Obituari: “Hoho Famadaya” untuk Bro Dikun  Zagoto

Hoho Famadaya itu tiba-tiba terdengar di semenanjung Malaka. Suara Ere (sang penutur) seakan mengalir bersama getaran mistis, kisah leluhur dan pusaka Ono Niha (Tanah Nias). Sementara itu bunyi-bunyi purba yang keluar dari Garamba, Dolidoli, dan Fondrahi, mencipta sebuah harmoni maha indah.

Ya, sebuah lakon anak manusia telah selesai. Dikurniakan Zagoto, wafat di Rumah Sakit Budi Kemuliaan, Kota Batam. Usianya masih 29 tahun, namun kerja yang berat sebagai buruh angkut pelabuhan telah merampas kekuatan fisiknya. Istrinya kini tinggal bersama dua anaknya yang masih kecil. Yohanes Fourgus Zagoto (5 tahun) dan Resna Sari Zagoto (7 tahun). Nama lengkapnya Dikurniakan Zagoto, sapaannya Bro Dikun. Kepergiannya adalah duka mendalam bagi keluarga barunya di Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Obituari ini adalah puncak penghargaan tertinggi dari kita yang ditinggalkannya. Obituari ini adalah Hoho Famadaya untuk Bro Dikun, di mana dalam tradisi Suku Nias dalam upacara kematian Hoho Famadaya adalah puisi yang dilagukan. Berisi kisah hidup almarhum tentang perjuangannya agar menjadi wejangan bagi masyarakat sekitarnya. Terutama bagi Yohanes dan Resna kelak. Dua Zagoto muda yang akan membaca kisah tentang bapaknya, seorang Zagoto yang wafat di usia muda, namun gagah mendekap keyakinannya.

Bro Dikun mungkin tidak pernah merencanakan bahwa namanya akan terukir menjadi salah satu martir perjuangan politik Indonesia. Paling tidak untuk sebuah partai politik baru yang dibangunnya bersama sahabat-sahabatnya. Mungkin Yohanes dan Resna masih terlalu muda untuk memahami bahwa kepergian bapaknya adalah sebuah garis demarkasi, bukan hanya pemisah antara hidup dan mati, namun antara masa lalu dan masa depan bangsa yang dicintainya. Demi kehidupan yang lebih baik untuk  anak-cucunya kelak.

Bro Heksa, Sekretaris DPD PSI Kota Batam mengenal sosok Bro Dikun cukup dekat. Bro Dikun termasuk dalam orang-orang muda pertama yang bersedia bekerja untuk membangun PSI di Kota Batam. Dia pernah aktif di DPC Kecamatan Nongsa, namun belakangan dia mundur, dan lebih memilih bekerja sebagai pengurus ranting PSI di Kelurahan Kabil. Seluruh target dan tugas partai diselesaikannya dengan baik. Mulai dari pembentukan ranting sampai merekrut anggota. Bro Dikun memang punya bakat berpolitik.

“Bro Dikun itu memang punya minat berpolitik, dia pernah mencoba ke partai politik yang ada. Namun politik tampaknya hanya untuk orang yang punya uang, bukan buruh pelabuhan sepertinya. Dia tidak merasa punya peran penting dan diremehkan. Makanya ketika mendengar beberapa materi kampanye PSI, dirinya merasa inilah partai yang dicarinya, semua orang setara, punya otoritas tanpa membedakan status sosial apalagi harta benda. Itu yang membuatnya sangat bangga bergabung dengan PSI” Bro Heksa mencoba menjelaskan kesungguhan Bro Dikun bekerja untuk Partai.

“Bukan hanya itu, setelah tugasnya selesai, Bro Dikun juga aktif membantu dan mendorong kelurahan dan kecamatan lain untuk segera menuntaskan tugas dan target kerja yang diberikan. Dia selalu bersemangat ketika menjelaskan tentang makna logo PSI, dia hapal di luar kepala” lanjut Bro Heksa.

Setiap melihat pengurus DPP di televisi, Bro Dikun selalu menonton dan bangga. Dirinya merasa beruntung berada satu barisan paling utama dengan perempuan yang dikaguminya, sosok Grace Natalie. “Bro Dikun selalu bertanya ke saya, kapan Sis Ketum ke Batam? Ya itu akhirnya tidak kesampaian,” tambah Bro Heksa.

Bro Dikun adalah potret anak muda yang berupaya menolak kakinya tersandera rantai perputaran ekonomi. Dia melacak akar persoalan masyarakat hingga menemukan kesadaran politiknya bersama PSI. Bro Dikun cukup paham, bahwa apa yang diperjuangkannya bersama PSI hari ini adalah untuk menjamin kehidupan yang lebih baik bagi keturunannya kelak.

