Vaksin Berbayar, Kesetaraan vs Keadilan?


Rencana pemerintah untuk menyediakan vaksin berbayar melalui PT. Kimia Farma menuai prokontra dan debat di publik. Pihak yang pro mempunyai pendapat bahwa vaksin berbayar adalah salah satu solusi bagi percepatan vaksin. Sementara itu pihak yang kontra menganggap vaksin berbayar adalah tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan pemerintah karena adalah kewajiban negara untuk menyediakan vaksin secara gratis.

Pro dan kontra ini tampaknya mengurungkan niat pemerintah untuk segera menjalankan rencana itu. Rencana semula yang akan dilaksanakan pada 17/07/2021 dinyatakan ditunda oleh Kimia Farma. Namun tampaknya penundaan ini hanya sementara karena Juru Bicara Menteri Kesehatan Dr. Siti Nadia Tarmizi mengatakan vaksinasi gotong royong individu ini ditunda untuk menunggu petunjuk teknis lebih lanjut agar program berjalan lebih efisien.

Sebelumnya Menteri BUMN Erick Thohir juga menjelaskan tentang kekhawatiran publik mengenai akan terganggunya vaksinasi gratis bila vaksin berbayar ini dijalankan. Erick Thohir mengatakan bahwa kekhawatiran itu tidak perlu ada karena badan usaha dan individu tidak mengunakan dosis program vaksinasi gratis yang dilakukan oleh pemerintah. Vaksin itu juga tidak berasal dari sumbangan, hibah atau kerjasama multilateral dari negara lain.

Mari kita bahas persoalan ini dengan membuka data proses vaksinasi yang sedang dijalankan oleh pemerintah. Pemerintah telah menetapkan target vaksinasi untuk 208.265.720 orang penduduk Indonesia sebagai target minimal mencapai Herd Immunity. Dari total target itu berdasarkan data dari website vaksin.kemkes.id untuk dosis I baru tercapai sebanyak 39.628.149 dosis atau sekitar 19,03 persen dari total target. Sedangkan dosis II baru mencapai 15.810.099 dosis atau sekitar 7,59 persen dari total target.

Terlihat bahwa capaian vaksinasi kita saat ini masih sangat jauh dari target pemerintah. Dengan kata lain, Herd Immunity yang kita harapkan bisa menghentikan laju pandemi masih sangat jauh. Herd Immunity hanya akan tercapai bila; pertama, minimal 70 persen penduduk sudah divaksin. Kedua, bila 70 persen penduduk Indonesia sudah pernah terinfeksi oleh virus Covid-19. Tentu kita tidak ingin opsi kedua lebih mendahului dari opsi pertama karena itu vaksinasi harus segera kita lakukan secepat mungkin mencapai target.

Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk mempercapat proses vaksinasi ini. Tidak hanya dilakukan di unit kesehatan tapi juga melibatkan kerjasama dengan pihak swasta di berbagai mall, stadion olahraga dan tempat lain. Namun, target masih belum tercapai karena berbagai kendala yang dihadapi.

Pelaksanaan vaksin berbayar ini kalau kita lihat dari perspektif percepatan vaksinasi sesungguhnya sangat masuk akal. Kita tahu masih banyak orang yang ingin mendapatkan vaksinasi namun terkendala oleh ketakutan mereka untuk vaksinasi di tempat umum yang cenderung terciptanya kerumunan massa.

Sangat banyak kalangan dari menengah keatas mengalami kondisi ini. Sehingga bila vaksinasi berbayar ini jadi diterapkan akan sangat membantu bagi penduduk yang ingin vaksin serta mau membayar dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah.

Kesetaraan vs Keadilan

Argumen kuat dari penolak vaksin berbayar ini adalah bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan vaksinasi gratis. Vaksinasi berbayar hanyalah sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap orang berduit sehingga semakin memperkuat kesenjangan ekonomi yang ada.

Saya melihat sebaliknya bahwa rencana vaksin gotong royong individu ini sebagai bagian dari keadilan (equity) yang sesungguhnya. Kadang kita salah membedakan antara kesetaraan (equality) dengan keadilan (equity). Kesetaraan adalan memberikan sesuatu yang sama banyaknya kepada masyarakat sedangkan keadilan adalah membagikan sesuai dengan kebutuhan si penerima.

Keadilan (equity) ini sesungguhnya sudah banyak diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam sistem BPJS misalnya terdapat kelas-kelas yang berbeda sesuai dengan kemampuan masing-masing warga negara. Juga ada kelas tersendiri bagi masyarakat kurang mampu yang semua biaya ditanggung oleh negara.

Dalam harga BBM keadilan (equity) ini juga sudah lama terjadi. Masyarakat miskin atau kebutuhan transportasi massa disediakan BBM subsidi seperti premium dan biosolar. Sedangkan bagi masyarakat yang berkemampuan disediakan BBM non subsidi yang tentu saja lebih mahal harganya.

Jadi secara nilai keadilan, rencana vaksin berbayar ini tidaklah mengkhianati kepentingan rakyat secara keseluruhan. Vaksin berbayar hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang mau dan mampu membayar sedangkan vaksin gratis tetap tersedia bagi masyarakat yang mau menunggu untuk mendapatkannya.

Vaksin berbayar ini menurut saya adalah salah satu pilihan bagi kita untuk mengejar capaian target vaksinasi demi terciptanya Herd Immunity. Saya memahami dasar pemikiran saudara kita yang menolak vaksin berbayar karena secara tataran ideal vaksinasi ini seharusnya memang diberikan secara gratis kepada seluruh penduduk Indonesia. Namun, dalam kondisi sulit ini tidak selamanya kita mampu mewujudkan idealisme. Terkadang kita harus berdamai dengan realitas yang mengharuskan percepatan vaksinasi dengan segala cara dan kemampuan yang ada.

Yang perlu kita tekankan kepada pemerintah adalah bila memang mau mengadakan vaksin berbayar bagi individu jangan sampai terjadi kebocoran dosis vaksin gratis untuk kemudian dijual pada vaksin berbayar.

Jangan sampai ada kasus korupsi yang terjadi dalam proses vaksin berbayar ini sebagaimana yang pernah terjadi dalam program bantuan sosial. Jangan pula sampai terulang kasus rapid test bekas yang pernah melibatkan oknum pegawai sebuah instansi di Medan. Pemerintah harus dapat memberikan komitmen itu kepada kita bila pemerintah tidak ingin kehilangan kepercayaan dari rakyatnya.

Apapun itu mari bersatu dalam melawan pandemi. Kita manfaatkan segala potensi yang ada untuk memenangkan pertempuran ini. Tak ada pertempuran yang dimenangkan bila kita terpecah belah. Semoga Tuhan bersama kita.





Sumber

Recommended Posts