Politik Itu Candu

Pengantar:

Esai ini merupakan salah satu karya peserta Lomba Esai “Anak Muda dan Politik” yang diselenggarakan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bekerja sama dengan Qureta pada 2016.

Oleh: Zakariya

Politik itu candu. Siapa menghisap, nikmatnya berlanjut. Saya jadi sepakat dengan ucapan tokoh Richmond Valentine dalam film Kingsman: The Secret Service yang kurang lebih seperti ini: “Tidak ada yang bisa dilakukan politisi kecuali mengulang pemilu.”

Semua guru besar ilmu politik sedunia pun boleh saja bilang politik adalah usaha “suci” bersama untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara, tapi politik bukan hanya satu sisi, ada sisi lain politik, sisi yang justru tidak suci, yang erat hubungannya dengan permainan kekuasaan juga. Dan anehnya pada sisi-sisi lain itulah kita seringkali dibuat takjub, dibuat marah, dibuat tertarik, atau dibuat munafik.

Tengok saja sejarah soal kekuasaan. Cerita panjang yang seumur dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri. Bagaimana penguasaan wilayah, sumber daya alam, sekaligus budak-budaknya menjadi cerita yang sangat komplit.

Dari jaman Fir’aun sampai Hitler, Gadjah Mada sampai Lenin, dari Alexander Agung sampai Sultan Mahmud, Soekarno ataupun Soeharto, semua adalah segelintir pemain kekuasaan. Kepentingan untuk mengamankan tujuannya adalah prioritas utama. Entah kekuasaan sebagai tujuan, atau kekuasaan sebagai alat mencapai tujuan.

Secara verbal, politik dalam keseharian mudah terasosiasikan dengan persoalan negara, pemerintah, dan partai. Sebab benang merah dari ketiga hal tersebut adalah inti dari politik itu sendiri: kekuasaan/penguasaan/menguasai.

Baik di Indonesia atau belahan bumi manapun, mau zaman sekarang atau zaman dulu, permainan kekuasaan dan kepentingan itu memang menarik. Siapa sangka seorang Harry Tanoe yang sudah jadi raja di sektor media, mau repot-repot membuat partai. Siapa sangka SBY, seorang purnawirawan TNI yang mapan mau repot-repot membuat partai juga.

Lihat bagaimana Jokowi yang ngomong tidak mikir copras-capres nyatanya bisa loncat indah dari pengusaha ke walikota, dari walikota ke gubernur, dari gubernur ke presiden. Dan dari Yogyakarta, Sri Sultan pun berani mendapuk anak perempuannya sebagai penerus tahtanya padahal menyalahi tradisi. Itu baru sedikitnya contoh di Indonesia.

Hanya memang, pemikiran manusia terus berkembang, sistem politik diutak-atik sedemikian rupa, cara bermain dibuat lebih lembut, nama partai dibuat sebersahaja mungkin, tapi tetap saja politik adalah bagi-bagi kue kepada koloninya. Baik tingkat pusat sampai desa, lingkup parpol ataupun ormas.

Apa bedanya berita calon kepala desa yang ditangkap karena berpolitik uang saat kampanye dengan berita calon presiden yang sedang kampanye di depan ribuan massa? Si calon presiden lebih bisa berpolitik dengan lembut daripada si calon kepala desa.

Politik memang soal adu daya tawar antar pihak-pihak yang punya kepentingan. Jadi sangat logis apabila politik uang banyak terjadi. Konstituen awam sama halnya komoditi massal yang harus digerakkan. Dan uang adalah mesin penggerak massa paling ampuh.

Sementara itu, di tempat yang lebih luxury dan kursi yang sangat empuk, berapa banyak perselingkuhan penguasa dan pengusaha terjadi. Deal to deal untuk mendapat jatah proyek dengan main belakang sudah bukan kejadian aneh. Hanya memang apes saja untuk penguasa dan pengusaha yang tertangkap operasi tangkap tangan atau ditumbalkan oleh kelompoknya sendiri.

Sulit untuk menghakimi apa yang terlihat dari sebuah kejadian politik. Tidak jarang kejutan-kejutan kasus politik yang muncul membuat masyarakat seakan tidak percaya. Apa yang terlihat kadang bukan faktanya, tapi di balik apa yang terlihat, dipastikan ada agenda yang sedang dijalankan.

Kecuali jika kita adalah orang-orang yang dilibatkan dalam agenda itu maka kita akan tahu apa tujuan agenda tersebut. Tapi jika kita hanya menonton dari media massa, akan mudah didistorsikan terhadap fakta yang sebenarnya terjadi. Sebab medianya juga sudah terlibat dalam agenda tersebut.

Maka jika ada pertanyaan: politik itu buruk atau busuk? Saya sendiri tidak punya jawaban yang bulat, sebab jawaban saya tidak bulat, jawaban saya bersudut. Jumlah sudutnya bisa tiga, empat, lima, dan seterusnya. Dan saya adalah satu pihak yang berdiri di salah satu sudut tersebut. Sebab sekali waktu proses politik membuat saya bilang buruk, busuk, sekaligus brengsek. Sekali waktu membuat saya bilang brilian, sekali waktu sangat menguntungkan.

Saya sangat mengamini idiom “dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan.” Tapi kalaupun ada yang berujar politik adalah alat untuk mensejahterakan, memakmurkan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara, juga saya amini.

Saya tidak bisa menampik memang ada pejabat publik yang mau bekerja keras untuk bertanggungjawab terhadap orang-orang di wilayahnya. Serta menggunakan jabatan publiknya untuk bisa membangun, melindungi, dan mengembangkan wilayahnya. Kekuasaan pada kondisi ini menjadi sisi yang lebih baik. Bagaimanapun juga rakyat tetap butuh negara, apalagi dalam konsep bernegara, rakyat dan pemerintah adalah satu paket.

Tendensi buruk terhadap proses politik adalah wajar. Berita, informasi, dan fakta yang negatif sudah menjadi akumulasi penilaian orang terhadap kegiatan politik. Tapi penilaian ini pun tidak mutlak, sebab ada juga orang yang menganggap politik itu barang perlu, sebab kita bisa berbuat manfaat daripadanya.

Kalau pun ada yang sudah terlanjur kecewa terhadap politik, tetap saja kita tidak bisa melepaskan diri dari politik, sekurang-kurangnya kegiatannya. Contoh sederhana: Indonesia adalah negara produk politik, sedangkan kita adalah warga negaranya, kita terlibat. Contoh lain: upaya saya atau anda mengusahakan atau mempertahankan kepentingan anda untuk tujuan tertentu pun juga kegiatan politik, kita berbuat.

Kita tahu betul jika politik adalah permainan yang buas, paling sucinya manusia pun akan ikut bersiasat untuk melapangkan kepentingannya sampai di tujuan. Politik mau dikata buruk, busuk, brengsek, ia akan tetap hidup. Barangkali politik adalah naluri yang terselip dalam kehidupan manusia, yang terangsang muncul saat ada peluang untuk menguasai tapi sulit berhenti saat sedang menguasai.

Oleh: Zakariya
Mahasiswa

Lomba Esai Politik PSI-Qureta Juara Harapan 1

Lomba Esai Politik PSI ini bekerja sama dengan Qureta, diselenggarakan 20 Agustus-05 Oktober 2016. Dewan juri memutuskan tiga orang juara, yakni juara 1, 2, dan 3, serta tujuh juara harapan

Sumber

Recommended Posts