Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengapresiasi para anggota DPR perempuan yang terpilih pada pileg 2019. Di periode ini, KPU mencatat ada 20,5% anggota dewan perempuan yang akan duduk di Senayan. Hal ini disampaikan oleh juru bicara PSI, Dara Nasution pada Kamis (4/7).
“Pencapaian 20,5% atau setara dengan 118 kursi ini adalah kemajuan besar untuk keterwakilan perempuan di politik. Dari tahun 2008 kita sudah punya UU yang mengharuskan partai partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat, tapi angka ini tidak pernah tercapai dari ketika sampai di parlemen. Kita sudah selangkah lebih dekat menuju angka 30% keterwakilan perempuan,” tutur Dara.
Sebagaimana diketahui, pada pemilu 2014, hanya ada 17,3% aleg perempuan di Senayan (97 kursi). Sebelumnya, di pemilu 2019 angkanya lebih tinggi sedikit, yakni, 17,3% (101 kursi). Sedangkan di pemilu 2004, hanya ada 61 (11%)
kursi yang diduduki aleg perempuan .
Angka keterwakilan perempuan sebesar 30% sendiri didapat berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. “Logikanya, jika ada minimal 30% perempuan di parlemen, maka produk legislasi yang dihasilkan akan memiliki perspektif gender yang kental,” ujar Dara.
Lebih lanjut, Dara juga berharap agar para perempuan yang berhasil masuk ke parlemen benar-benar memperjuangkan kepentingan perempuan dan anak. “Ada beberapa agenda penting dan mendesak yang selama ini masih tertunda. Pertama, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sangat genting untuk melindungi korban kekerasan seksual. Tiap 2 jam, ada 3 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. RUU ini sudah mangkrak bertahun-tahun di DPR, membuat kita mempertanyakan komitmen wakil rakyat pada jutaan korban kekerasan seksual di Indonesia. Para perwakilan perempuan di DPR mesti bergerak,” kata Dara.
Agenda penting selanjutnya adalah penaikan batas usia perkawinan bagi perempuan. “Tahun lalu, DPR sudah mendapat mandat dari MK untuk menaikkan batas usia perkawinan perempuan dari yang awalnya 16 tahun. Keputusan untuk dinaikkan jadi berapa usianya, itu ada di DPR yang dikasih deadline 3 tahun. Urgensinya tinggi karena dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), ada 340.000 pernikahan anak tiap tahun. Dengan banyaknya perempuan yang masuk ke DPR, semoga keputusan ini segera diambil, jangan sampai bernasib sama dengan RUU P-KS,” ujar Dara.
Ia juga mengingatkan dampak dari pernikahan dini, seperti putus sekolah, ketidaksiapan fisik dan mental, ketidakcukupan finansial, kematian ibu dan bayi, serta kemiskinan. Dara juga mengutip laporan BPS tahun 2016 yang menyebutkan bahwa anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun (pengantin anak) memiliki tingkat pencapaian pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan yang belum menikah, khususnya setelah sekolah dasar (SD).
“Keterwakilan perempuan di parlemen jangan hanya sebatas angka, tetapi harus tercermin dalam kerja nyata,” pungkas Dara.