Partai Politik Ketinggalan Kereta

Oleh Andi Saiful Haq

Pada tahun 2020 penduduk bumi diramalkan mencapai angka 7,6 milliar jiwa. Jika satu orang penduduk bumi memiliki sekitar 5 alat elektronik (telepon genggam, televisi, komputer, music player, dan perbankan), maka sekitar 38 miliar alat elektronik akan terhubung satu dengan yang lain. Kondisi ini yang disebut sebagai revolusi industri keempat (Industri 4.0). Manusia memasuki peradaban ekonomi digital, di mana digitalisasi fiskal akan didukung dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih dan aman.

Revolusi industri 4.0 adalah gerak maju peradaban manusia yang tidak mungkin dihindarkan. Karenanya, PresidenJokoWidodo mengambil langkah yang tepat ketika mencanangkan Peta JalanMaking Indonesia 4.0 untuk memulai langkah revitalisasi industri nasional agar Indonesia tidak tergulung gelombang perubahan zaman, lalu akhirnya terpuruk menjadi penonton dalam dunia baru tersebut.

Kementerian Perindustrian mendapat mandat sebagai leading sector dalam membawa Indonesia menapaki peta jalan tersebut. Tentu dukungan komponen bangsa yang lain dibutuhkan. Berbagai regulasi baru dibutuhkan, mulai dari sektor perbankan, ekonomi, sistem pemerintahan, anggaran, dan lain-lain. Karena, selain menyiapkan infrastruktur industri berikut regulasinya, untuk masuk ke babak industri 4.0 yang paling dibutuhkan adalah ekosistem digital di mana industri itu tumbuh dan berkembang. Dalam hal ini masyarakat, dunia usaha, pemerintah, penegak hukum, hingga organisasi politik harus menyesuaikan diri dengan budaya digital baru, di mana kertas dan bunyi printer tidak akan lagi terdengar di ruang-ruang kerja kita.

 

Tak Berjalan Mulus

Tampaknya rencana Presiden Jokowi tidak akan berjalan mulus. Hambatan utamanya akan datang dari Senayan. Melakukan beberapa penyesuaian regulasi dan perundang-undangan membutuhkan inisiatif dan persetujuan DPR. Sementara itu kinerja DPR Periode 2014-2019 tidak kunjung membaik. Hingga Agustus 2018, pada masa sidang kelima, DPR baru menyelesaikan lima Rancangan Undang-undang dari 50 RUU yang masuk dalam Prolegnas. Tentu ini merupakan kabar tidak baik di tengah ambisi pemerintah mencanangkan Peta Jalan Making Indonesia 4.0 menuju 2030.

Selain rapor merah dalam hal kinerja legislasi, lembaga wakil rakyat tersebut tidak henti-hentinya dilanda kasus korupsi. Cerita sedih yang tampaknya tidak kunjung berakhir, mulai skandal megakorupsi Hambalang, lalu E-KTP yang menyeret Ketua DPR Setya Novanto, hingga belakangan kita dikejutkan dengan kasus korupsi 41 orang anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur. Budaya korupsi jelas adalah budaya kejahatan purba yang sangat bertentangan dengan budaya zaman digital. Dalam era digital, seluruh transaksi finansial akan berlangsung melalui sistem automasi, kendali robotik, artificial intelligence, cloud dan Internet of Things (IoT), sehingga kecil kemungkinan sebuah penyimpangan tidak terdeteksi.

Bukannya menyiapkan diri memasuki era revolusi industri keempat, partai politik malah terlihat enggan meninggalkan zona nyaman; mereka bertahan untuk bertransaksi dengan sistem manual di bawah kendali manusia. Partai politik terjebak dalam gerbong kereta yang sebentar lagi akan ditinggalkan zaman, lokomotifnya masih menggunakan mesin uap elite-elite partai. Sistem rekrutmennya tidak terbuka dan transparan, sangat bergantung dengan kedekatan dan kekerabatan. Tidak heran jika dalam mengelola kekuasaan, partai politik tidak mengedepankan prinsip meritokrasi, tapi pembagian kue kekuasaan berdasarkan koalisi. Partai oposisi tidak lebih baik, bahkan lebih buruk dengan melakukan kritik tanpa gagasan, bahkan belakangan cenderung menyerang dengan tudingan tanpa data empirik.

 

Menuju Parpol 4.0

Peta Jalan menuju Industri Indonesia 4.0 tidak akan mungkin terwujud, jika partai politik di Senayan masih menggunakan mesin dan gerbong kereta lama. Ambisi itu akan tersandera oleh partai politik yang lebih senang bertahan di sistem lama. Sementara itu di tahun 2020 Indonesia akan dihuni sebanyak 34% generasi milenial berusia 20-35 tahun dan 20% Gen X berusia 35-50 tahun, hidup dengan budaya berbeda. Sebesar 85% milenial Indonesia sudah memulai bisnis startup mereka. Transformasi budaya digital jika tidak dibarengi dengan transformasi partai politik, maka benturan kebudayaan antargenerasi tidak mungkin terelakkan. Politik akan kehilangan legitimasi dari publik, dan partai politik yang semakin tua itu akan ditinggalkan membusuk bersama budaya mereka yang korup.

Upaya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menyebut diri sebagai partai kaum milenial patut diberi apresiasi. Ini benturan politik pertama antara generasi politik baru yang menolak untuk membungkuk-bungkuk meminta belas kasihan elite parpol lama, juga berdiri dalam antrean panjang yang entah kapan bisa mendapat giliran mengendalikan kebijakan politik partai. PSI sudah membuktikan diri mampu menjadi peserta Pemilu 2019 tanpa belas kasihan elite mana pun. Rekrutmen caleg mereka tidak biasa, dilakukan terbuka melalui panel ahli independen, sehingga wajar jika mereka bisa mengharapkan mendapatkan nama-nama, yang meski tidak terkenal namun paling tidak memiliki visi dan nilai yang sama dengan PSI. Misi melawan korupsi dan intoleransi jelas tergambar dalam setiap langkah PSI menapaki jalan menuju Pemilu 2019.

Ekosistem digital dan infrastruktur sosial media mereka terbangun dengan baik, akibat aturan pelarangan iklan di televisi yang jelas merugikan PSI sebagai partai baru untuk memperkenalkan diri. Sebagai gantinya mereka menggunakan media sosial untuk memperkenalkan diri. Budaya organisasi yang cair dan setara membuat PSI jelas berbeda dengan parpol lainnya. Tidak ada jalan lain, sambil terus berharap partai politik pendukung Jokowi lainnya sadar dan melakukan transformasi mesin partainya, Jokowi jelas harus tetap menyiapkan Indonesia memasuki era ekonomi digital 4.0, namun pada saat yang sama juga harus meng-upgrade mesin partai pendukungnya menjadi parpol 4.0. Tanpa itu Peta Jalan Making Indonesia 4.0 akan menemui jalan buntu, terhadang partai yang semakin menua.

Andi Saiful Haq, Direktur INTRANS dan Caleg DPR RI dari PSI untuk Dapil Sulawesi Selatan I (Kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan Kepulauan Selayar)

*Esai ini pertama kali dimuat di Detik.com

Recommended Posts