Sebuah Tanggapan Untuk Bro Pasha


Saya senang sekali membaca sanggahan Bro Pasha terhadap kritikan saya kepada Gubernur Anies Baswedan mulai dari dulu soal mengenai penanganan banjir hingga saat ini tentang Formula E. Saya menganggap dialektika politik adalah suatu keharusan dalam demokrasi.

Sanggahan Bro Pasha terhadap pernyataan politik saya bukan kali ini saja. Pada bulan februari 2021 lalu dalam tulisannya, Bro Pasha mempertanyakan kapasitas saya menilai kinerja gubernur Jakarta yang Bro Pasha kemudian tutup dengan pertanyaan apakah saya pernah mengelola sebuah kota atau kelurahan ?

Bagi saya, untuk menilai sebuah kebijakan pemerintah kita tentu memiliki nilai dan parameter sendiri yang bersumber dari ilmu pengetahuan yang telah ada. Saya akan memberikan sebuah contoh yang kira-kira dapat menyederhanakan penjelasan ini. Sebagaimana menilai sebuah nasi goreng itu enak atau tidak maka kita tidak perlu untuk menjadi penjual nasi goreng dulu untuk bisa disebut memiliki kapasitas sebagai penilai.

Kita cukup menyicipi beberapa nasi goreng yang dijual di sekitar situ lalu menilai dari berbagai macam aspek seperti rasa garam, tingkat kepedasan, rasa gurih dan seabrek parameter lainnya. Pengalaman yang berulang kali kita dapatkan dari membeli nasi goreng tersebut telah menjadi sebuah pengetahuan bagi kita sehingga dengan pengetahuan itu kita bisa menilai apakah sebuah nasi goreng itu bisa digolongkan enak atau tidak.

Jadi bagi saya, untuk menilai kinerja seorang Gubernur tidak perlu kita menjadi gubernur pula untuk itu atau menjadi wakil walikota. Cukup kita nilai dari kebijakan apa yang dilakukan untuk mengatasi suatu masalah. Kita bisa menilai apakah sudah sesuai antara kata dengan perbuatan terkait persoalan itu ? Apakah program untuk menyelesaikan masalah itu sudah dijalankan dengan baik ataukah belum? Bagi saya untuk menilai kinerja Anies Baswedan dalam memimpin ibukota Jakarta cukup dinilai melalui apa yang dikerjakan selama ini.

Mari kita mulai membahas tentang konsistensi Gubernur Anies dalam menjalankan programnya selama ini.

Anies Baswedan memilih tidak melanjutkan normalisasi yang telah dilakukan gubernur-gubernur sebelumnya karena menilai hal itu adalah sebuah keputusan yang fatal. Anies menganggap bahwa air hujan yang turun ke tanah seharusnya dimasukkan ke dalam bumi dan bukannya dialirkan terus ke laut.

Oleh karena itu, Anies menyatakan memiliki program yang dia sebut naturalisasi antara lain membuat sumur resapan serta mengembalikan kondisi sungai ke kondisi yang alami. Lalu apakah Gubernur Anies konsisten dengan kata-katanya tersebut dan dapat menjalankan semua programnya dengan baik ?

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) 2017-2022) Anies menargetkan pembangunan sebanyak 1,8 juta titik sumur resapan yang dimulai pada 2020. Berdasarkan pernyataan Wakil Ketua DPRD DKI dari Fraksi PAN (partainya Bro Pasha) Zita Anjani, baru ada 1.772 titik sumur resapan yang berhasil dibuat hingga Februari 2021 (Detiknews, 22 Februari 2021.

Dengan sisa masa kerja satu tahun lagi saya sangat pesimis bahwa target RPJMD ini akan tercapai. Jadi bagaimana akan mencegah banjir bila program sumur resapan saja realisasinya sangat jauh dari target ? Malahan kegagalan mencapai target pembuatan sumur resapan ini direspon dengan menurunkan target pembuatan sumur resapan dari 1,8 juta hanya menjadi 40.000 sumur di akhir tahun 2021. Sungguh menggelikan sekali.

Gubernur Anies juga berjanji memaksimalisasikan naturalisasi sungai ciliwung sebagai solusi mencegah banjir. Sejauh ini yang saya ketahui pemprov DKI baru merampungkan naturalisasi kanal banjir barat segmen Shangri La Jakarta Pusat. Disana dibangun taman dengan lebar 8 meter dari sungai yang dirapikan dengan beton dan dilengkapi dengan jalur pejalan kaki dan pesepeda.

