Peran dan Tantangan Pemuda di Era Generasi Milenial

Oleh: Dini Shanti Purwono

Kata “pemuda” seringkali identik dengan kelompok anak muda yang masih “bau kencur” alias belum berpengalaman, belum matang dalam berpikir dan belum stabil secara emosi. Dan karenanya secara umum orang tidak terlalu memperhitungkan kelompok pemuda ini karena dianggap pola berpikirnya cenderung idealis tidak realistis dan sering mengambil keputusan dengan berdasarkan emosi perasaan belaka.

Namun sebenarnya dalam hidup ini yang namanya “idealisme’, suatu pemikiran tentang dunia utopia, merupakan hal penting yang membuat manusia tetap mempunyai semangat dan harapan untuk tetap hidup dan berjuang demi dunia yang lebih baik. Dunia utopia memang seperti mimpi. Tapi saya percaya bahwa mimpi yang terukur dan dikombinasikan dengan pemikiran serta semangat positif dapat mengubah dunia. Pada saat kita berhenti bermimpi, kita berhenti berusaha, maka kita akan mati.

Di sinilah peran pemuda, sebagai sosok yang muda, yang dinamis, yang penuh energi, yang optimis, diharapkan untuk dapat menjadi agen perubahan yang bergerak dan berusaha untuk sedekat mungkin dengan dunia utopia itu. Pemuda, diharapkan bisa membawa ide-ide segar, pemikiran-pemikiran kreatif dengan metode thinking out of the box yang inovatif, sehingga dunia tidak melulu hanya dihadapkan pada hal-hal jaman old yang itu itu saja dan tidak pernah berkembang. Dengan kata lain pemuda diharapkan menjadi pemimpin masa depan yang lebih baik dari pemimpin masa kini. Pemuda diharapkan untuk menjadi change agent, yaitu pihak yang mendorong terjadinya transformasi dunia ini ke arah yang lebih baik melalui efektifitas, perbaikan dan pengembangan.

Pemuda Sebagai Change Agent

Dari hasil baca-baca saya, setidaknya ada lima karakteristik pemimpin yang baik yang harus ada dalam diri seorang Change Agent. Yang pertama, visi yang jernih. Sebagai pemimpin, seseorang harus memiliki target yang jelas sehingga program kerja dapat disusun dengan baik dan dengan tahapan yang berkesinambungan karena arah yang dituju jelas. Pemimpin yang baik harus bisa menjelaskan ide dan konsep yang ada dalam pemikirannya secara jernih kepada orang lain dan terutama kepada anggota tim kerjanya.

Saya pikir Albert Einsten benar, “If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough”. Yang kedua, memiliki kegigihan untuk mencapai target. Yang ketiga, bersikap kritis dan analitis. Dengan kata lain, pemimpin yang baik harus selalu bernalar dan menggunakan akal sehatnya. Tidak ada hal yang ditelan bulat-bulat tanpa mengerti substansinya. Yang keempat, sarat akan pengetahuan dan memimpin dengan memberikan contoh, bukan hanya dengan instruksi. Yang kelima, membangun hubungan yang kuat dengan orang-orang sekitarnya dengan membangun kepercayaan. Dengan kata lain, pemimpin yang baik harus memiliki integritas agar dapat dipercaya.

Pemuda dan semangatnya dibutuhkan sebagai change agent dalam berbagai sektor, termasuk sektor politik. Selama masih ada yang namanya “negara”, politik juga akan selalu ada. Masalahnya, politik sudah terlalu lama terasosiasi sebagai suatu hal yang kotor dan karenanya dihindari banyak orang. Kata “politik” hampir identik dengan “perebutan kekuasaan demi jabatan dan uang”. Akibatnya, banyak anak muda berpotensi menghindari dan tidak peduli dengan politik. Namun sikap ini tanpa disadari secara tidak langsung membuat kondisi politik menjadi semakin buruk karena level of competition, baik dari sisi kemampuan maupun integritas, menjadi rendah untuk seseorang menduduki posisi strategis dalam lembaga-lembaga negara.

