MK Bolehkan Eks Napi Korupsi Nyaleg Setelah 5 Tahun, PSI Tetap Tidak Akan Ajukan Caleg Mantan Koruptor

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) angkat topi untuk Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang melakukan terobosan hukum melalui Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022 terkait pengujian Pasal 240 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam putusannya, MK menambahkan masa tunggu selama 5 tahun bagi mantan terpidana kasus Tipikor jika ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di semua tingkat pemilihan.

“Putusan ini menembus kebekuan hukum sekaligus memberikan kepastian bagi penyelenggara dan peserta Pemilu. Putusan ini memperkaya penerapan hukum progresif dalam tafsir konstitusi,” demikian pernyataan Juru Bicara PSI, Ariyo Bimmo dalam keterangan tertulis, Kamis 1 Desember 2022.

Meskipun mengakui putusan ini sebagai langkah progresif, namun PSI bergeming untuk tidak menerima calon anggota legislatif yang pernah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. “Nggak lah, gak berarti PSI mau menerima orang yang pernah korupsi sebagai Caleg.”

PSI bersikap bahwa orang yang pernah terbukti menghianati urusan publik tidak seharusnya kembali diberi kepercayaan untuk memegang jabatan publik. “Hal ini berlaku untuk jabatan yang sifatnya penunjukan, seperti menteri, komisaris dan lain-lain, maupun yang sifatnya pemilihan seperti kepala negara/daerah dan anggota legislatif,” tutur Bimmo.

PSI kembali mengingatkan publik fenomena pembebasan bersyarat dan vonis ringan koruptor yang terjadi akhir-akhir ini. “Penelitian ICW tahun 2021, rata-rata vonis koruptor adalah 3 tahun 5 bulan. Artinya, koruptor bisa nyaleg lagi setelah 8,5 tahun. Kira-kira menurut anda, para calon koruptor akan jera gak?” ujar Bimmo berseloroh.

Menurutnya, efek jera tidak tergantung ancaman hukuman dalam peraturan perundang-undangan, tetapi sangat relevan dengan proses pemidanaan dan pasca pemidanaan.

“Bagaimanapun, putusan MK ini sudah selaras dengan pemikiran para pembuat undang-undang ketika menetapkan undang-undang dalam rezim hukum yang sama (UU Pilkada). Agar lebih selaras lagi, baiknya ancaman pidana pencabutan hak politik juga ditambahkan dalam UU Tipikor dan RKUHP,” tutup Bimmo

Recommended Posts