan mengerahkan MV itu untuk membiayai PT produksi barang, jasa dan infrastriuktur, agar berlipat ganda dengan harga terjangkau mengikuti pertmbuhan besaran ekonomi konkrit.
Kesalahan dari 6 presiden 30 Menkeu dan 17 Gubenur Bank Indonesia selama 70 tahun ialah tidak pernah mampu mendelier sektor riil, bagaimana birokrasi memberdayakan kekuatan Indonesia Inc. dan bukan malah memeras kekuatan produktif dan melemahkan daya saing dengan layanan birokrasi yang parasitis tidak menentu. Inilah tantangan terbesar Presiden Joko Widodo menghadapi birokrasi parasit. Semoga gebrakan Tito Karnavian melumpuhkan pemburu rente birokrasi Perdagangan menyelesaikan problem inti, lemahnya daya saing Indonesia Incorporated pada start awal persaingan ASEAN dan global. Ini tentu memerlukan kiat kiat yang berkesinambungan, bukan cuma dengan satu kolom awal ini yang semoga menjadi serial pembelajaran kita semua dari sejarah bangsa lain dan kita sendiri. Agar tidak terantuk beberapa kali seperti keledai dungu. Selamat ulang tahun ke 70. Slogan kita adalah bagaimana menjadikan Indonesia sebagai Negara berkualitas keempat sedunia pada seabad Indonesia 2045 bukan sekedar kuantitas.