Akibatnya, orang-orang yang memegang kekuasaan dalam negara bukanlah orang-orang terbaik yang ada di negara tersebut, melainkan orang-orang yang memang dari awal masuk ke dalam politik dengan niat untuk semata-mata memperoleh jabatan dan kekuasaan demi uang atau kepentingan pribadi lainnya. Pada saat kancah politik dan lembaga negara dikuasai oleh orang-orang yang tidak berkualitas ini, semakin orang-orang yang berkualitas menjauhi area tersebut. Hal ini terjadi terus menerus dan menjadi lingkaran setan.

Generasi milenial harus bisa bertindak sebagai change agent dan memutus lingkaran setan tersebut. Pemuda harus tetap optimis dan tidak berhenti melakukan langkah-langkah perbaikan, termasuk dalam sektor politik. Pemuda harus mau peduli dengan kualitas politik negaranya dan berani terjun ke dalamnya. Karena perbaikan politik hanya akan terjadi pada saat orang-orang baik, profesional dan berintegritas masuk ke dalam politik.

Tidak dapat disangkal bahwa politik sudah terlalu lama disalahgunakan oleh orang-orang opportunist demi jabatan, kekuasaan dan uang semata. Tapi sesungguhnya ada dimensi lain dari politik, yaitu suatu alat dahsyat yang dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Apabila kita berpolitik dengan baik dan benar, maka kita dapat menjadikan dunia ini menjadi lebih baik. Seperti yang dikatakan Mahatma Gandi, “Be the change you wish to see in the world “. Jangan mengandalkan orang lain untuk melakukan perbaikan, tapi kita harus mau turun tangan untuk melakukan perbaikan yang kita inginkan.

Tantangan Bagi Generasi Milenial

Generasi milenial adalah generasi yang sangat mahir dalam teknologi. Dengan kemampuannya di dunia teknologi dan sarana yang ada, generasi ini memiliki banyak peluang untuk bisa berada jauh di depan dibanding generasi sebelumnya. Namun sayangnya, dari beberapa statistik yang saya baca, dikatakan bahwa generasi milenial cenderung lebih tidak peduli terhadap keadaan sosial, termasuk politik dan ekonomi. Mereka cenderung lebih fokus kepada pola hidup kebebasan dan hedonisme. Mereka cenderung mengingkan hal yang instant dan tidak menghargai proses.

Di era ini segala sesuatu bergerak dengan cepat, dunia menjadi tanpa batas, informasi dapat diperoleh dimana saja dan dari siapa saja. Generasi masa kini harus berusaha dan mampu menjadi bijak terutama dalam penggunaan media sosial. Media sosial ini mirip dengan politik, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Kita bisa berguna dan bertambah pintar apabila menggunakan media sosial dengan benar, tapi kita juga bisa menjadi penyebar hoax dan menjadi bodoh apabila kita menggunakan media sosial dengan tidak benar.

Di era ini dengan segala kecanggihan teknologi, tingkat persaingan juga semakin tinggi. Kualitas dan kinerja manusia juga dituntut menjadi semakin tinggi. Generasi masa kini harus mampu beradaptasi dengan cepat, belajar dan menjadi lebih baik dengan cepat serta melakukan navigasi yang lincah dan tepat untuk dapat memecahkan setiap masalah. Kreatifitas dan Apabila tidak, dalam beberapa tahun ke depan mungkin posisi kita sudah digantikan oleh robot atau program komputer.

Di Indonesia, ada sekitar 81 juta penduduk yang termasuk dalam generasi milenial. Berarti sekitar hampir 32% dari total populasi di Indonesia. Pertanyaannya: Mampukah kelompok 32% ini menjadi change agent untuk Indonesia? Siapkah mereka untuk membangun dan meneruskan Indonesia? Ini yang menjadi tantangan terbesar bagi generasi milenial Indonesia.

*Penulis Adalah Advokat, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia & Harvard Law School

Sumber

Recommended Posts