Perjalanan Perempuan Politik

Belakangan ini banyak yang bertanya kepada saya, bagaimana caranya masuk politik di usia muda? Sulit menjawab satu per satu. Akhirnya, saya putuskan untuk menulis saja pengalaman saya dari awal mulai tertarik dengan politik hingga terjun total ke politik praktis bersama Partai Solidaritas Indonesia.

Dari sejak kecil, saya memang suka dengan politik. Hanya sekadar suka tapi tak pernah mengamati terlalu dalam apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia politik. Orang tua saya kerap bercerita ketika Pemilihan Umum 1999, saya sering berteriak: “Gus Dur! Gus Dur!” untuk membuktikan ketertarikan saya pada politik sejak dini.

Tapi ketertarikan serius baru dimulai ketika seorang walikota Solo yang merakyat itu memenangkan Pilkada Jakarta dan dua tahun kemudian memenangkan Pilpres. Ia menjadi Presiden pertama Indonesia yang bukan dari elite politik. Kehadirannya semacam harapan nyata akan perubahan. Jokowi membuat saya tertarik lebih dalam dengan politik. Ia sering blusukan untuk melihat masalah dan cepat pula mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah itu. Gayanya yang berbeda menimbulkan optimisme di benak saya.

Sejak saat itu, saya aktif menulis mengenai pemerintahan Presiden Jokowi. Banyak pujian saya kepadanya, tapi banyak pula kritiknya. Hal ini bisa dilihat dalam buku Curhat Perempuan karya saya yang merekam pujian dan kritik tersebut. Tapi, pujian dan kritik saya tujukan kepadanya semata-mata karena saya ingin Jokowi berhasil sebagai Presiden dan Indonesia semakin baik di bawah pemerintahannya.

Ketika Jokowi naik menjadi Presiden, wakilnya, Ahok, naik menjadi gubernur. Saya melihat sosok Ahok begitu menarik. Sama seperti Jokowi, ia menawarkan kebaruan dalam politik Indonesia yang terkesan membosankan. Apalagi waktu itu Ahok menyelamatkan uang negara sebesar Rp 12,1T (kasus UPS) yang hendak dijadikan bancakan oleh oknum DPRD dan oknum birokrat.

Tak lama setelah kasus UPS itu mencuat, banyak partai politik yang bersebrangan dengannya. Pengumpulan KTP untuk Ahok sebagai calon independen dilakukan oleh Teman Ahok dan beberapa komunitas lain. Ketika itu Ketua Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI) Fadjroel Rahman menghubungi saya dan mengajak saya bersaksi di Mahkamah Konstitusi untuk meringankan calon independen maju dalam Pilkada.

Pada 3 Agustus 2015, saya menginjakkan kaki pertama kalinya di Mahkamah Konstitusi. Ketika saya menginjakkan kaki ke dalam ruang pengadilan paling sakral di Republik ini, saya menjadi sadar bahwa bukan sekadar Ahok di sini yang diperjuangkan, tapi seluruh tokoh mumpuni atau kepala daerah berprestasi yang jelas dapat membawa perubahan bagi daerahnya tapi tak bisa maju dalam Pilkada karena tidak ada partai politik yang mendukung.

Saya harus menghadapi cecaran pertanyaan dari hakim mahkamah konstitusi pada usia 18 tahun. Meski ada sedikit perasaan gugup, saya justru merasa pertanyaan-pertanyaan hakim menantang saya untuk membuktikan bahwa saya adalah anak muda yang mengerti dengan idealisme yang saya perjuangkan. Banyaknya kritik saya terhadap partai politik membuat salah satu hakim dalam persidangan, I Dewa Gde Palguna bertanya: “Apa sih persepsi Anda tentang partai politik?”

Dengan tegas saya mengatakan partai politik jarang mendengar aspirasi rakyat. Saya bahkan mengatakan partai politik saat ini lebih suka mewakili kepentingan elite atau kepentingan pribadinya saja. Sampai sini terlihat bahwa saya ingin berkontribusi terhadap politik Indonesia, tapi tidak percaya dengan partai politik karena track record partai politik yang begitu buruk. Alhamdulillah, ternyata gugatan GNCI dikabulkan oleh MK. Persentase syarat calon independen dikurangi. Di Jakarta misalnya, batas minimal KTP yang tadinya 750.000 berkurang menjadi 525.000.

Magang di Jakarta
Selang beberapa bulan, kantor Gubernur DKI Jakarta membuka lowongan magang bagi anak muda usia 19 sampai 35 tahun untuk memberikan saran dan mengawasi kebijakan Gubernur. Tanpa pikir panjang, saya langsung ikut apply CV dan esai ke email tim Gubernur. Setelah mengirim email, saya sempat agak pesimis. Pertama, dari segi usia saya berada di batas minimal, 19 tahun. Kedua, latar belakang pendidikan. Saya belum bergelar S1, bahkan masih semester 3 kuliah di Universitas Paramadina. Sementara pesaing saya banyak yang lulusan S2 dari kampus ternama seperti Harvard, Cornell, dan lain-lain.