Sebagai seorang buruh pelabuhan, dia tidak menyerahkan diri dan keluarganya pada kejamnya roda perputaran ekonomi. Meski tentu tenaga yang dikeluarkannya harus lebih banyak. Sebab, PSI tidak mampu memberikan gaji kepadanya. Namun Bro Dikun bahagia, karena bersama PSI dia menemukan politik tidak hanya milik orang kaya, juga tidak hanya dipelajari dari diktat-diktat tebal di bangku Universitas. Politik PSI baginya begitu nyata: belajar bersama, bekerja bersama, jatuh bangun bersama. Politik PSI bagi Bro Dikun seakan sebuah Hoho masa depan, yang dilagukannya diselam hilir mudik kapal semenanjung Malaka.

Sebuah sore di bulan Juli, hujan begitu lebat mengguyur Kota Batam. Tugas dari DPP PSI harus dituntaskan, Bro Heksa memutuskan menepi dan berteduh disebuah pondok kecil. Saat itu dirinya naik motor bersama Bro Dikun. Hampir tiga jam menunggu, Bro Dikun sudah tidak sabaran ingin kembali bergerak. Namun perut tak bisa dibohongi, waktu makan siang sudah terlewatkan.

Akhirnya Bro Heksa menyerah, menuruti desakkan Bro Dikun untuk menembus hujan yang tidak kunjung reda. Mereka memutuskan untuk mampir ke sebuah warung makan. Bro Heksa meraba jaket dan saku celananya. Ternyata dirinya tidak membawa dompet. Mereka tidak membawa uang untuk membayar makanan. Bro Heksa berpikir akan dimaki Bro Dikun. Dirinya tidak enak hati karena tidak jadi makan. Maklum partai tidak menyediakan gaji. Namun Bro Dikun hanya tertawa sambal meledek, “Macam bener aja Bro Heksa, ngajak makan gak bawa dompet.” Begitulah Bro Dikun sosok yang tidak pernah marah, bahkan tidak pernah mengeluh.

Hoho Famadaya melengking tinggi, alam terdiam pucat abu, waktu menujukkan pukul 15.30 waktu Batam. Bro Dikun berpulang pada Sang Pencipta. Mungkin benar kata Billy Joe, Only the good die young. Beberapa hari sebelum dia wafat, sahabat-sahabatnya dari DPD Kota Batam membesuknya. Kaos merah yang selalu ditanyakan dan ditunggunya baru saja tiba dari Jakarta. Maklum PSI tidak bisa mencetak atribut partai dalam jumlah besar, sehingga selalu dikirimkan bertahap.

Menerima kaos itu ditangannya, Bro Dikun langsung mengenakannya sambil berseloroh “Coba dulu, ntar kebesaran.” Wajahnya sangat bahagia, penyakit paru-paru yang dideritanya seakan hilang, nafasnya kembali kuat berhembus, nafas panjang yang tadinya tersenda-sendat karena sakit, seakan menemukan kembali kantong-kantong oksigen baru. Tak disangka itulah pertemuan terakhir dengan Bro Dikun, sebuah foto Bro Dikun mengenakan kaos PSI ternyata menjadi saksi pertemuan terakhir dengan Bro Dikun. Ya setiap perjuangan pasti harus berhenti, begitupun perjuangan Bro Dikun. Namun Hoho Famadaya ini akan terus menjadi saksi, perjuangan seorang Zagoto dari semenanjung Malaka bersama anak muda lainnya di seluruh Indonesia, untuk mendirikan sebuah partai politik baru.

Dikurniakan Zagoto telah memberikan yang terbaik dari dirinya untuk PSI, untuk politik yang diyakininya. Bro Dikun menolak politik yang tidak memberi tempat bagi buruh kasar sepertinya, dia menolak politik yang memandang remeh pada seorang Zagoto yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Tenaga yang terkuras akibat seharian bekerja mengangkat beban berat di pelabuhan, masih dia sisihkan untuk berkeliling mengabarkan datangnya sebuah harapan baru. Jejak tapak-tapak kakinya yang kokoh menjadi  salah satu jejak penting yang menandai kebangkitan sebuah solidaritas politik baru di Indonesia.

Bro Dikun, meski kau harus berhenti di sini, namun butiran keringat yang telah kau sumbangkan bagi PSI dan politik bangsa ini, akan menjadi benih mawar masa depan yang akan merekah pada fajar pertama esok hari. Semerbaknya menyebar wangi mengetuk ke pintu-pintu rumah, di mana generasi mendatang hidup rukun dan harmoni. Pada saat itulah, isterimu, anak-anakmu, dan juga kami, akan kembali, menziarahi sebuah makam, yang di nisannya tertulis “disini berbaring seorang perjuang solidaritas bangsa Indonesia abad milenial – Dikurniakan Zagoto”. (Andi Saiful Haq)

Dewan Pimpinan Pusat

Partai Solidaritas Indonesia

Grace Natalie                                                                   Raja Juli Antoni

     Ketua Umum                                                                  Sekretaris Jenderal

Recommended Posts