Partai Politik dan Lanskap Elektoral

Harian Kompas– “Akan ada kursi yang lain,” kata Simon Kerslake, anggota parlemen Inggris dari Partai Konservatif, sesaat setelah kalah dalam seleksi untuk menjadi kandidat anggota majelis rendah (House of Commons) di asosiasi konstituensi partainya. Simon pun tak bisa ikut pemilihan anggota majelis rendah.

Saat itu, Simon menghadapi kesulitan karena daerah pemilihan asalnya dihapus. Ia akhirnya melamar untuk menjadi kandidat di daerah pemilihan baru, lain menghadiri wawancara dan seleksi oleh asosiasi konstituensi yang berisi puluhan anggota Partai Konservatif di tingkat lokal. Namun, melalui pemungutan suara, mereka akhirnya memilih pelamar lain, seorang warga setempat. Optimisme Simon untuk mendapat “kursi” melalui daerah pemilihan lain akhirnya pupus. Hingga hari pemilihan, ia tak bisa mendapat “tiket” dari daerah pemilihan mana pun.

Membaca novel politik Jeffrey Archer, First Among Equals (1984), yang bertutur soal karier politik empat anggota parlemen dari dua partai berbeda, tergambar pula bagaimana seleksi kandidat anggota parlemen berlangsung. Begitu pula dengan bagaimana kandidat mengorganisasi tim kampanye dan melakukan canvassing calon pemilih dengan menggunakan basis data simpatisan partai.

Terlalu baik untuk menjadi kenyataan, menjadi refleksi pertama yang muncul saat membayangkan hal itu dalam konteks Indonesia. Kata oligarki masih kerap muncul dari pemerhati kepemiluan saat mengurus tahapan pencalonan dari partai politik. Kendati kisah Simon hanya fiksi, sebagian dari deskripsi politik elektoral dalam novel itu sedikit banyak merefleksikan tradisi politik riil. Jeffrey Archer, sang penulis novel, pernah menjadi anggota majelis rendah di usia 29 tahun pada 1974 dan Wakil Ketua Partai Konservatif (1985-1986).

Fragmen-fragmen dari novel itu terlintas saat menyaksikan seleksi bakal calon anggota DPR ala Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mulai digelar Sabtu dan Minggu (4-5/11). PSI memben tuk tim penguji. Tiap-tiap tim penguji terdiri dari dua tokoh independen dan satu pengurus PSI. Tokoh yang diundang untuk menguji kompetensi pelamar itu sosok mumpuni, semisal mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto.

Nilai kuantitatif dari presentasi dan wawancara itu akan menentukan apakah pelamar bisa masuk ke babak ketiga, yakni tantangan sosialisasi dengan mengumpulkan minimal 100 dukungan di daerah pemilihan yang mereka incar. Nantinya, nama-nama yang disetor pelamar akan diperiksa panitia seleksi PSI. Transparansi pun ditonjolkan dengan cara mengunggah proses presentasi dan wawancara ke ruang daring, melalui media sosial.

“Profesionalisme dalam memilih (kandidat) penting karena wakil rakyat mewakili jutaan warga Indonesia dan berperan penting membuat undang-undang, pengawasan, dan menjalankan fungsi anggaran,” kata Ketua Umum PSI Grace Natalie, akhir pekan lalu.

Masih terlalu dini memang untuk menyebut langkah PSI ini sebagai sebuah keberhasilan. Pertama, PSI masih menjalani penelitian administrasi di Komisi Pemilihan Umum. Ini artinya apakah PSI bisa ikut Pemilu 2019 atau tidak masih harus menunggu hasil penelitian administrasi dan verifikasi faktual yang baru akan diumumkan Februari 2018. Kedua, perlu pembuktian apakah sistem seleksi terbuka ini akan bertahan dan terus dikembangkan jika PSI bisa ikut pemilu, lalu raihan suaranya memenuhi ambang batas parlemen.

