PSI Perbaiki Permohonan Uji UU Pemilu

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin (4/7/2022). Agenda sidang adalah pemeriksaan perbaikan permohonan. Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diwakili oleh Giring Ganesha Djumaryo (Ketua Umum PSI) dan Dea Tunggaesti (Sekretaris Jenderal PSI).

Dalam  persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Francine Eustacia selaku kuasa hukum PSI (Pemohon) mengatakan telah memperbaiki objek permohonan hingga petitum yang telah dilengkapi dengan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang telah diubah maknanya oleh putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Francine juga menjelaskan kewenangan Ketua dan Sekjen PSI  dalam pengujian UU di MK.

“Terkait dengan kewenangan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal untuk mewakili Pemohon juga diakui dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya dan sejalan dengan Pasal 1 angka (2) Peraturan KPU yang menyatakan pimpinan partai politik adalah Ketua dan Sekretaris Jenderal Partai Poltik sesuai tingkatannya atau sesuai AD/ART,” ujar Francine.

Lebih lanjut Francine mengatakan Pemohon juga menegaskan permohonan pemohon berbeda dengan alasan permohonan lainnya terhadap Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu, sehingga permohonannya tidak ne bis in idem. Selain itu, sambung Francine, Pemohon memperdalam bukti-bukti terkait permohonan tersebut dengan menambahkan bukti P-35 hingga P-100 serta melengkapi bukti-bukti yang telah diajukan.

Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (20/6/2022), PSI mengujikan mengujikan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.” Menurut PSI, Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Kuasa hukum PSI (Pemohon), Rian Ernest dalam persidangan secara daring menyebutkan, saat verifikasi partai politik (parpol) peserta pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan merujuk pada Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu. Norma tersebut mensyaratkan beberapa hal, di antaranya terpenuhinya kepengurusan parpol di tingkat provinsi hingga kecamatan, kantor tetap untuk kepengurusan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, hingga tahapan akhir pemilu, dan minimal keterwakilan perempuan 30% di kepengurusan pusat. Pada parpol parlemen, ketentuan ini hanya dilakukan pemeriksaan secara dokumen, sedangkan bagi parpol nonparlemen, dilakukan pemeriksaan dokumen yang dilanjutkan pula dengan verifikasi faktual. Dengan demikian, sambung Rian, telah terjadi pembedaan sekaligus diskriminasi terhadap parpol nonparlemen. Hal ini menurutnya tidak sejalan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

PSI menyebutkan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 menjadi dasar pemberlakuan verifikasi yang berbeda antara parpol parlemen dengan parpol nonparlemen. Verifikasi faktual membutuhkan biaya yang besar.

PSI meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 173 pasal (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945  dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Seluruh partai politik, yakni (i) partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan sudah lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019; (ii) partai politik yang telah lulus verifikasi pada Pemilu 2019 dan tidak lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019; dan (iii) partai politik baru  wajib lulus verifikasi administrasi dan factual oleh Komisi Pemilihan Umum.”

 

Sumber: https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18322&menu=2

Recommended Posts