Tak disangka, ternyata saya lolos seleksi dan akhirnya diterima magang di tim Gubernur DKI Jakarta dan ditugaskan dalam bidang perizinan di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk melakukan simplifikasi perizinan usaha demi meningkatkan ranking Jakarta dalam survei kemudahan berusaha World Bank. Momen magang ini benar-benar mengubah cara pandang saya tentang politik. Saya merasakan sendiri bagaimana ketika saya magang, begitu banyak hal yang bisa kita lakukan dibandingkan hanya teriak-teriak mengkritik pemerintah dari luar saja.

Selama magang, saya dan teman-teman bisa memberikan banyak saran agar perizinan di Jakarta semakin mudah. Kami bertemu dengan banyak PNS inspiratif, salah satunya Kepala Dinas PTSP Edy Junaedi yang merupakan eselon II termuda di Jakarta. Di akhir periode magang, kami bersama Dinas PTSP berhasil melakukan simplifikasi izin usaha yang menjadi indikator World Bank dari 165 hari menjadi 43 hari dan 6 jam. Terbukti ranking Jakarta dalam izin memulai usaha (starting business) naik 16 peringkat dari 167 pada 2016 menjadi 151 pada 2017.

Kami juga menggunakan cara-cara kreatif untuk sosialisasi kemudahan berusaha ini. Caranya dengan membuat kompetisi video tentang kemudahan berusaha di Jakarta. Yang mengikuti adalah anak-anak muda, khususnya mahasiswa. Dan video dari pemenang tersebut dipasang di 34 LED di Jakarta. Kalau melihat testimoni warga tentang pelayanan PTSP yang semakin baik, rasanya begitu senang. Tidak ada uang yang mampu membayar rasa senang tersebut. Apa yang saya dan teman-teman lakukan mungkin kecil, tapi bermanfaat bagi orang banyak.

Dari sini saya sadar bahwa untuk bermanfaat bagi orang banyak, saya harus terjun ke politik. Jika saya menuliskan semua kritik dan saran saya kepada pemerintah, mungkin itu hanya akan dibaca sebagai salah satu bahan masukan yang belum tentu direalisasikan. Tapi ketika saya berada dalam pemerintahan, kritik dan saran tersebut bisa saya realisasikan dalam kebijakan yang nyata.

Setelah magang
Empat bulan periode magang saya pun berlalu, saya semakin yakin harus melakukan sesuatu agar bisa berkontribusi lebih terhadap politik dan pemerintahan Indonesia. Bersama dua teman magang saya, Gaby dan Nita, kami memutuskan membuat lembaga swadaya masyarakat bernama Perempuan Politik untuk meningkatkan kesadaran politik perempuan di Indonesia.

Program kerja utama kami adalah mengirim 15 perempuan profesional dan mahasiswa untuk turun ke daerah dan mengedukasi perempuan muda yang duduk di bangku SMP dan SMA. Harapannya, perempuan-perempuan muda binaan kami bukan hanya sekadar peduli politik tapi juga mau terjun ke politik dari tingkat yang paling lokal sekali pun.

Bukan hanya mendirikan Perempuan Politik, saya justru semakin tergerak untuk menuliskan banyak pengalaman magang saya di kantor Gubernur DKI Jakarta. Pemikiran politik saya juga semakin matang karena mengenal banyak orang dari berbagai latar belakang. Idealisme saya semakin terbentuk. Saya menjadi sadar bahwa ada dua hal yang tak boleh ditolerir sama sekali: korupsi dan intoleransi. Keduanya menghancurkan kehidupan kita sebagai bangsa.

Banyak tulisan saya yang mendapat respon positif dari publik. Salah satu tulisan saya yang paling diingat publik adalah “Pak Anies, Saya Menyesal”. Tulisan yang menceritakan kekecewaan saya terhadap sosok Anies yang dulu saya kagumi itu dibaca oleh 150 ribu orang. Entah benar atau tidak, tapi dalam tulisan ini, saya merasa pembaca betul-betul dapat merasakan kekecewaan saya. Karena sering mengungkapkan pandangan-pandangan saya dalam tulisan dan diskusi publik tentang situasi politik terkini di Tanah Air, banyak yang mendorong saya untuk menjadi kader partai politik.

Sebenarnya itu sudah saya pikirkan, tapi masih ada perasaan khawatir tentang partai politik. Saya melihat banyak orang berubah ketika menjadi bagian dari partai politik. Saya khawatir jika saya ingin mempertahankan idealisme saya, partai politik tersebut justru akan memecat saya. Di sisi lain, mana mungkin menjadi anggota DPR, walikota, atau gubernur tanpa terjun ke partai politik? Partai politik pasti tetap dibutuhkan, paling tidak sebagai kendaraan politik.