Meski sudah dipercantik sedemikian rupa namun sesungguhnya apa yang dilakukan pemprov DKI ini tidak sejalan dengan konsep naturalisasi yang dimaksud Gubernur Anies saat baru menjabat sebagai Gubernur Jakarta. Menurut Gubernur Anies ketika itu, naturalisasi adalah meningkatkan kapasitas sungai dengan menghidupkan ekosistem sungai secara alamiah tanpa ada unsur pembetonan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Mutlak dilakukan dengan menanam pepohonan dan berbagai tumbuh-tumbuhan.

Tidak perlu untuk menjadi Gubernur dulu untuk menilai adanya ketidakkonsistenan disini Bro Pasha. Bahkan dengan konsepnya sendiri pak Anies ternyata tidak sepenuhnya percaya sehingga naturalisasi akhirnya menjadi normalisasi dengan beton juga.

Yang paling mengecewakan bagi saya adalah Gubernur Anies ternyata lebih memprioritaskan hal lain dibandingkan pencegahan banjir. Pada tahun anggaran 2020, Pemprov DKI tidak mau menyediakan anggaran sebanyak 160 miliar untuk melakukan pembebasan 118 lahan kali ciliwung. Pembebasan ini semestinya sudah dilakukan sehingga normaliasi kali ciliwung sudah berjalan dan dapat mengurangi dampak banjir.

Alasan pemprov DKI melakukan pemotongan anggaran tersebut karena anggara DKI mengalami defisit. Namun sayangnya, meski defisit Gubernur Anies lebih memilih membayar commitment fee balapan Formula E senilai kurang lebih 500 Miliar dan potensi merugi sebesar 1,3 Triliun.

Jadi jelas alasan membatalkan pembebasan lahan ciliwung karena anggaran defisit adalah mengada-ada. Gubenrur Anies justru menganggarkan hampir 1 Triliun untuk kommitmen fee balap Formula E yang tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan warga jakarta tersebut. Anies lebih memilih mengadakan event hura-hura dibandingkan menyelesaikan persoalan banjir yang terbukti menyengsarakan warganya dari tahun ke tahun. Jadi dimana keberpihakan yang ketika menjelang pemilihan Gubernur dulu mas Anies dengung-dengungkan itu ?

Sumber: Poliklitik Cari Panggung

Saya kira bro Pasha akhirnya paham mengapa saya menilai Gubernur Anies tidak punya kapabilitas mengelola jakarta. Saya menyatakan itu dengan sadar berdasarkan fakta-fakta lapangan yang saya kira Bro Pasha akan kesusahan untuk membantah hal itu.

Sekarang kami dari PSI sedang memperjuangkan nasib uang rakyat yang tidak jelas penggunaannya dalam rencana Formula E. Kami tidak sedang baru memulai itu seperti yang disampaikan oleh Bro Pasha di media sosial. Kami telah menyatakan menolak Formula E sejak tahun 2019 ketika awal-awal anggota legislatif PSI menjabat.

Interpelasi yang kami ajukan saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka keterbukaan informasi yang seharusnya dapat dinikmati oleh warga DKI Jakarta. Uang yang berasal dari pajak rakyat sudah seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan elit politik dengan ambisi pribadinya.

Interpelasi bukanlah perihal kebencian melainkan sebuah mekanisme politik yang sudah disediakan oleh sistem demokrasi yang kita anut untuk menjalankan fungsi pengawasan wakil rakyat kepada pemerintah. Mekanisme check and balances adalah amanat konstitusi yang harus selalu kita jaga. Jangan sampai kekuasaan berjalan tanpa ada pengawasan dan perimbangan dari wakil rakyat. Karena itu akan menjadi sebuah kekuasaan yang abolut. Kekuasaan absolut akan akan korup 100 persen kata Lord Acton.

Demikianlah. Ketika kita bernyanyi di atas panggung musik maka kita bebas untuk menyanyikan lagu sendiri atau lagu orang lain untuk menghibur masyarakat. Namun ketika kita berada di atas panggung politik kita tidak sedang menyanyikan lagu kita sendiri tapi menyanyikan lagu keinginan rakyat. Menyuarakan keinginan rakyat bukanlah untuk menyenangkan penguasa melainkan memaksa mereka untuk mendengar suara-suara rakyat dan menjaga amanat rakyat. Sekarang Bro Pasha menyanyikan lagu siapa ?





Sumber

Recommended Posts