Sejarah yang akan menguji, apakah seleksi yang diterapkan PSI ini merupakan tradisi baru yang terinstitusionalisasi dalam seleksi internal partai yang transparan atau sekadar gimik untuk menarik perhatian publik atau calon pemilih. Namun, sebagian besar “juri” independen yang terlibat dalam seleksi itu menganggap apa yang dilakukan PSI sebagai contoh baik yang syukur-syukur bisa memantik partai lain untuk menerapkan sistem seleksi internal yang transparan.

Generasi milenial

Partai menghadapi tantangan yang berbeda dalam berbagai masa. Di era Orde Lama, ideologi partai begitu kuat dan partai punya basis akar rumput yang kuat. Di era Orde Baru, parpol pada skala tertentu “tercabut” dari massa pendukungnya. Partai-partai seperti “dibonsai” dan bergerak hanya menjelang pemilu. Di era reformasi, partai tak banyak yang mengakar kuat. Sebagian partai muncul dan lenyap, menjadi semacam “kendaraan” politik.

Di era pascareformasi, partai menghadapi tantangan munculnya generasi milenial yang punya karakteristik berbeda, serta penetrasi internet yang pesat lantas mengubah pola interaksi politik dan mengubah pula tata kelola pemerintahan dan politik elektoral. Survei yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, kendati persepsi generasi milenial yang berusia 17-29 tahun tidak jauh berbeda dari generasi nonmilenial yang lebih “senior”, cara mereka mengakses informasi begitu berbeda. Generasi milenial sangat terpapar internet.

Transparansi menjadi salah satu hal yang dianggap penting oleh generasi milenial dalam berbagai aspek kehidupannya. Kira Karapetian, pakar marketing digital, dalam artikelnya, “The Path to Millennial Spend Is Paved With Transparency” di Forbes.com (8/8/2017), menyebut generasi milenial loyal pada merek yang transparan. Dalam politik hal itu juga sama. Dan Schawbel, pengarang best-selling New York Times, dalam “The Complete Guide to Winning the Millennial Vote This Election” di QZ.com (7/10/2016) menuturkan cara untuk menggaet suara generasi milenial ialah dengan menjadi setransparan dan sefaktual mungkin. Hal ini karena generasi milenial selalu berupaya mencari kebenaran dan acap memeriksa beberapa sumber untuk mendapat informasi.

Kian tahun generasi milenial akan semakin berperan dalam pemilu. Parpol yang hendak menggaet suara mereka tentu harus mulai beradaptasi dengan karakteristik ini. Jika tidak, bukan tidak mungkin, dalam jangka panjang, partai-partai yang saat ini eksis bisa tergerus oleh partai baru yang bisa lebih mudah beradaptasi dengan nilai yang diyakini milenial, yakni transparansi.

Internet menjadi salah satu faktor yang mendorong milenial getol dengan transparansi. Namun, internet juga bisa membantu partai lebih transparan, efisien, dan mudah menyapa konstituen. Perlahan, partai sudah “dipaksa” lebih transparan. Misalnya, penyelenggara pemilu mengunggah data caleg pada Pemilu 2014 ke laman daring. Hal itu diikuti dengan pengunggahan data perolehan suara Pemilu 2014.

Kini, menjelang Pemilu 2019, partai “dipaksa” mengunggah data kepengurusan dan anggota mereka dalam Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Data itu bisa diakses publik. Hanya saja, data keanggotaan partai belum dipublikasikan ke masyarakat karena alasan privasi dan melindungi dari intimidasi. Padahal, dengan data itu, masyarakat bisa mengecek nama-nama yang dilaporkan partai menjadi anggotanya. Bagi partai, basis data itu bisa digunakan untuk kampanye yang lebih efektif karena strategi pemenangan disusun dengan memanfaatkan “data besar”, tentu dengan tetap memasukkan unsur sentuhan personal politik. Nah, maukah partai beradaptasi menghadapi perubahan lanskap ini? (ANTONY LEE)

Sumber Koran Harian Kompas, 7 November 2017

Recommended Posts