Ada pula keinginan saya untuk menjadi kader partai politik yang berkualitas agar suatu saat nanti ketika saya menjadi pejabat publik, saya dapat membantah stigma bahwa setiap kader didikan partai politik selalu korup dan tak mau mendengar aspirasi rakyat. Saya menjadi lebih aktif memerhatikan partai politik yang ada di Indonesia. Ada banyak pertimbangan. Dimulai dari ideologi partai, visi dan misinya, track record-nya, dan lain sebagainya. Namun saya masih belum bisa memutuskan dan masih ingin fokus dengan Perempuan Politik yang baru saja saya bangun bersama teman-teman saya.

Memilih PSI
Pada Januari lalu, saya mengundang Ketua Umum PSI Grace Natalie ke acara launching Perempuan Politik. Dari sana saya mendengar lebih banyak tentang PSI. Saya juga lebih sering berdiskusi dengannya sejak acara tersebut. Seminggu kemudian, saya juga menjadi narasumber dalam salah satu diskusi Pojok Tanah Abang PSI mengenai banyaknya hoax di masa Pilkada. Meski kenal dan dekat dengan banyak orang PSI, saya belum terpikir untuk terjun ke partai anak muda ini.

DPP PSI bersama Presiden Joko Widodo di Istana Negara

Setelah Pilkada putaran pertama, Ketua Umum PSI Grace Natalie mengontak saya dan mengajak makan siang. Dalam makan siang tersebut, banyak diskusi mengenai apa itu PSI dan agenda PSI ke depan. Awalnya saya mengira akan ada tawaran untuk menjadi salah satu kader PSI. Tapi tak disangka, mereka menawarkan posisi Ketua DPP untuk saya. Jujur ketika itu saya kaget.

Namun, saya tak langsung menerima. Satu pertanyaan saya ketika itu: Apakah benar PSI berbeda dengan partai politik pada umumnya? Saya jadi lebih sering mengikuti kegiatan PSI lewat media sosial. Saya mencoba melihat visi dan misinya. Melihat sikap-sikapnya terhadap berbagai isu. Tapi saya sadar bahwa saya terlalu dalam melihat, padahal pembeda PSI jelas terlihat di depan mata saya.

Ketika PSI menawarkan jabatan Ketua DPP kepada saya itu jelas sudah menjadi pembeda PSI dibanding partai politik lainnya. Partai politik mana yang menawarkan jabatan Ketua DPP ke mahasiswa berusia 20 tahun? PSI memang benar-benar baru. Mereka yang menjadi pengurus bukanlah orang lama yang sekadar pindah organisasi. Baik organisasi dan orang-orang di PSI memang baru dan tidak terikat dengan kepentingan masa lalu.

Nilai-nilai PSI juga cenderung sejalan dengan saya. Mereka anti korupsi dan anti intoleransi. PSI memiliki komitmen yang tegas dalam menjalankan kebajikan dan merawat keragaman. Semua ini sebenarnya sudah membuat saya cukup tertarik dengan PSI. Banyak pula kader-kader mudanya yang saya kenal dan memang memiliki niat baik untuk berpolitik. Namun, banyak yang bertanya kepada saya, bagaimana jika nanti PSI melenceng dari cita-cita awalnya? Banyak partai politik didirikan dengan semangat yang bagus, tapi ketika berkuasa cenderung korup.

Saya berani menjawabnya dengan lantang: Justru karena itu kita harus bergabung dengan PSI!

PSI masih menjadi kendaraan yang bersih dan dipenuhi anak-anak muda yang memiliki niat tulus akan perubahan bagi negeri ini. Jika khawatir PSI akan berubah, jangan hanya bicara dengan nada pesimisme. Bergabunglah dan jaga PSI agar selalu lurus dengan cita-cita awalnya sampai kapanpun. Selain tertarik dengan PSI sebagai partai politik, ada hal lain yang menurut saya menjadi tantangan bangsa ini ke depan sehingga terjun total ke dunia politik tidak dapat ditunda lagi.

Pilkada 2018 yang meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan banyak daerah lain harus menjadi perhatian khusus anak-anak muda. Harus ada gerakan secara kreatif door-to-door memenangkan tokoh yang pluralis agar kebinekaan kita di berbagai daerah terjaga dengan baik.

Jika sampai kaum garis keras yang menjadi pemenang di banyak daerah, bukan tidak mungkin, pada 2019, mereka akan berhasil merebut kepemimpinan nasional. Ini ancaman serius bagi bangsa ini ke depan. Memang dalam politik jalannya tak selalu lurus. Pasti rintangan selalu muncul. Tapi jika kita memiliki niat dan prinsip yang kokoh, selalu akan ada solusi yang muncul. Dan percayalah, politik bukan hanya milik orang tua. Politik adalah milik anak-anak muda yang ingin berkontribusi lebih bagi negerinya. Ingat, Sukarno, Hatta, dan Sjahrir berpolitik sejak muda.

Tsamara Amany

Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia, Co-founder Perempuan Politik, dan penulis buku ‘Curhat Perempuan’

Sumber Kumparan

Recommended Posts