Politik Virtual dan Matinya Politik?

Pengantar:

Esai ini merupakan salah satu karya peserta Lomba Esai “Anak Muda dan Politik” yang diselenggarakan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bekerja sama dengan Qureta pada 2016.

Oleh: Anggar Shandy Perdana

“All that is solid melt into glass.”

Tahun 1982, Marshall Berman mengulang diktum Marx dan Engels dalam Communist Manifesto dan mengubahnya menjadi; semua yang padat melebur dalam layar kaca. Saat itu, televisi masih menjadi gravitasi baru dunia. Namun sejarah dengan cepat berubah.

Beberapa dekade selanjutnya, layar kaca yang menjadi gravitasi baru dunia pun bergeser. Dunia kita sekarang sedang terlipat dalam sebuah kotak kaca segi empat seukuran genggaman tangan kita. Gawai sebagai pusat gravitasi baru menawarkan kegembiraan, kegairahan dan mimpi indah bagi setiap manusia di segala penjuru dunia. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat dahsyat inilah yang menurut Baudrillard tidak hanya membuat nilai-nilai sublim dan luhur menguap, namun bahkan realitas itu sendiri.

Segala aspek kehidupan kita terserap ke dalam kotak segi empat seukuran genggaman tangan. Segala hal menjadi sesuatu yang bersifat virtual. Begitu pun dunia politik. Perkembangan pesat teknologi informasi telah menciptakan ruang politik baru yang bersifat artifisial dan maya.

Perubahan ruang tersebut memiliki konsekuensi logis berupa perubahan dalam cara kita memandang politik. Berbagai tindakan politik yang sebelumnya terjadi di dunia nyata, kini semuanya berlangsung di ruang virtual dan dimediasi melalui media sosial. Dunia (politik) virtual, menurut Michael Hardt dan Antonio Negri merupakan dunia (politik) yang melampaui ukuran, dimana mekanisme yang dapat mengukur kekuatan, nilai dan batas lenyap begitu saja.

“The simulacrum is true.”

Realitas kini dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi. Dalam realitas buatan ini segala sesuatu bercampur-baur, bersilang-sengkarut. Realitas buatan ini adalah ciri zaman dimana kita hidup. Sebuah tanda zaman tengah menjelangnya sebuah era kebudayaan baru: kebudayaan postmodern.

Era yang dalam The Postmodern Condition, Lyotard mengatakan semakin terkait eratnya ilmu dan teknologi dengan bahasa. Dunia yang menurut Baudrillard dikonstruksi dari model atau simulacrum (jamak: simulacra), yang tidak merujuk atau mendasarkan diri pada realitas apapun selain dirinya sendiri.

“Medium is the message.”

Tahun 1978, merupakan pondasi awal yang akan mengubah pola relasi dan komunikasi antar manusia. Bulletin Board System yang ditemukan saat itu memungkinkan seseorang untuk dapat berhubungan dengan orang lain menggunakan surat elektronik, ataupun mengunggah dan mengunduh perangkat lunak. Itulah prototype dari media sosial yang kita kenal saat ini.

Kemajuan pesat teknologi komunikasi dan informasi yang melahirkan media sosial kemudian menciptakan suatu fenomena baru dalam pola relasi dan komunikasi antar manusia. Pola relasi dan komunikasi antar manusia kini dimediasi melalui media sosial. Hal tersebut telah diramalkan oleh Marshall McLuhan melalui dua bukunya; The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man dan Understanding Media: The Extensions of Man.

Ringkasnya, kedua buku tersebut menyatakan bahwa peralihan teknologi dari era teknologi mekanik ke era teknologi elektronik akan membawa peralihan pada fungsi teknologi sebagai perpanjangan badan manusia dalam ruang menuju perpanjangan sistem syaraf. Hakikatnya, menurut McLuhan, semua media adalah perpanjangan badan manusia dalam dimensi ruang dan waktu di dunia. Dalam logika perpanjangan badan manusia tersebut, internet adalah perpanjangan pusat sistem syaraf manusia.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi saat ini dalam bentuknya yang paling canggih justru telah mereduksi kandungan pesan media tersebut dan menggantikannya dengan permainan bahasa yang bersifat simbolik. Media sekedar menjadi perpanjangan badan manusia, namun tanpa pesan, makna dan kedalaman. Pesan itu sendiri, kini justru tak lebih dari media-media yang lain.

“All that is real become simulation.”

Dalam bukunya yang berjudul Simulations, mengembangkan pemikiran McLuhan dan mendasarkan pada beberapa asumsi hubungan manusia dan media, Baudrillard memperkenalkan realitas mediascape. Kini, media bukan lagi perpanjangan badan manusia layaknya yang diungkapkan McLuhan, namun sekaligus merupakan ruang bagi manusia untuk membentuk identitas dirinya.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi dan informasi saat ini, dengan adanya internet khususnya, tidak hanya memperpanjang badan atau pusat sistem syaraf manusia, namun juga mampu mereproduksi realitas, massa lalu dan nostalgia, menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan, menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan serta melipat realitas sehingga tak lebih dari internet.

Praktik media menata ulang kembali pemahaman tentang ruang dan waktu kita. Apa yang nyata bukan lagi hubungan langsung kita dengan dunia, tapi apa yang diberikan pada kita di layar gawai dan apa yang kita berikan ke layar gawai. Gawai adalah dunia dan kehidupan. Gawai mencair ke dalam kehidupan dan kehidupan melebur ke dalam gawai. Yang ilusi “dibuat nyata” dan “yang nyata” menjadi ilusi.

“Politics is Dead?”

Di dalam dunia virtual dimana batas antara yang nyata dan yang maya melenyap, kemurnian merupakan suatu kemustahilan. Segala hal terkontaminasi, begitu pula politik. Kini, politik penuh dengan hal-hal yang sebenarnya tak dibutuhkannya: sampah informasi, kotoran citra dan limbah tontonan. Realitas politik sedang dan telah dimangsa oleh citra-citra palsu. Politik sedang mengalami pembusukan. Politik berkembang ke arah penghancuran dirinya sendiri. Dan politik akan segera menjelang ajalnya.

Politik memang sedang luluh lantak dan segera menghadapi kematiannya. Lukisan gelap dengan segala lembar hitamnya sedang kita saksikan dewasa ini. Namun di tengah luluh lantaknya politik dengan berbagi pencemaran dan polusi yang membusukkannya, masih terdapat upaya untuk membebaskannya dari era kegelapan dan penghancurannya.

Dekonstruksi dalam upaya untuk menentang kebakuan penafsiran atas politik perlu dilakukan. Subyek perlu direvisi ulang di hadapan kekuatan sistem dan konvensi yang membentuknya dengan membuka diri terhadap berbagai kemungkinan. Subyek harusnya tak lagi menjadi aktor pasif yang hanya menerima dan dibentuk oleh bahasa, tanda dan wacana melainkan aktor aktif yang berperan membangun dan menginterpretasi ulang realitas dunia politik itu sendiri.

Anggar Shandy Perdana

Mahasiswa

Lomba Esai Politik PSI-Qureta Juara Kedua

Lomba Esai Politik PSI ini bekerja sama dengan Qureta, diselenggarakan 20 Agustus-05 Oktober 2016. Dewan juri memutuskan tiga orang juara, yakni juara 1, 2, dan 3, serta tujuh juara harapan

Sumber

Recommended Posts